Dia dan Dia


Oleh: Nisa’ Maulan Shofa


Aku tengah berjalan menyusuri koridor sekolah siang ini.  Berjalan sendirian karena tadi aku habis menemui wali kelas di ruang guru. Beginilah risiko sebagai ketua kelas. Mungkin agak sedikit aneh. Karena jarang-jarang seorang cewek berperan sebagai ketua kelas. Tapi ya beginilah kenyataannya. Mungkin karena aku terlalu tegas sebagai seorang cewek. Tapi jangan salah, aku sangat lembut loh. Yah walaupun kadang kelihatan juga kegarangannya, hehe.
Tiba-tiba ponselku kurasakan bergetar dalam sakuku. Segera kuambil ponselku itu. Oh ternyata ada telepon masuk. Nomor baru. Dari siapa ya? Jam segini kok nelpon. Nggak tahu lagi jam sekolah apa. Angkat aja deh.
“Halo?” ujarku kemudian.
“Halo. Ini Shella kan?” ujar seseorang dari seberang sana.
“Iya. Kamu siapa?” tanyaku kebingungan.
“Masa lupa ama aku? Aku Ririn.”
“Hah? Yang bener?” tanyaku tak percaya.
“Iyalah. Masa bohong.”
“Ih gimana kabar kamu? Aku kira kamu lupa ama aku.”
“Baik kok. Idih, kejem. Ya nggak akan lupa dong pastinya. Kamu kan sahabat super terbaikku.”
“Terus kenapa nggak kasih kabar selama ini? Aku kangen tau.”
“Sorry. Aku kebanyakan tugas sekolah disini.”
“Iya deh. Yang sekolahnya di LA. Jadi sibuk banget ya. Sampai-sampai nggak ada waktu buat kasih kabar ke aku.”
“Ya nggak juga. Eh aku punya kabar gembira nih.”
“Kab….” Ucapanku tergantung karena tiba-tiba bel tanda masuk berbunyi dengan merdunya. Aduh, nggak tepat banget sih datangnya.
“Eh Rin, sorry nih. Udah dulu ya soalnya aku harus masuk kelas dulu. Maaf nih, sekolahku sangat disiplin. Jadi harus tepat waktu masuk kelasnya. Nanti aku telepon kamu lagi.”
“Iya iya nggak apa-apa. Bye….” Teleponpun langsung terputus.
**
Bel pulang sekolah berbunyi dengan merdunya. Nah ini baru tepat waktu berbunyinya. Aku langsung mengambil ponselku di tas dan langsung menelepon Ririn karena tadi aku udah janji untuk menelepon dia balik.
“Hai. Pulang bareng yuk.” Tiba-tiba Dany, sahabat sejatiku ( ceileh ) sejak di SMP mengejutkanku dan duduk di sampingku. Dia memang satu kelas denganku.
“Oke. Eh aku punya kabar bagus loh.” Ucapku dengan sumringah dan meng cancel acara menelepon Ririn.
“Kabar apa?”
“Ririn, sahabatku dari kecil yang sekarang tinggal di LA tadi meneleponku.”
“Oh gitu.”
“Yah ni bocah. Reaksinya kok gitu doang?”
“Emang mau gimana lagi?”
“Ya gimana kek. Eh Ervan kok belum kesini sih?” tanyaku sambil celingukan.
“Shel, maaf aku kesininya lama. Guru baru keluar tadi.” Tiba-tiba si Ervan datang. Perlu di ketahui, Ervan adalah pacar tercintaku. Dia baik banget loh.
“Baru aku tadi tanya kamu kok belum datang-datang. Panjang umur ya?” ujarku sambil tersenyum manis.
“Hehe. Tadi katanya mau cerita. Mau cerita apa sih?”
“Tau Ririn kan? Sahabat kecilku yang sekarang tinggal di LA tadi nelpon aku.”
“Senengnya. Emang ada urusan apa?”
“Oh iya, aku lupa. Tadi aku kan mau nelpon dia lagi. Tapi ntar aja deh.”
“Eh makan yuk Shel. Laper nih.”
“Oke, yuk. Aku juga laper.”
“Aduh sehati banget ya?”
“Ih apa sih? Mulai ya gombalnya.”
“Hoi ada orang lagi loh disini. Dunia ini juga milik gue. Jadi berbagilah ama gue.” Tiba-tiba si Dani berteriak nggak karuan.
“Sorry Yang. Aku tau kok kamu disini, haha.” Si Ervan bergaya kayak banci yang menggoda Dany.
“Huek. Sorry gue masih normal dodol!” Dany menjulurkan lidahnya seperti ingin muntah.
“Haha kalian ini ya cocok banget loh.” Aku mengacungkan 2 jempol kepada mereka dan melenggang keluaar kelas.
**
Aduh, hari ini aku seneng banget. Karena ternyata, tadi pagi Ririn nelpon aku itu buat ngasih tahu kalau besok lusa dia mau ke Indonesia. Tepatnya ngunjungi aku. Dan bukan itu aja. Dia bukan sekedar datang ke Indonesia. Dia mau menetap lagi disini. Uh senengnya. Dia juga mau pindah ke sekolahku sekarang. Yippy, satu sekolah lagi aku ama Ririn kayak dulu.
“Shel, ada Dany diluar,” ujar mama tiba-tiba masuk ke kamarku. “Eh kenapa kamu senyum-senyum gitu?” lanjut mama lagi.
“Tahu nggak ma? Ririn mau pindah ke Indonesia lagi loh. Dan dia juga mau pindah ke sekolah Shela lagi.” Ujarku antusias ke mama.
“Oh itu. Mama udah tahu kok.”
“Idih, kok nggak ngasih tahu Shela sih?”
“Sebenarnya mama mau ngasih kejutan ke kamu. Tapi kamunya udah keburu tahu duluan. Yah jadinya gagal deh kejutannya.”
“Kasihan deh mama.”
“Udah. Itu si Dany ada didepan. Katanya mau belajar kelompok. Sana temuin.”
“Iya iya ma. Sabar deh.” Aku segera keluar kamar dan menuju ke ruang tamu untuk menemui Dany.
Saat aku sampai di ruang tamu, aku melihat Dany sedang mengutak-atik laptopnya. Mau juga tuh anak akhirnya buat bawa lappynya. Padahal tadi pagi aku suruh nggak mau. Dasar si Dany.
“Akhirnya kamu mau bawa lappymu ya. Rayuanku nggak sia-sia jadinya.”ujarku ke dia lalu duduk di sampingnya. Aku melihat layar laptopnya. Yah, masih facebookan.
“Dan, udah ngerjain kimia kan?” tanyaku ke dia sambil membuka-buka tas yang dibawanya.
Dany hanya diam. Ini nih, kalau udah bergulat ama laptopnya jadi gini. Apalagi kalau udah buka fb, jadi lupa segalanya. Akupun di cuekin. Bahkan kalau ada banjir sekalipun dia tenggelam mungkin. Ada dua sebab dia tenggelam. Pertama, yah karena itu. Dia lupa dengan segalanya karena fb dan laptopnya sehingga tidak denger teriakan orang-orang kalau ada banjir. Dan yang kedua, karena dia nggak bisa berenang. Sama sepertiku, haha.
“Oke kalau nggak mau jawab. Aku mau ke kamar. Ngantuk. Bye….” Aku memutuskan untuk beranjak dari dudukku dan melangkah ke kamar.
“Eits, ngambek, marah, jengkel, ato apa nih?” ujar Dany tiba-tiba.
“Ehm, apa ya? Tiga-tiganya juga boleh.” Aku kembali lagi ke dudukku yang semula.
“Mau apa kamu kesini? Numpang fban,” tanyaku masih kesal.
“Masih marah?”
“Ditanya kok malah nanya.”
“Yo  wes. Jare meh kelompokan ndian?” Dany berujar dengan logat jawanya plus dengan bahasa jawa sehingga aku nggak paham dengan apa yang ia ucapkan.
“Ngomong apa sih?” ujarku kebingungan.
“Hehe. Nah katanya mau belajar kelompok kan?”
“Emang. Tapi kalau kamunya sibuk fban yah sama aja kan? Aku nyuruh kamu bawa laptop kan bukan buat fban. Tapi buat bikin makalah. Sini,” aku mengambil alih laptopnya Dany.
“Oke, oke. Nyah.” Dany menyerahkan laptopnya.
Aku segera mengambil alih laptop Dany. Ku tutup fbnya dan aku segera log-in ke fbku. Haha licik dikit nggak apa-apa kan?
“Nah loh? Kok kamu malah yang buka fb sih?” si Dany tampak kebingungan.
“Udah diam. Aku mau chattingan ama Ervan. Dia lagi OL nih,” ujarku dan meneruskan fbanku.
“Mulai lagi. Kalau gitu sini. Aku mau pulang aja.” Dany merebut laptopnya lalu segera di tutup dan memasukkannya ke dalam tasnya.
“Kok marah sih? Jangan gitu dong Dan. Iya iya aku log-out fbku.” Ujarku akhirnya.
“Ya udah cepet kerjain makalahnya.” Suruh Dany ke aku.
“Kok kamu yang jadinya nyuruh-nyuruh aku sih? Sebel!”
**
Menanti hari minggu kok rasanya lama banget ya. Udah nggak sabar jemput Ririn di bandara. Kayak apa ya dia sekarang? Dia masih suka ngumpet di kolong meja nggak ya. Ku harap dia masih kayak dulu. Ririn, sahabat baikku yang sopan dan nyenengin.
“Eh jangan senyum-senyum sendiri. Nanti gila loh,” tiba-tiba Dany membuyarkan lamunanku.
“Resek banget sih.” Ujarku kesal ke dia.
Sekarang emang lagi istirahat, jadinya bebas kalau mau jerit-jerit nggak karuan sekalipun. Sengaja nggak jajan karena lagi ngirit.
“Resek kenapa? Perasaan dari tadi aku diem.” Ujar Dany dengan muka innocent.
“Oke oke. No prob.”
“Ngomong apa sih? Nggak nyambung banget.”
“Hehe,” aku nyengir.
“Hay Yang,” Ervan tiba-tiba menghampiriku di kelas dan duduk di sampingku.
“Hay,” ujarku sambil menyuguhkan senyum manisku ke Ervan. “Eh, ntar besok aku anter ke Bandara ya?” lanjutku lagi.
“Besok? Hari minggu? Aduh, aku nggak bisa Shel, soalnya aku ada janji ama Winda, adikku. Nggak apa-apa kan?”
“Oh ya udah, nggak apa-apa kok.”
“Minta di anter Dany aja.” Ervan melihat ke arah Dany yang sedang menonton layar HPnya, hehe.
“Oh iya. Gimana Dan?” tanyaku ke Dany meminta persetujuannya.
“Oke. Apa sih yang nggak buat kamu?” jawab Dany dengan antusias.
“Ekhem. Ngomong apa lo?” Ervan memandang Dany dengan kesal.
“Ngrebutin aku ya? Aduh, jadi malu.” Ujarku ke-GR-an.
“Dasar!” mereka berujar dengan kompaknya.
**
Hari minggu akhirnya datang juga. Aku udah bersiap menuju bandara untuk menjemput Ririn dan keluarganya. Untuk sementara mereka memang tinggal di rumahku. Soalnya rumah yang mereka beli masih di urus. Jadi belum bisa di tinggalin.
Aku sedang menunggu Dany yang katanya mau menjemputku sekitar jam 8 pagi. Namun, sejak jam tujuh aku sudah siap. Sehingga rasanya lama banget selama menunggu Dany datang ke rumah.
 “Eh udah lama ya kamu nungguin aku?” tanya Dany yang akhirnya datang juga setelah aku nungguin dia selama kurang lebih satu jam. Namun, sebenarnya kedatangan Dany itu tepat waktu. Akunya aja yang kepagian nunggunya. Jadi terasa lama deh.
“Nggak kok. Paling satu jam doang,”
“Yah, itu lama dong. Maaf ya. Lagian kamunya sih nyuruh aku buat datang jam delapan. Ya aku datangnya jam delapan.”
“Nggak apa-apa kok.”
“Ya udah. Berangkat sekarang? Aku tahu kamu udah nggak sabar ketemu sahabat kecilmu itu.”
“Jadi peramal ya sekarang kamu Dan. Tepat banget soalnya. Yuk lah kita capcus,” aku masuk ke dalam mobil dan sedetik kemudian kami telah meninggalkan rumahku.
**
Satu jam sudah aku nunggu kedatangan Ririn dan keluarganya. Namun, sampai sekarang jam Sembilan, dia belum muncul juga. Pesawatnya nyangkut dimana sih? Jangan-jangan macet lagi di atas. Atau, pesawat yang di tumpangi Ririn nabrak Gatot Kaca atau Superman lagi. Aduh, gawat. Ntar bawa-bawa Pak Pol dong, hehe. ( nggak lucu ya? ).
“Emang Ririn ngomongnya jam berapa pesawatnya nyampai?” tanya Dany yang kelihatan gelisah dan nggak nyaman banget.
“Setengan sembilan. Aku juga nggak tahu kenapa telat gini Dan,” aku tak kalah gelisahnya menunggu kehadiran sahabat lamaku itu.
“Ya mungkin sebentar lagi tiba,” Dany berusaha menenangkan kegelisahanku walaupun aku tahu dia juga ikut gelisah karena menunggu kelamaan seperti ini. Karena aku tahu dia paling nggak suka dengan kata menunggu.
“Maaf ya udah ngerepotin. Coba aku nggak ngajak kamu. Pasti nggak buat repot kamu gini.” Ujarku ke Dany dengan nada menyesal.
“Alah, biasa kamu ngerepotin aku kan? Hehe, bercanda. Ini nih, seneng banget si Ervan nggak ikut nunggu lama kayak gini. Tadinya aku yang ngajak adiknya aja, dan dia yang nemenin kamu nunggu lama kayak gini. Sekalian ngecengin adiknya itu, hehe.”
“Gila! Tahu nggak umur Winda berapa?”
“Jangan bilang masih TK,”
“Bukan sih. Tapi udah kelas satu,”
“Satu apa? SMP ato SMA?”
“Satu SD dodol!”
“Ealah, tak kiro kelas siji opo. Jebule iseh SD tha. Ora sido wes. Wedhi marian nangis,” Dany kembali menggunakan bahasa Jawa plus gaya medoknya itu. Aku kebingungan sendiri kalau Dany udah make bahasa Jawa.
Ibunya Dany emang orang Jawa asli. Dan dia juga sehari-hari kalau di rumah menggunakan bahasa Jawa halus saat ngobrol dengan orang tuanya. Terutama dengan ibunya. Katanya, itu dilakukan karena saat lebaran keluarganya mudik ke rumah nenek dari ibunya. Dan di rumah neneknya itu dia diwajibkan menggunakan bahasa jawa halus untuk menghormati neneknya itu.
Sedangkan ayahnya, adalah orang Jakarta campur Batak. Namun, ayah Dany tidak segarang orang-orang batak pada umumnya. Beliau malah kelihatan lembut. Namun tetap saja, perawakannya tinggi besar dan gagah. Dan tubuh Dany di turunkan dari ayahnya itu.
“Ngomong apa sih? Suwer! Aku nggak tahu kamu ngomong apa. Sekatapun,” ujarku jujur dari hatiku yang terdalam.
“Hehe, rahasia ah.”
“Mulai ya. Penasaran nih,”
“Eh Shel, pesawat penerbangan dari LA udah tiba tuh.”
“Yang bener? Tahu darimana kamu?”
“Ketipu!”
“Dasar ya. Kurang asem. Berani-beraninya nipu Shella. Belum tahu akibatnya ya? Awas ya….” Ucapanku menggantung karena tiba-tiba ada pengumuman bahwa pesawat penerbangan dari LA ke Jakarta sudah tiba. Aku antusias mendengarnya. Dan mataku mulai celingukan mencari sosok Ririn. Semoga dia masih bertampang seperti dulu. Sehingga aku nggak pangling melihatnya. Karena si Ririn tidak mengirimiku fotonya yang sekarang.
Ponselku berdering panjang tanda ada telepon masuk. Aku segera mengangkatnya karena ternyata itu dari Ririn.
“Shel?” terdengar suara dari seberang sana setelah aku mengangkat telepon itu.
“Iya Rin, kamu make baju apa? Aku susah nyari kamu,”
“Biru bawahan putih. Ah aku udah melihat kamu. Kamu disitu saja.” Dan telepon langsung terputus.
Aku semakin antusias menanti Ririn. Katanya tadi dia sudah melihatku. Jadi, mana dia?
“Shel!” tiba-tiba ada seseorang memanggilku. Aku langsung menengok ke sumber suara. Ada seseorang yang menghampiriku. Dia siapa? Ririnkah? Tapi…. Dia berjilbab. Namun, dia memakai pakaian yang sama dengan yang di sebutkan oleh Ririn di telepon tadi. Jadi, itu benar Ririn? Tapi dia hanya sendiri. Mana orang tua dan adiknya?
“Eh Shel, dia temanmu itu?” Dany menyenggolku.
“Nggak tahu. Aku nggak mengenalinya. Tapi baju yang dikenakannya sama dengan penjelasan Ririn di telepon tadi.” Aku kebingungan sendiri.
“Hey,” orang itu sudah berada di depanku sekarang. Aku hanya diam. Tidak tahu mau ngomong apa. Aku tidak yakin apa dia benar Ririn atau bukan.
“Kok diam sih? Pangling ya?” lanjut orang itu lagi.
“Kamu benar Ririn?” tanyaku bingung.
“Iyalah. Emang siapa lagi?” jawab orang itu dengan yakinnya. Aku menjadi yakin bahwa dia adalah Ririn. Sahabat masa kecilku. Aku langsung memeluk dia dan mengajaknya untuk ke rumahku sesegera mungkin karena aku udah bosen disini dari tadi.
**
“Shel, aku langsung pulang aja ya.” Dany pamit sesampainya di rumahku.
“Oh iya. Thanks ya udah nemenin. Maaf lama.” Ujarku nggak enak ke Dany.
“Its oke. Bye….” Dan Dany pun langsung ngacir.
Aku dan Ririn langsung masuk ke dalam rumah. Aku langsung membereskan barang-barangnya menuju ke kamar yang sudah ku siapkan untuknya.
“Tante dan Om dimana? Kok sepi Shel?” tanya Ririn, matanya menyapu seluruh ruangan. Mungkin dia bingung dengan perubahan kondisi rumahku sekarang.
“Papa lagi kerja. Pulang ntar malem. Kalau mama lagi jemput Rian di rumah tanteku.” Jelasku ke Ririn.
“Eh iya. Kayak apa ya Rian sekarang? Dulu dia kan masih bayi. Sekarang kelas berapa dia?”
“Baru kelas 2 SD.”
“Oh…. Eh tadi siapa sih? Pacar kamu ya?”
“Bukan, dia temen sekelasku.”
“Keren juga temenmu, hehe.”
“Naksir ya?”
“Nggak juga. Cuma, model cowok seperti dia nggak ada di LA.”
“Iyalah. Khas Indonesia. Made in Indonesia asli. Hehe,”
“Betul. Terus pacarmu mana? Pasti udah punya pacar kan? Secara kamu manis, pinter, dan banyak kelebihan,”
“Muji atau apa nih? Ehm, ada. Tapi dia nggak bisa nemenin aku hari ini.”
“Oh gitu. Ya kapan-kapan kenalin dong.”
“Pasti. Eh sejak kapan kamu make jilbab. Perasaan dulu kamu paling nggak suka make jilbab. Sekarang tobat ya?”
“Udah lama.”
“Alasannya apa?”
“Pingin aja. Biar semua tahu agama aku itu Islam, hehe. Eh kamar mandinya dimana?” tanya Ririn tiba-tiba.
“Di sebelah sana.” Jawabku sambil menunjuk letak kamar mandi.
“Ya udah aku kesana ya,” Ririn langsung bergegas menuju ke kamar mandi.
Aku hanya bingung melihatnya. Tapi Biar deh. Eh aku tadi belum sempet nanya. Kok orang tuanya nggak ikut ya. Ntar aja deh.
**
Hari ini Ririn akan mendaftar di sekolahku. Ia berangkat lebih pagi daripada aku. Dan Mama Papalah yang mengantarnya. Karena orang tuanya tidak ikut kesini.
Ternyata, orang tuanya tidak ikut karena mereka sedang ada kerjaan yang sangat penting dan tidak bisa ditinggal. Awalnya, Ririn juga menolak untuk berangkat sendiri kesini. Tapi akhirnya, ia mau karena dia tidak ingin ketinggalan pelajaran kalau ia berangkat bareng orang tuanya kesini.
“Semoga beruntung ya,” ujarku ke Ririn yang mau berangkat.
“Sip. Eh kamu kok nggak sekalian berangkat aja sih ama aku?” tanyanya sambil memakai sepatu.
“Aku berangkatnya ntar. Ini kepagian,” jawabku santai sambil menyendokkan nasi ke piring.
“Iya Rin, dia ntar. Di jemput pacarnya,” mama menyela pembicaraanku dengan Ririn.
“Oh, satu sekolahan ya? Ntar aku kenalin ya. Aku mau berangkat dulu. Papamu udah siap tuh di depan. Bye….” Ririn berlari keluar.
“Shel, mama berangkat ya. Sekalian ngantar Rian. Kamu sarapannya di habisin.” Ujar mama menghampiriku.
“Oke bos,” jawabku mantap sambil mencium punggung tangan mama.
“Assalamu’alaikum,” pamit mama lalu melenggang keluar.
“Wa’alaikumusalam,” jawabku telat.
Aku meneruskan kembali acara makan pagiku. Aku udah nggak sabar sekolah hari ini. Semoga Ririn satu kelas denganku. Tadi aku juga udah bilang ama mama buat bilangin ke kepala sekolahnya supaya Ririn satu kelas denganku.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul enam lewat empat puluh lima menit. Kok Ervan belum datang ya? Biasanya kan jam segini dia udah datang. Kemana dia? Aku berjalan keluar dan menunggu Ervan di teras.
Lima menit sudah aku nunggu Ervan. Dan dia belum datang juga. Kemana sih dia? Apa dia nggak berangkat? Tapi dia kok nggak bilang ama aku sebelumnya?
Apa aku naik angkot aja ya? Kan nggak lucu kalau telat dan ditanya satpam alasan telat dan aku jawabnya karena nunggu pacar. Nggak lucu banget.
Akupun akhirnya berjalan keluar rumah untuk mencari kendaraan. Namun, tiba-tiba Ervan datang dengan menggunakan motornya dan helm hitamnya. Idih tuh anak. Kayak ninja aja. Udah makenya jaket item lagi.
“Maaf Yang telat, soalnya aku harus nganter Winda dulu ke sekolahnya,” ujarnya sambil membuka helm di kepalanya itu. Mukanya berkeringat dan kelihatan capek banget. Pasti tadi ngebut. Untung tidak benjut, hehe.
“Ngebut ya tadi?” tanyaku khawatir.
“Iya. Takut kamu nunggu lama.” Jawabnya sambil mengelap keringat di dahinya dengan tangan.
“Ih, jangan di lap pake tangan dong Van. Nih,” aku memberikan tisu padanya.
“Idih, masak cowok pake tisu. Nggak ah,” Ervan menolak tisu yang ku berikan padanya.
“Ya udah. Oke deh. Sini aku lap-in,” aku mengelap keringat Ervan.
“Nah gitu dong Beb,” si Ervan malah cengar-cengir.
“Ini emang mau kamu kan?”
“Tahu aja. Yuklah berangkat. Lima menit lagi gerbang di tutup loh,”
“Hah yang bener?” aku melihat jam tanganku. “Ya udah yuk,” ternyata benar saja. Lima menit lagi bel masuk bunyi.
Aku langsung membonceng Ervan. Diapun langsung melajukan motornya dengan kecepatan yang kencang. Untung aku nggak punya penyakit jantung. Kalau punya kan langsung mati di tempat sih.
Walaupun Ervan sudah mengendarai motornya dengan kecepatan yang kencang, tapi tetap saja kami telat. Gerbang sebelah kanan sudah di tutup. Dan dengan malas kami melewati gerbang sebelah kiri yang sudah di jaga dua satpam dan siap menghukum kami.
Baru pertama kali aku kena hukuman karena telat gini. Tidak boleh mengikuti jam pelajaran pertama dan harus ngambilin sampah di halaman depan sekolah. Ih males banget deh.
“Maaf ya Shel, gara-gara aku telat jemput kamu jadi gini. Coba aja tadi aku sms kamu dulu kalau aku bakal telat gini dan nyuruh kamu berangkat dulu. Pasti kamu nggak akan di hukum kayak gini.” Ujar Ervan yang kayaknya dengan penyesalan.
“Nggak apa-apa kok. Lagian jarang-jarang kan nggak ikut satu jam pelajaran dan bisa bareng ama kamu?” ujarku boong. Padahal mah, males banget ngambil sampah kayak gini.
“Bener nggak apa-apa kan? Kamu duduk aja deh, biar aku saja yang ngambil sampah. Selagi nggak ada satpam yang jaga,”
“Nggak ah. Lagian kan, berat sama dipikul ringan sama dijinjing,” ujarku boong lagi. Padahal kan, aku pengen duduk. Capek.
“Kamu memang the best deh. Nggak salah aku punya cewek kayak kamu.” Ujar Ervan sambil senyum dan tangannya hendak mengacak-acak rambutku seperti biasa.
“Mau apa kamu? Nggak! Tanganmu kotor tauk!” aku menghalangi tangan Ervan. Ervan hanya nyengir.
Bel tanda pelajaran pertama usai akhirnya berbunyi juga. Huht! Baru pertama kali 45 menit rasanya seabad.
“Sekarang kalian masuk. Ini surat izinnya.” Sang satpam memberikanku surat izin karena telat. Dasar. Coba aja satpamnya pelupa ya. Pasti aku tadi udah kabur ke kelas.
“Van, ke toilet dulu yuk. Cuci tangan,” ajakku ke Ervan.
“Okeh deh. Apa sih yang nggak buat kamu?”
“Ih, copas kata-katanya si Dany,”
“Eh jangan salah. Itu hak ciptaku loh,”
“Udah deh, yuk.” Aku menarik tangan ervan menuju ke toilet. Untung saja toiletnya dekat dengan kelasku sehingga aku bisa sampai di kelas dengan cepat setelah dari toilet.
“Istirahat ke Kopsis ya. Aku ada sesuatu buat kamu.” Ujar Ervan setelah dari toilet. Tepatnya ada di depan kelasku.
“Kenapa di kopsis sih? Kan jauh.”
“Udah kesana aja. Jangan lupa loh,” Ervan berlari ke kelasnya yang terletak tujuh kelas setelah kelasku.
Aku memasuki kelas dengan hati-hati dan tak lupa juga mengucapkan salam. Terlebih dahulu aku mendekat ke meja guru untuk memberikan surat izin keterlambatanku. Ih, memalukan banget deh. Biasanya aku kan nggak pernah telat. Sial sial.
Setelah semuanya beres aku langsung duduk ke tempatku. Shinta, teman sebangkuku kebingungan sendiri melihat keterlambatanku hari ini.
“Eh nggak ada anak baru ya disini?” tanyaku ke Shinta sambil celingukan. Karena disini nggak ada Ririn. Jadi dia masuk di kelas apa dong?
“Nggak ada. Kabarnya sih ada anak baru emang. Tapi dia masuk di kelas XII IPS dua.” Jelas Shinta. Hah? Dua belas IPS dua? Itu kan kelasnya Ervan. Jadi Ririn sekelas sama Ervan dong.
Saat aku akan bertanya kembali ke Shinta, tiba-tiba dahiku terkena sebuah gulungan kertas. Ih, siapa sih? Iseng banget. Awas ya kalau emang disengaja. Kalau nggak disengaja pun awas ya.
Aku buka gulungan kertas itu. Eh ada tulisannya. Jadi ini emang disengaja. Siapa sih? Jail banget. Dan kubaca tulisan itu.
“Kenapa Shel tlat? Tumben banget deh,”
Ah aku tahu siapa yang melempariku kertas ini. Aku menengok ke arah Dany. Dia bertanya tanpa suara dengan pertanyaan yang sama seperti yang ditulisnya di kertas yang dilemparnya tadi. Ah kubalas dengan kertas tadi aja deh.
“Tadi Ervan jemputnya telat. Jadi gini deh.” Dan kulempar ke meja Dany.
**
Bel istirahat berbunyi dengan merdunya. Aduh capek. Ini pasti gara-gara tadi pagi bungkuk karena ngambil sampah pasti. Ah sebel deh.
Ponselku bergetar pendek tanda ada sms masuk. Aku langsung mengambil ponselku di saku dan langsung membaca smsnya. Eh dari Ervan.
Shel, udh istrhat? Xl udh, k.kopsis y,itulah bunyi sms Ervan.
Eh iya aku lupa. Tadi pagi Ervan kan nyuruh aku buat ke kopsis ya. Oke deh, Im Coming.
Tidak lama kemudian aku sampai di Kopsis. Tapi sebenarnya mau ngapain sih dia nyuruh aku ke kopsis? Kayak nggak ada tempat lain aja.
Sini, Ervan muncul dan langsung menarik tanganku masuk ke dalam koperasi siswa.
Mau ngapain sih?tanyaku bingung. Bu Ayu mana? Kok nggak ada yang jaga?” tanyaku lagi masih bingung.
“Bu Ayu aku suruh pergi. Aku yang jaga,” jawab Ervan dan membuatku semakin bingung.
“Kok bisa?” aku masih bingung.
“Lupa ya? Bu Ayu kan tanteku. Jadi ya dia mau mau aja.” Jelasnya lagi dan akhirnya aku paham juga.
“Hehe. Lupa. Terus? Ngajak kesini mau apa?” tanyaku masih bingung juga.
“Satu minggu lagi kamu kan mau ulang tahun. Kamu mau minta apa?”
“Masak? Emang satu minggu lagi? Aku kok malah nggak ingat ya?”
“Dasar! Mau minta apa?”
“Kamu maunya ngasih apa?” tanyaku balik.
“Ditanya kok malah nanya,”
“Ehm, aku mintanya sih Cuma kamu aja. Kamu tetep sayang ama aku. Kalau bisa ya tambah sayang. Don’t leave me,” jawabku akhirnya sambil tersenyum manis.
“Ih, so sweet.”
“Emang ya kamu nggak mau pake tisu katanya kayak banci. Nah ini, ngomongnya kayak apa? So sweet so sweet segala,”
“Hehe jangan gitu dong. Eh duduk yuk, capek nih.” Ervan menarik tanganku dan menyuruhku duduk.
“Gimana? Bisa nggak Menuhin permintaanku itu?” tantangku ke Ervan.
“Apa sih yang nggak buat kamu Beb?”
“Idih, dari tadi manggilnya Beb Yang Beb Yang mulu. Kamu kira aku udah tua kamu panggil eyang. Aku manusia tauk, masak dipanggil bebek! Kejem!”
“Aduh, lupa aku, hehe.”
“Van, tadi di kelasmu ada murid baru ya?”
“Ehm nggak tahu. Nggak konsen tadi aku. Jadi nggak merhatiin sekeliling,”
“Nggak konsen kenapa? Sakit? Punggung aku sakit nih gara-gara tadi bungkuk terus ngambilin sampah,”
“Aduh, aku jadi tambah merasa bersalah nih gara-gara aku kamu jadi gini.”
“Idih lebay. Dari tadi ngomong gitu mulu.”
“Emang bener kok. Kenapa nanya murid baru tadi?”
“Soalnya kata Shinta murid baru masuk di kelas kamu,”
“Cewek ato cowok?”
“Cewek. Tahu nggak dia siapa?”
“Nggak. Tahu ada murid baru aja nggak. Emang siapa?”
“Dia tuh Ririn.”
“Oh gitu.”
“Idih, reaksinya kok gitu doang.”
“Nah harus gimana lagi?”
“Ya apa kek. Histeris ato apa. Jingkrak-jingkrak juga boleh. Eh Van kok nggak ada murid yang beli sih ? tumben. Biasanya aja rame banget.”
“Mereka kan tahu disini ada sejoli yang dimabuk cinta.”
“Ah bahasanya tingkat tinggi.”
Baru aku ngomongin kalau nggak ada pembeli tiba-tiba seorang murid masuk. Ternyata Dany yang masuk. Aduh, ku kira ada guru yang masuk. Udah, dag dig dug pyar nih jantungku.
“Yailah, aku cariin ternyata kamu disini Shel.” Ujarnya menghampiriku.
“Ada apa?” tanyaku dengan memasang muka innocent.
“Kamu di cariin Bu Retno tadi. Di suruh foto kopi soal-soal matematika.”
“Kenapa bukan bendaharanya saja sih? Aku capek nih.”
“Orang Bu Retno nyuruhnya kamu kok.”
“Ya udah, ntar aja deh. Eh Dan, aku minjem buku biologi kamu ya. Yang tugas kelompok kita kemarin belum aku salin ke bukuku,”
“Nggak aku bawa bukunya. Ntar sore deh aku ke rumahmu.”
“Awas ya kalian main api,” tiba-tiba Ervan bersuara.
“Bro, gue nggak suka main api. Gue sukanya main futsal daripada main api. Ya kalau nggak futsal basket juga boleh. Bukan main api. Soalnya takut kebakar Bro,” ujar Dany dengan gaya lebay.
“Yups! Betul kata Dany. Aku juga nggak suka main api Van. Panas.” Aku dan Dany tertawa puas melihat tampang Ervan yang BT sendiri.
“Jam berapa ntar sore Dan?”
“Jam tigaan aja. Aku males di rumah Shel. Sepi. Ato ntar kamu pulang bareng aku aja. Mampir ke rumahku ngambil bukunya. Dan aku main ke rumahmu,”
“Oh nggak bisa. Shella udah sama aku.” Sela Ervan dan membuatku tidak jadi menjawab ajakan Dany.
“Oke oke Bro. nggak usah emosi gitu.”
“Nggak usah ngrebutin aku.”
“PD!” dan Ervan dan Dany menjawab dengan kompak lagi.
Bel tanda berakhirnya istirahat berbunyi dengan ceria. Aku, Dany, dan Ervan kembali ke kelas dengan malas. Ah, rasanya kok istirahat cepet banget ya. Kurang lama istirahatnya.
**
Akhirnya jam setengah tiga. Dan itu artinya waktunya pulang. Haha, mau tidur. Capek banget hari ini.
Ponselku bergetar pendek tanda ada sms masuk. Langsung ku buka sms itu walaupun masih ada guru di kelas. Biarin ah, ini kan udah pulang.
“Shel, trnyta hri ini aku lthan basket. Jd aku nggak bsa nganter kmu plg. Gpp kan?”  ternyata itu sms dari Ervan.
“Oke gpp kok. Aku pulang brg Dany ya.”  Balasku ke Ervan.
“Iy. Jgn slingkuh loh.”  Idih cepet banget balesnya. Udah keluar ya di kelas Ervan. Aku aja buka smsnya harus main kucing-kucingan ama gurunya biar nggak ketahuan.
“Iy. Gx ush emsi gtu dong,” dan ku balas lagi ke Ervan.
Ehm, bikin surat lemparan ke Dany ah. Lagian nih guru kok masih betah aja di kelas. Nggak denger bunyi bel atau apa sih. Masih aja nulis di papan tulis. Nggak capek tuh tangan.
“Dan, aku plang nbeng kamu ya. Ervan hri ini lthan basket nih.” Dan ku lempar kertas itu ke mejanya Dany.
Tidak lama kemudian kertas itu kembali ke mejaku. Ehm, perlu diketahui, mejaku dengan meja Dany itu memang tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh. Jaraknya sekita empat meja dengan mejaku. Dany duduk di deretan kedua larik ke tiga dan aku duduk di deretan ke empat larik ke lima atau paling belakang sendiri.
“Oke. Apa sih yg gk buat kamu…. HeheJ.” Okelah. Urusan kendaraan pulang sudah beres, hehe.
**
Dua jam sudah Dany di rumahku. Papa dan Mama belum pulang. Jadi urusan makan aku dan Ririn yang mengendalikan. Ririn jago masak juga loh ternyata. Eh Dany juga. Diam-diam dia juga jago masak. Dan masakannya juga lumayan. Lumayan ancur, haha.
Setelah makan siang selesai, aku dan Dany mengerjakan tugas kelompok biologi kami yang sempat tertunda kemarin. Sementara Ririn, dia memilih untuk tidur daripada menemani kami belajar.
“Eh Shel, kamu kok nggak jilbaban kayak Ririn sih?” tanya Dany disela belajar kami.
“Nggak ada uang buat beli jilbab, haha.” Jawabku asal-asalan.
“Aku kasih deh. Aku kan orang terlanjur kaya di komplek ini. Hahaha,”
“Idih, keren dong,”
“Eh baru tahu aku keren ya? Makanya jangan lihat Ervan terus. Sekali-kali lihat orang ganteng di depanmu ini,”
“Masalahnya Dan, kamu itu transparan. Tembus pandang kayak setan, haha.”
“Kurang ajar….” Perkataan Dany menggantung Karena si Ervan tiba-tiba datang.
“Heh, siapa lo? Mau maling ya?” sergah Dany tiba-tiba. Ni anak emang konyol banget.
“Iya. Gue kan pencuri hatinya Shella,” jawab Ervan dan memandangku.
“Ih, so sweet.” Jawabku asal-asalan juga. Bingung mau jawab apa. Biasanya kalau Ervan lagi dikerjain Dany aku ikut ngerjain juga.
“Preeeet. Gaya banget bahasa lo Bro! nggak kayak gue. Kalau gue kan penjaga,”
“Penjaga kuburan ya?” tanya Ervan lalu duduk di sampingku.
“Eits bukan Bro. Gue kan penjaga hatinya Shella. Iya kan Beb,”
“Kurang ajar lo!” Ervan tampak marah besar. Sementara Dany hanya tertawa puas melihat Ervan yang kesal itu. Aku hanya geli melihat mereka berdua. Selalu seperti itu.
“Ini nih. Kalau mau ngrebutin aku tuh jangan di depanku. Udah aku di apit dua samudera lagi. Mau kabur kan susah,” aku memang duduk di antara Dany dan Ervan. Sebelah kanan ada Dany yang masih memakai seragam sekolahnya dan di sebelah kiri ada Ervan yang masih memakai kaos olah raganya.
“Nah biasanya sebelah kanan itu yang terbaik Shel,” ujar Dany dan tambah membuat Ervan garang.
“Biasanya kan? Nah ini beda, yang sebelah kiri the best,” Ervan tak mau kalah. Aduh, kok jadi kayak kucing ama tikus sih? Nggak banget deh.
“Udah deh. Aku kan jadi GR,” ujarku nggak karuan. Ah bingung ngadepin mereka mau gimana. Lagian ribut banget dari tadi.
“Ada apa sih? Ribut banget?” Ririn muncul dari dalam dengan mata kuyup. Aduh, kayaknya dia terganggu nih. Dan salutnya, walaupun matanya masih kuyup seperti itu tapi dia tidak lupa memakai jilbab.
“Loh? Kamu kan yang anak baru itu kan?” Ervan tampak bingung melihat kehadiran  Ririn.
“Iya. Kamu ketua kelas di kelas baruku yang tadi telat kan?” tanya Ririn dengan halus dan duduk di depanku.
“Van, dia ini sahabatku yang aku certain itu.” ujarku menjelaskan ke Ervan.
“Oh gitu.” Ujar Ervan mantuk-mantuk.
“Heh awas-awas ada yang cinlok loh ntar,” Dany memulai lagi. Ni anak emang nggak bisa diem ya.
“Kamu kenal dia ya Shel,” Ririn memandangku dengan pandangan bingung. Aku hanya tersenyum.
“Bukan kenal lagi. Aku kan pacar tercintanya Shella. Ya kan Beb?” ujar Ervan membanggakan dirinya sambil melirik ke arah Dany dengan tatapan aneh. Mereka memang selalu membuat gara-gara.
“Oh jadi dia pacarmu ya Shel? Wah ternyata aku kenal tanpa melalui kamu ya?” ujar Ririn masih dengan nada lembut.
Dari dulu, dia memang gaya bicaranya seperti itu. Lembut banget. Beda dengan aku. Oke, aku memang tidak tomboy. Tapi kata orang-orang aku tegas. Sampai-sampai dari dulu aku selalu terpilih menjadi ketua kelas. Itu semua karena ketegasanku. Kalau bukan ketua kelas ya wakil ketua.
“Iya,” aku tersenyum sangat tulus. Haha kali ini nggak bohong loh.
Aku kembali menyelesaikan tugasku dengan Dany dan dibantu oleh Ririn. Dan ini nih yang jarang ku lihat. Ervan membantu Dany menyelesaikan tugas kami. Prok prok prok, keren.
“Ni Dan selesai. Ntar kamu yang ngetik ya. Aku deh yang ngeprint ntar. Gantian gitu.” Ujarku sambil menyerahkan buku biologiku.
“Oke deh. Terserah deh. Aku yang ngeprint juga nggak apa-apa. Tapi kertas HVSnya sumbang ya. Soalnya papaku lagi pergi jadi nggak ada persediaan kertas dirumah,” ujar Dany panjang tanpa putus alias nyrocos.
“Udah aku aja. Lagi banyak tinta soalnya printerku, hehe.”
“Oh gitu. Oke deh. Eh udah jam lima, pulang dulu ya. Mau tanding ama komplek sebelah.” Dany pamit dan segera melenggang keluar. Namun, saat di ambang pintu ia berhenti dan menoleh ke kami lagi.
“Eh bro. Yuk pulang bareng gue. Daripada disini lo beda sendiri,” ujarnya sambil nyengir.
“Heh? Kurang ajar lo!” si Ervan kesal. Dany hanya tertawa dan melanjutkan langkahnya kembali.
“Hati-hati Dan,” teriakku. Entah dia denger ato nggak.
“Shel, aku pulang dulu ya. Mau mandi lengket banget nih,” ujar Ervan padaku.
“Iya nih. Bau lagi,” ujarku sambil tersenyum.
“Ya udah, sampai besok ya. Bye….” Ervan melangkah keluar.
Kini tinggal aku dan Ririn. Dan tugas kami adalah membereskan barang-barang yang berantakan.
**
“Shel, aku berangkat dulu ya.” Ririn pamit kepadaku.
Ririn memang selalu bareng berangkatnya dengan Papa yang mau berangkat ke kantor dan Mama yang mau nganter Rian ke sekolahnya plus mau ke toko. Karena sebenarnya, arah semua tujuannya itu sama. Namun, aku lebih memilih berangkat bareng Ervan. Itu karena Papa dan mama berangkatnya kepagian. Sedangkan aku males mandi pagi-pagi. Dingin.
“Iya. Mama Papa dimana?” aku celingukan mencari sosok orang tuaku dan juga Rian, my lil bro.
“Mereka udah di depan. Ya udah aku berangkat dulu ya,” Ririn berjalan keluar meninggalkanku yang sedang sarapan.
**
Sarapanku selesai tepat pukul tujuh kurang lima belas menit. Dan saat aku keluar menuju ke teras rumah, Ervan juga datang tepat waktu.
“On time ya?” ujarku dan langsung memboncengnya.
“Iya. Takut telat kayak kemarin soalnya,” jawabnya sambil menyetarter motornya. Dua detik kemudian kami telah melaju dengan kecepatan setengah-setengah. Setengah cepat  setengah lambat, hehe.
“Emang Winda nggak minta di anter lagi?”
“Minta sih tadi. Cuma aku nolak. Soalnya aku males di hukum kayak kemarin lagi,”
“Eh nah jadinya Winda gimana dong?”
“Ya nggak gimana-gimana.”
“Idih, masak adek sendiri di tinggal sih?”
“Udah. Beres kok. Dia sama Mamaku. Pegangan, mau ngebut nih,” ujar Ervan dan wessss…. Motor melaju dengan cepatnya.
Kurang lebih delapan menit kemudian kami sampai di sekolah. Aduh, kalau tiap hari gini terus rambutku berantakannya nggak karuan nih. Lagian ni anak tumben banget ngebut. Kemarin aja yang jelas-jelas udah telat banget dia nggak ngebut-ngebut banget kayak gini. Nah sekarang, yang waktunya masih lama dia ngebut kayak gini. Untung tadi nggak benjut, haha.
“Shel, temenin makan di kantin yuk. Laper nih belum sarapan.” Ajak Ervan setelah dia memarkirkan motornya di parkiran.
“Oh tadi ngebut itu karena laper tha? Bilang dong,” ujarku ke Ervan setelah paham kenapa dia tadi ngebut kayak di kejar maling.
“Iya. Tadi sebenarnya kesiangan. Nah tadi bingung mau sarapan atau nggak. Dan aku pilih nggak sarapan. Soalnya takut telat kayak kemarin. Aku kan nggak mau bidadari cantikku ini tangannya kotor lagi gara-gara ngambilin sampah. Yuk,” Ervan menggandeng tanganku menuju ke kantin sekolah.
**
Satu pekan sudah Ririn tinggal di rumahku. Asyik, ada temen ngobrol. Sebelumnya kan aku hanya main dengan Rian doang. Atau kalau nggak aku nangis karena kena pukul Rian yang masih overact itu.
Orang tuanya belum ke Indonesia karena katanya kerjaan disana masih numpuk dan nggak bisa ditinggal. Ya mau nggak mau Ririn harus nurut. Ada untungnya buat aku. Karena semakin orang tua Ririn belum kesini berarti Ririn harus tinggal di rumahku. walaupun sebenarnya rumah yang di beli sudah selesai di urus dan udah bisa ditinggalin, tapi Ririn nggak mau tinggal sendiri disana. Takut sendirian katanya.
Di sekolahpun sama. Terasa berbeda setelah ada Ririn. Karena yang sebelumnya aku hanya dengan Ervan dan Dany saat istirahat, sekarang aku ama Ririn juga. Aku jadi ada temen cewek saat istirahat begitu. Biasanya kan aku cewek sendiri diantara dua cowok.
“Shel, ngantin yuk. Laper.” Dany mengejutkanku yang sedang membaca buku di kelas. Ia memegangi perutnya.
“Yuk. Aku juga laper nih,” tanggapku lalu berdiri.
Aku dan Dany berjalan menuju kantin. Catatan, sebenarnya saat ini itu bukan jam istirahat. Namun, guru-guru sedang breaving. Jadi ya manfaatkanlah waktu kosong sebaik-baiknya dengan jajan di kantin, haha.
“Dimana nih duduknya?” tanya Dany setelah sampai di kantin.
“Mana aja boleh. Asal….” Ucapanku menggantung karena Dany memotong ucapanku.
“Asal nyaman, sejuk, dan aman. Iya kan?”
“Hehe, tepat sekali.” Jawabku sambil nyengir. “Eh situ aja. Kayaknya enak tuh disitu.” Sambungku lagi sambil menunjuk sebuah tempat di kantin di bagian pojok.
“Oke deh. Kamu duduk aja. Aku pesenin.” Dany menuju ke tempat mbak kantinnya. Haha, bahasanya kok mbak kantin.
“Kayak biasa aja ya Dan,” ujarku ke Dany lalu menuju ke tempat yang aku pilih tadi.
Tiga menit kemudian Dany datang dengan membawa makanan pesananku dan dia. Nggak sabar makan. Laper banget soalnya.
“Hey. Berdua aja nih?” sapa seseorang tiba-tiba. Saat aku tengok siapa orang tersebut ternyata dia adalah Ervan dengan Ririn.
“Iya dong.” Dany menjawab dengan mantap. Aduh, mau nyari gara-gara apalagi ni anak dua.
“Rin, makan apa?” tanya Ervan ke Ririn.
“Kayak yang dimakan Shella aja deh. Kayaknya enak.” Jawab Ririn lalu duduk di sebelahku.
“Ya udah aku pesenin ya.” Ervan berjalan menuju ke mbak kantinnya. Aduh, sebenarnya bahasa mbak kantin itu enak di ucapin nggak sih?
“Makan Rin?” tawar Dany ke Ririn.
“Iya.” Ririn hanya mengangguk dan tersenyum.
Tak lama kemudian Ervan datang dengan membawa makanan dan minuman. Tumben ni anak rajin. Biasanya aja kalau makan di kantin milihnya meja yang dekat dengan tempat makan supaya di layanin ama mbak kantinnya.
“Nih Rin,” Ervan memberikan pesanan Ririn lalu duduk di samping Dany. Atau tepatnya di depanku.
“Dan, nah ini minumnya mana? Keselek nih,” ujarku ke Dany. Atau tepatnya menyalahkan Dany yang tadi tidak memesankan minum untukku.
“Ya Allah. Lupa. Ntar ya. Tunggu,” Dany mengambilkanku minum di mbak kantin.
Aku beneran keselek sehingga aku batuk-batuk nggak karuan. Idih, lagian si Dany itu nggak banget deh. Orang aku udah bilang yang biasa kok nggak ngerti. Dasar, pelupa. Factor usia sih, hehe.
“Nih minum. Kok sampai merah gitu sih mukanya? Sakit nggak?” Ervan menyodorkan minumannya ke aku. Aku segera menyambar minuman itu dan langsung ku teguk. Ah nggak peduli deh sopan atau nggak. Lagian tenggorokan jadi sakit nih. Untung nggak sampai hidung.
“Sampai hidung nggak? Nggak apa-apa kan?” tanya Ervan dengan nada khawatir.
Aku masih batuk-batuk nggak karuan. Susah kalau udah keselek kayak gini. Tenggorokan rasanya panas. Ih, nggak enak deh pokoknya.
“Nggak apa-apa kan? Kok masih batuk-batuk gitu sih? Perlu tisu nggak? Bawa tisu?” Ervan masih khawatir dengan kondisiku. Aku hanya menggeleng dengan semua pertanyaan yang diluncurkan Ervan padaku.
“Rin, tadi kamu kan bawa tisu. Aku minta ya,” Ervan menyodorkan tangannya ke Ririn. Ririn langsung merogoh saku bajunya dan mengambil tisu dari situ.
“Nih, lap semua,” Ervan memberikan tisu yang di dapatnya dari Ririn kepadaku.
“Sakit,” ujarku dengan suara serak.
“Makanya kalau makan pelan-pelan. Apanya yang sakit?” Ervan mengelap mukaku yang bercucuran keringat.
“Tenggorokan. Anter ke toilet?” ujarku dengan penuh harap.
“Yuk.” Ervan menggandengku. “Rin, duluan ya. Kamu nanti sama Dany aja.” Sambungnya lagi.
Aku dan Ervan berjalan menuju toilet. Toilet cukup jauh dari kantin. Bahkan harus melewati kelasku dulu. Haha sekalian aku mau ngambil facial foamku. Ah nggak apa-apa kan? lagian mukaku pasti merah semua nih.
“Tungguin ya. Aku mau ngambil tisu dulu,” aku masuk kelasku dan mengambil facial foamku di tas, juga tisu. Bedak nggak ya? Iya deh, hehe.
“Yuk,” ujarku setelah kembali menemui Ervan di depan kelasku. “Merah semua ya mukaku?” tanyaku sambil mengelap muka dengan tisu.
“Iya. Kalau makan pelan-pelan dong Shel,” ujar Ervan tapi aku langsung masuk aja ke dalam toilet. Keburu jam breaving habis.
Lima menit kemudian aku keluar dari toilet. Ku lihat ervan yang masih khawatir menungguiku di luar toilet.
“Udah nggak apa-apa kan? masih sakit tenggorokannya?” tanyanya masih degan nada khawatir.
“Nggak kok. Eh tadi aku kan belum bayar Van. Ke kantin lagi yuk.” Ajakku.
“Nggak usah. Tadi aku udah sms Ririn supaya di bayarin. Ntar aku yang ganti,” jelasnya dan membuatku lega.
“Haus. Beli minum yuk,”
“Kopsis aja ya? Biar gratis, hehe.”
“Hush, maunya yang gratis aja. Itu kan punya sekolah.”
Aku melangkah menuju ke kelas untuk mengembalikan semua make up yang aku ambil dari tas tadi. Haha nggak enak ngantongin itu.
Saat aku baru menginjak ambang pintu, tiba-tiba Bu Retno, guru matematikku menghadangku. Mungkin maksudnya bukan menghadang sih. Cuma kebetulan aja.
“Shel, ntar kamu kopiin soal-soal ini. Foto kopinya di selatan sekolah aja ya.” Bu Retno menyerahkan tiga lembar soal matematika kepadaku.
“Baik Bu,” ujarku sambil membungkuk.
Bu Retno melangkah pergi dengan santainya. Sementara aku kebingungan mau minta dianter siapa buat foto kopi ini. Eh, kan ada Ervan ya. Minta anter dia aja ya.
“Van, anter foto kopi ini yuk,” ajakku sedikit manja. Haha biar nggak ditolak.
“Sip. Apa sih yang nggak buat kamu.” Ujarnya dan mengambil lembaran kertas di tanganku.
Aku dan Ervan berjalan menuju tempat foto kopi di sebelah selatan sekolahku. Tempatnya tidak terlalu jauh, Cuma berjarak 5 meter doang. Penjaganya ramah. Dan bagi manusia ekonomi yang terpenting adalah harganya yang murah, hehe.
“Mbak foto kopi. 34 ya mbak,” aku menyerahkan lembaran soal matematika itu saat sampai di tempat foto kopi. Eh ini mau di tunggu atau apa ya? Tadi breavingnya kan udah selesai. Tapi ini kan pelajaran matematika. Mungkin di tunggu aja ya. Eh tapi gimana ama Ervan?
“Van, aku mau nunggu ini. Kamu balik aja. Ntar kamu ketinggalan lagi.” Saranku ke Ervan.
“Idih, ngusir dalam bentuk halus nih. Nggak ah, aku nunggu kamu aja. Lagian ini jamnya Sosiologi. Males aku,”
“Ih, gitu. Lagian yang nyuruh kamu masuk IPS siapa? Salah sendiri nilai IPSnya bagus,”
“Haha, takdir itu Shel.”
Dan kami bercanda selama menunggu foto kopi itu selesai untuk menghilangkan BT.
**
Jam pelajaran terakhir ini sangat membosankan. Biologi kembali masuk lab dan membahas tugas kelompok kemarin. Dan secara otomatis aku duduk dengan Dany karena aku satu kelompok dengan Dany.
Tiba-tiba Dany menyodorkan selembar kertas padaku. Aku langsung membacanya.
“Sorry ya tadi di kantin,” dan aku menuliskan sebuah kalimat lalu mendorongnya ke Dany.
“Nggak apa-apa. Lagian akunya juga yang kelaparan jadinya makannya ngebut sampai benjut,”
Dany membalas lagi. Haha, jadi balas-balasan deh. Walaupun kami berhadapan tapi kami tidak bisa ngobrol walaupun dengan suara sekecil apapun. Karena guru biologi ini telinganya itu telingga kelinci. Peka banget.
“Udah nggak apa-apa kan?”
“Udah nggak. Maaf juga ngerepotin kamu Dan.”
“Ngerepotin apanya?”
“Ya kamu kan tadi jadi sibuk nyari minum buat aku,”
“Iya nggak apa-apa. Eh ntar pulang bareng aku yuk,”
Saat aku hendak membalas lagi tiba-tiba kurasakan HPku bergetar dalam saku bajuku. Aku langsung membukanya selagi gurunya lagi ngoceh di depan. Lagian siapa suruh aku mejanya di belakang? Nyebelin banget.
Eh ternyata dari Ervan. Kenapa dia? tumben banget lagi pelajaran sms aku. “Shel, ntar plang brg y. aku tunggu di prkran. Ntar km lgsg ksna aja,” dan aku langsung membalasnya. “Iy. Tp prkran kan jauh. D.grbang aja deh. Ya?” jadi smsan deh ama Ervan.
“ya udh. Ntar lgsg k.grbang aja ya,”
“Sip. Nggak lthn lg y?”
“Gk. Jdinya ntar sre.”
“Sekarang kelompoknya Shella dan Dany. Maju ke depan dan presentasikan jawaban kalian,” tiba-tiba suara sang guru mengarah ke mejaku. Aduh, ganggu aja deh.
Dengan malas aku berjalan ke depan untuk mempresentasikan jawabanku dan Dany.
**
Pelajaran terakhir memang betul-betul membosankan. Untung aja presentasi jawaban kelompokku itu dapat respon yang bagus dari gurunya. Kalau nggak, aduh kayaknya aku bakal bad mood banget deh.
Bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak satu menit yang lalu. Namun, si guru belum juga keluar dan menyuruh kami untuk pulang. Ah, kayaknya semua guru kok betah banget ngajar kelasku.
“Baik, sekarang kalian boleh pulang. Berdoa terlebih dahulu. Ketua kelas yang memimpin,”
Akhirnya, dia nyerah juga ngajarnya. Mungkin guru itu udah mulai laper. Pingin makan siang, hehe.
Aku memimpin doa. Tidak usah lama-lama, cukup tiga puluh detik lalu selesai. Setelah itu semua murid berhamburan keluar dari lab dan pulang semua.
Aku langsung berlari menuju ke gerbang depan. Aku mencari sosok Ervan yang katanya udah nunggu aku. Dan betul banget. Dia sedang plonga-plongo sendiri sambil nangkring di motornya. Sambil menatap layar ponselnya ia tak menyadari kalau aku udah di sampingnya.
Aku mendeheminya dan seketika ia kaget dengan kehadirankau ini karena aku tidak memberitahunya.
“Ya Allah. Kaget tau,” ujarnya sambil mengantongi ponselnya.
“Hehe, lagian kamu asyik sendiri sampai-sampai nggak nyadar kalau aku udah di samping kamu,”
“Aku tadi sms kamu tiga kali. Miscall dua kali. Tapi nggak ada respon sama sekali,”
“Ih bagus tuh di jadiin puisi. Berima semua. Ah yang bener? Maaf tadi HPnya aku taruh di tas. Soalnya tadi aku masih presentasi.” Jelasku singkat.
“Oh gitu. Ya udah yuk naik.”
Aku segera membonceng Ervan dan sedetik kemudian langsung melaju meninggalkan sekolah.
“Makan dulu ya Shel, laper nih. Tadi nggak sempet makan,” ujar ervan disela laju motornya.
“Iya terserah kamu aja deh.” Jawabku agak keras karena takut tersaingi dengan suara motor Ervan.
Kami sampai di warung bakso yang biasa aku kesana dengan Ervan. Disini memang enak. Dan dibanding dengan warung bakso lain, harganya lebih terjangkau. Dan pas buat kantong pelajar kayak aku, haha. Kami langsung memesan dua mangkok bakso dan dua gelas es teh.
“Awas keselek lagi,” ujar Ervan memperingatkanku. Ih ni anak mau nasehatin atau mau ngejekin sih? Nyebelin deh.
“Tergantung sikon Van.” Jawabku sambil mencicip kuah bakso yang masih ku beri sambal. Mau ngetes rasanya udah enak atau belum.
“Maksudnya?”
“Ya pas di kantin kan aku kelaparan dan nggak ada minum juga kan?”
“Iya juga. Ini juga belum ada minum. Pak es tehnya mana?” tanya Ervan kepada penjualnya dan masih duduk. Nih anak emang kebiasaan malesnya.
”Berdiri lalu samperin kenapa sih? Nggak sopan tau,” ujarku dan memasukkan bulatan bakso ke mulutku.
“Capek Shel. Lagian nggak banyak orang juga,”
“Justru karena nggak ada banyak orang jadi kamu bisa ambil sendiri dan nggak perlu desak-desakan kan? tadi aja pas di kantin walaupun nggak banyak orang kamu ambil sendiri kan?”
“Itu beda sikonnya,”
“Beda?”
“Iya beda. Kan sekalian ngambilin punya Ririn.”
“Oh gitu.”
“Kenapa? Kamu cemburu ya?”
“Cemburu kenapa?”
“I care to Ririn.”
“Nggak. Kenapa harus cemburu? Dia sahabat baik aku. Nggak mungkin dia khianatin aku. Lagiankan kamu itu udah jadi pacarku. Right?”
“Iya deh. Diplomatis banget jawabannya,”
Aku melanjutkan makanku lagi. Begitupun si Ervan. Dia tampak lahap menyantapnya. Mungkin karena dia benar-benar kelaparan ya?
**
Tak terasa, besok itu hari ulang tahunku. Perasaan, saat ervan menawariku hadiah saat seminggu yang lalu itu baru kemarin deh. Tapi kok kayaknya seminggu cepet banget ya? Berarti sudah seminggu lebih dong Ririn di sini.
Saat ini aku, Ervan, Dany, dan Ririn sedang nongkrong di kantin. Seperti biasa, posisiku adalah di depan Ervan. Namun sekarang, Ririnlah yang berada di sebelah Ervan. Dan secara otomatis Dany berada di sebelahku.
Aku tidak berselera untuk makan siang ini. Males. Banyak pembeli di kantin. Mau pesen makanan jadi males. Hanya mereka bertiga yang makan.
Tiba-tiba ku rasakan ponselku bergetar si saku bajuku. Aku segera mengambilnya. Ada sms. Dari Ervan? Eh, ngapain ni anak sms sedangkan aku ada di depannya. Buka aja deh.
“Jgn nglamun.” Itulah smsnya. Aku melihat ke arahnya. Ye dia malah senyum-senyum nggak jelas. Bales aja deh.
“Emg knp? Gx bleh?”
“Emg nglamunin apa? Aq ada di dpan kmu loh. Jgn di lmunin gtu. Pandg aja smpe puas,”
“Idih, mls bgt mndang kmu. Kyak gx ada pmndangn lain aja,”
“Anggap aja aq ini swah,”
“Kok swah?”
“Iylah. Swah kan indh. Byk brungnya. Ada org2an swahnya lgi,” aku tersenyum geli membaca smsnya Ervan ini. Apa bagusnya orang-orangan sawah.
“Iy deh, mntang2 org2an swahnya buatn sndri. D.pji,”
“Y gpp. Skli2 mmbanggkan kry sndri,”
“Mmbanggakan pcar sndri bleh?”
“Boleh dong. Shella yang cantik, yang manis, yang narsis, yang imut, yang ngangenin, yang the best, yang nggak tahu malu,” ujar Ervan tiba-tiba.
“Idih, nggak tahu malunya nggak usah ikut dong,”
“Ya udah ganti. Yang tahu malu,”
“Loh? Idih, nyebelin deh. Mau ke toilet dulu ya.” Aku berdiri dan meninggalkan kantin.
Aku berjalan sendiri melewati kelompok-kelompok siswa yang lagi nongkrong. Inilah kebiasaan siswa disini, nonkrong di sepanjang jalan sekolah dan pojok-pojok kelas.
“Shel, tunggu,” tiba-tiba terdengar suara Dany yang memanggilku dari belakang.
“Iya? Ada apa? Tumben ngikut ke toilet, hehe.”
“Hehe. Eh pulang bareng aku ya. Aku mau ngasih tahu sesuatu ke kamu.” Ujarnya sambil ngos-ngosan. Mungkin karena tadi ia berlari mengejarku.
“Ngomong apa? Penting? Tapi aku ntar bareng Ervan Dan,”
“Penting banget. Ama aku aja deh.”
“Ya udah, ntar aku batalin pulang ama Ervan deh.”
“Oke makasihlah, ke kelas dulu ya.” Dany melangkah meninggalkanku yang masih bingung.
**
Bel pulang lima menit lagi berbunyi. Ehm, mau sms Ervan dulu deh. Supaya dia nggak nungguin aku ntar. Aku udah terlanjur janji mau batalin boncengan Ervan ke Dany.
“Van, aq ntar plg brg Dany. Km gx ush nungguin aq y,” dan ku tekan send ke nomor Ervan.
“Bru aq mau sms km. Iy. Aq jg mau brg Ririn. Dia mnta d.antr plg soalnya.” Dan inilah balesan dari Ervan.
Oke beres sudah.
**
Aku dan Dany sampai di rumahku. Tapi Ervan dan Ririn kok belum sampai ya? Biarin deh, mungkin mereka jalan-jalan dulu. Masalahnya selama seminggu lebih Ririn disini dia nggak pernah keliling Jakarta. Di rumah terus.
“Emang kamu mau ngasih tahu apa Dan? Sepenting apa sih?” tanyaku dan kami duduk di teras rumah.
“Ehm, sebenarnya. Ehm, dari dulu sih.”
“Apa?” aku penasaran.
“Dari dulu aku suka ama kamu Shel.”
“Hah? Nggak usah bercanda deh,”
“Bener kok. Suwer.”
“Terus?”
“Ya itu. gimana dengan kamu?”
“Aduh Dan. Kamu kan udah tahu kalau aku udah sama Ervan.”
“Iya aku tahu. Tapi apa kamu nggak punya perasaan yang spe….spe….spesific ama aku?”
“Dany, aku udah nganggep kamu sebagai sahabat baik aku. Malah sebagai kakakku. Kamu itu emang baik. Tapi aku hanya bisa nganggep kamu itu nggak lebih. Aku harap kamu mengerti.” Jelasku dengan sopan.
“Oke. Aku hanya ingin ngasih tahu kamu ini. Aku tidak mengharap apapun dari itu semua.”
“Sekali lagi maaf ya.  Aku nggak bermaksud gini ama kamu.”
“Iya nggak apa-apa kok. Lagian maaf juga udah ngomong gini,”
“Jadi aku bener ya kalau selama ini kamu dan Ervan itu ngrebutin aku, hehe.”
“Aduh si eneng PD tea.” Ujar Dany dengan logat sunda. Aduh ni anak multilanguange juga ya.
“Kok kamu ganti jadi orang sunda Dan?” ujarku bingung. Dany hanya tertawa, sehingga aku ikut tertawa.
Tiba-tiba terdengar suara motor Ervan yang masuk gerbang rumahku. Ternyata benar. Dia dan Ririn udah pulang.
“Asyik bener nih yang lagi berduaan. Ngobrolin apa sih?” ujar Ervan sambil mencagak motornya.
“Aku masuk dulu ya.” Ujar Ririn dan berlalu masuk ke dalam.
“Kenapa Ririn Van? Kok kayaknya beda?” tanyaku bingung. Ervan hanya mengedikkan bahunya.
**
Dan, today was my birthday. Tapi nggak ada yang special kok. Berjalan dengan biasa. Nggak ada perayaan seperti ulang tahun teman-temanku kebanyakan. Aku nggak suka kayak gitu. Mubazir. Mending aku sumbang ke panti atau apalah.
“Nih,” tiba-tiba Ririn memberiku bungkusan kado padaku yang sedang makan.
“Apa ini?” tanyaku bingung.
“Itu hadian dariku. Semoga kamu suka ya. Buka dong.” Ririn duduk di sampingku. Akupun menuruti apa yang dikatakannya. Ku buka bungkusan kado itu. Sebuah syal. Dengan tulisan, E’s LOVE WTFS. Loh? Maksudnya?
“Ih cantik. I like it, hehe. Tapi maksud dari tulisannya apa?”
“Ervan’s Love Was True For Shella. Karena Ervan itu benar-benar mencintai kamu. Aku ingin punya pacar yang juga sangat mencintaiku dari dalam hatinya.”
“Amin.” Aku hanya mengamini perkataan Ririn. Haha bingung mau jawab apa. “Udah mau berangkat ya?” sambungku lagi.
“Iya. Om dan Tante udah nunggu di depan. Kamu nggak ikut?”
“Nggak usah. Soalnya kalau aku ikut ntar nunggunya lama.” Jelasku pada Ririn.
“Ya udah, duluan ya.” Ririn berlalu keluar meninggalkanku. Aku masih memandang syal dihadapanku.
Pukul enam lewat empat puluh menit aku selesai sarapan. Dan sekarang sedang nunggu Ervan di teras. Syal pemberian Ririnpun aku bawa. Mau pamer ke Ervan dan Dany, hehe.
Aku mendengar suara klakson motor Ervan. Ih tumben banget ni anak jam segini udah nyampe. Oh, pasti dia belum sarapan lagi. Dasar tuh anak cuek banget ama kesehatannya.
“Tumben jam segini udah nyampe? Belum sarapan pasti ya?” tebakku dan menghampiri Ervan yang berhenti di depan rumahku.
“Ini kan hari special. Eh udah dong. Tahu nggak aku bangun jam berapa?”
“Nggak.” Jawabku singkat.
“Ya udah aku kasih tahu. Daripada nangis. Aku bangun jam lima tadi. Rekor kan?” si Ervan membanggakan diri.
“Ya Allah. Baru jam lima aja bangga banget kayak gitu,”
“Hehe. Kan lumayan. Biasanya kan jam enem, hehe. Ya udah, yuk berangkat.” Ajaknya dan aku mengikutinya. Aku segera membonceng Ervan dan seperti biasa. Kami melaju dengan cepat.
Tidak lama kemudian kami telah sampai di halaman sekolah. Motor Ervan masih melaju sampai tempat parkir kelas dua belas.
Setelah motor sampai di tempat parker, aku langsung turun dan berlari ke kelas karena ternyata aku ada PR yang belum selesai. Aduh kok bisa lupa ya.
“Van, aku duluan.” Teriakku dengan berlari meninggalkan Ervan.
Saat sampai di kelas aku kaget dengan pemandangan kelas yang ada. Nah loh? Ih, keren.
Papan tulis tertulis “Happy Birthday Shella” dengan semua kata-kata. ( Ehm, kalau aku kasih tahu ke kalian pasti nggak paham. ) dan di mejaku ada 33 tangkai bunga mawar. Aku tahu itu jumlahnya 33 soalnya ada tulisannya gedhe banget. 33 tangkai. Dan….
“Happy Birthday Shella. We love You,” teman-teman sekelasku semua berteriak.
“Ih, I love You too. Kok bisa gini sih? Keren banget deh,” ujarku dan hampir menitikkan air mata saking terharunya.
“Ini semua yang ngrencanain Dany. Dia yang nyiapin semua. Dia yang beli bunga yang seabrek itu. Tapi yang nulis di papan tulis adalah sang pujanggawati kita, Shinta.” Jelas Farel, wakilku.
“Thank you all. Baik banget sih. Ah, aku jadi mau nangis nih,” ujarku sambil mengusap air mataku yang sempat menetes.
“Ini semua juga balik sama kamunya Shel,” jelas Dany padaku.
“Iya, kamu adalah ketua kelas yang bertanggung jawab.” Shinta juga ikut bicara.
Air mataku menetes lagi. Aku mengambil tisu dari saku bajuku dan mengusap air mata itu. Tidak sengaja aku melihat jam tanganku yang terpasang di tangan kananku. Jam 06.55. Aduh, udah mau bel. Dan kelas berantakan banget kayak gini.
“Guys, lima menit lagi bel nih.” Ujarku memperingatkan.
“Hah? Yang bener? Aduh, kita harus beresin ini semua nih,” ujar Dany panic.
“Kalian keluar aja. Biar aku aja yang beresin. Lagian ini semua terjadi karena aku kan? dan inilah kewajibanku,” aku mengambil penghapus dan menghapus papan tulis yang penuh dengan coretan.
“Ntar, ya nggak bisa dong. Ini kan kewajiban semua warga kelas ini. Jadi kita harus beresin ini bareng-bareng.” Si Farel mencegahku supaya tidak menghapus papan tulis itu.
“Eh abadiin dong. Kita foto bareng dulu.,” ujar Shinta yang memang sebenarnya narsis.
“Ah ide bagus tuh. Ntar,” Dany keluar dan masuk lagi membawa seorang siswa dari kelas sebelah. Ia menyuruh murid itu agar motret kami semua. Agar semua ada dalam foto mungkin.
“Baik. Sekarang kita bersihin ini semua,” ujarku dan mulai menghapus papan tulisnya.
“Eh bunga jangan di buang ya. Bagus tuh bunganya,” Si Reza membereskan bunganya.
“Iya, kita cari pot aja. Tanam tuh bunga. Lagian mubazir kalau di buang. Susah nyarinya,” Dany yang memang yang mencari bunga itu unjuk bicara.
“Emang nyari dimana kamu?” tanyaku bingung.
“Oh ada deh. Mau tahu aja,”
“Resek banget. Tapi taruh di luar aja. Atau kita kasih ke semua guru yang ada.” Usulku.
“Hah ide bagus. Yuk kita hunting gurunya. Dan kita sodorin bunga ini.” Reza membagikan bunga itu ke anak-anak.
“Tapi aku nggak ikut ya. Ada PR yang belum selesai,” aku tersenyum meminta pengertian.
“Iya deh. Yang belum selesai PRnya nggak usah ikut aja. Kerjain tuh ama ketuanya.” Ujar Farel ngasal.
**
Aku sedang menanti bel istirahat. Kayaknya 45 menit kali empat kok lama banget ya. Udah hari ini tugas full lagi. Males kalau kayak gini. Derita pelajar kayaknya kok nggak pernah selesai ya.
Aku sedang memandang layar ponselku. Pastinya dengan diam-diam supaya tidak ketahuan oleh guru. Dan ada sms masuk. Dari Ervan. Aku langsung membacanya.
“Shel, istrht ke kopsis y.” aku langsung membalasnya.
“Oce. Tpi kmu k.cls aku dlu y. aq mls ksna sndrian,”
“He,eht.”
Dan bel istirahatpun berbunyi. Haha, cepet juga ternyata. Ternyata menunggu sambil smsan terasa cepat, hehe.
Aku langsung keluar dari kelas. Mencari sosok Ervan. Udah keluar belum tuh anak.
“Hey,” seseorang menepuk pundakku dengan lembut.
“Jadi ke kopsis?” tanyaku setelah tahu bahwa orang tersebut adalah Ervan.
“Jadi dong. Aku udah ngomong ama Bu Ayu buat pergi dari situ kok, haha.”
“Idih, jahat banget ngusir tante sendiri.”
“Nggak apa-apa. Sekali-kali. Yuk.” Ervan menggandengku melewati kerumunan murid-murid yang baru keluar kelas.
Tak lama kemudian kami sampai di koperasi. Enaknya di koperasi itu gini. Ruangan berAC. Sejuk, kalau laper tinggal ngambil. Tapi tetep, harus bayar.
“Mau ngapain sih emang?” tanyaku bingung.
“Bener nggak mau hadiah dari aku?” tanya Ervan dan duduk di sampingku.
“Eh, kata siapa?”
“Terus mau apa?”
“Aku kan udah bilang kemarin. Aku Cuma mau kamu tetep sayang ama aku. Don’t leave me.”
“Itu sih wajib buatku.”
“Bagus deh kalau gitu. Eh tadi pagi Ririn ngasih aku syal loh. Nih,” aku menyodorkan syal hadiah Ririn tadi pagi ke Ervan.
“Bagus kan?” ujarku lagi.
“Bagus. Apa maksud tulisannya? Kok E’s LOVE WTFS?”
“Ervan’s LOVE Was True For Shella.”
“Eh, ngomong-ngomong soal Ririn. Aku mau nantang kamu buat saling jujur.”
“Maksudnya?” aku bingung.
“Ehm, gini. Mumpung ini masih hari special kamu ya. Aku mau kamu jujur, gimana sih sebenarnya sosok Ervan di mata kamu?”
“Ervan? Ehm, dia baik, perhatian, suka menolong, tidak sombong, rajin menabung, dan lain-lain dan seterusnya dan sebagainya.” Ujarku bingung.
“Ih, aku serius loh.”
“Aku juga serius. Menurutku kamu itu ya gitu. Baik, perhatian, nggak pelit, aku benci orang yang pelit, ya begitulah pokoknya.”
“Kamu nggak nanya balik nih?”
“Ya udah. Balik.”
“Aduh, dari tadi bercanda mulu deh,”
“Ih maksudnya, pertanyaan itu di balik. Gimana aku buat kamu? Nyebelin ya?”
“Nggak kok. Kamu itu, manis, cantik, lucu, ngegemesin, ngangenin, sayang banget ama aku _ haha PD banget yak?_,”
“Aduh, thank you. Cuma kamu loh yang bilang gitu ke aku. Lebay nggak?”
“Yang selanjutnya, kejadian yang aku nggak tahu selama ini apa?”
“Hah? Kayaknya nggak ada deh. Aku selalu cerita kan ke kamu?”
“Iya deh percaya. Aku punya cerita buat kamu. Jangan marah ya,”
“Tergantung. Apa?”
“Kemarin, saat aku nggak jadi nganter kamu pulang. Saat aku nganter Ririn pulang, Ririn ngajak buat makan di Pinggir jalan,”
“Terus?” aku mulai penasaran.
“Beneran ya jangan marah?”
“Iya. Cepetan deh.” Aku tambah penasaran.
“Terus, Ririn ngomong sesuatu ke aku. Dia bilang, diam-diam dia suka ama aku. Eh ini bukan aku yang GR loh. Tapi dia emang ngomong gitu ke aku kemarin. Lalu, dia minta aku ngomong yang sejujurnya gimana perasaan aku ke dia,”
“Lalu kamu ngomong apa? Kamu juga suka ama dia?”
“Hah? Nggak mungkin dong. Dan, masak kamu nggak tahu jawaban aku apa?”
“Aku kan bukan peramal Van. Jadi ya nggak tahu,”
“Ya aku ngomong kalau aku nggak suka ama dia. Aku Cuma suka, sayang, dan cinta ama kamu.”
“Dianya gimana?”
“Dia nggak apa-apa. Cuma, kok waktu kemarin pas pulang dia reaksinya saat lihat kamu gitu. Aku takut terjadi sesuatu antara kamu dan dia.”
“Nggak ada apa-apa Van. Cuma, kok Ririn nggak cerita apa-apa ke aku. Eh, tapi tadi pagi dia ngomong ama aku. Kalau dia berharap ada seseorang yang mencintai dia tulus seperti kamu cinta ama aku. Tapi, aku takutnya dia marah ama aku.”
“Semoga saja tidak.”
“Amin. Aku juga mau jujur ama kamu. Kemarin, saat aku di anter pulang ama Dany. Saat kamu juga nganter Ririn. Dany juga ngomong sesuatu ama aku. Katanya, selama ini dia tuh suka ama aku.”
“Terus kamu jawab apa?”
“Sama kayak kamu jawab ke Ririn. Aku hanya menganggap dia sebagai sahabat dan kakak saja. Nggak lebih.”
“Bener?”
“Mulai nggak percaya ama aku?”
“Iya iya. Percaya kok. Lalu Danynya gimana? Nggak marah kan?”
“Alhamdulillahnya sih nggak. Dia bisa ngerti dengan penjelasanku. Tapi aku takutnya ada sesuatu di antara kamu dan dia. Aku takut, kamu curiga terus ke Dany setelah aku ngomong ini.”
“Nggak Shel. Aku percaya kok sama kamu.”
“Makasih atas pengertiannya. Aku harap, bisa saling jujur lagi setelah ini. Aku nggak mau ada rahasia antara kita. I think, jika kita main rahasiaan kok kayaknya pelit banget ya,”
“Iya. Makanya kalau ada sesuatu cerita. Loh? Kok jadi gini?”
“Hehe. Dan aku harap mereka bisa menemukan cinta sejati mereka.”
“Amin. Atau sebenarnya, mereka itu jodoh?” tanya Ervan dengan muka bingung. Aku hanya mengedikkan bahu. Hanya Allah yang tahu jawabannya.



Komentar

Postingan Populer