Hunting A Boyfriend


Oleh: Nisa’ Maulan Shofa


Katanya punya pacar itu enak. Kemana-mana bisa dianter jemput. Minta dibeliin ini itu dibayarin. Kalau laper dan nggak bawa uang di traktirin. Dan kalau sakit di jengukin. Apa itu benar ya? Ah jadi pingin punya pacar.
Dari lahir sampai sekarang SMA kelas dua ini, aku belum pernah pacaran. Sebenarnya gimana sih rasanya punya pacar? Teman-teman di sekelilingku aja udah punya pacar. Bahkan hampir semua teman se-gank-ku aja udah punya pacar semua. Kecuali dua, Neta dan Risa. Dia senasib denganku. Bedanya, mereka udah pernah merasakan pacaran dan aku belum pernah.
Katanya juga, masa-masa SMA gini kalau nggak ada kisah pacarannya nggak afdol. Ah, bikin hati miris aja deh. Dasar ya, orang Cuma cinta monyet aja semuanya pada heboh gini. Lagian, apa arti pacaran kalau hanya buat pamer doang?
Aku jadi malu sendiri kalau udah kumpul ama temen-temen gank-ku tanpa Neta dan Risa. Karena, kalau kita kumpul pasti mereka bawa pacar mereka. Dan mestinya, mereka pamer kemesraan. Bikin ngiri aja.
Tapi sejujurnya, aku nggak terlalu ngebet punya pacar tuh. Karena seperti yang aku bilang tadi. Apa arti pacaran kalau hanya untuk pamer doang? Toh, Allah itu menciptakan makhuk di dunia ini secara berpasang-pasangan. Dan itu artinya, aku pasti akan dapat jodoh. Entah siapa itu aku nggak tahu.
Namun, saat aku menyatakan teoriku tentang pacaran itu ke temen-temenku, mereka malah nggak setuju. Kata mereka, jodoh itu harus di cari. Meski ke ujung dunia sekalipun, kalau kita nggak nyari jodoh kita itu nggak akan ketemu. Dan alhasil, kita akan jadi perawan tua. Dan kalaupun memang Tuhan telah memberikkan kita jodoh, kalaupun jodohnya nggak sebagus yang kita harapin apa salahnya kita nyari dan menolak takdir itu. Nah itulah pendapat dari temen-temenku yang berhasil aku ringkas. Karena sebenarnya, kata-kata mereka panjang kali lebar kali tinggi sehingga menjadi volume.
Dan kalau di pikir-pikir, benar juga kata mereka. Kita memang harus berusaha agar takdir kita sesuai dengan keinginan kita. Namun, nggak segitunya juga kali. Karena menurutku, takdir Tuhan itu adalah yang terbaik untuk kita. Toh, kita nggak selamanya hidup. Dan pendamping hanya untuk mendampingi kita saat kita hidup.
Aku hanya ingin punya pasangan seperti papaku. Karena, walaupun papa sudah di tinggalkan mama selama 17 tahun, tapi beliau tetap saja tidak mau mencari pengganti mama. Kata beliau sih, mama adalah perempuan yang paling tangguh yang pernah beliau kenal. Karena, kematian mama itu saat beliau melahirkanku. Beliau begitu keras berjuang untuk menyelamatkanku saat mau melahirkanku. Beliau tidak mau membiarkanku mati di dalam kandungannya untuk menyelamatkan nyawanya. Ah, andai saja aku dapat melihat beliau bukan hanya Dari foto. Pasti aku akan membahagiakan mama dengan setulus hati.
Kadang-kadang aku menikmati kejombloanku ini. Namun, kadang-kadang juga aku pingin punya pacar. Aku ingin merasakan gimana rasanya punya pacar. Ingin di perhatiin oleh seseorang selain papa dan Kak Andri. Pingin punya temen smsan selain teman-temanku.
Tapi, kalau di pikir-pikir juga, punya pacar itu bikin mlarat. Karena, kalau smsan pasti setiap saat. Dan itu artinya, aku harus punya pulsa terus. Punya nggak punya uang harus beli pulsa. Punya nggak punya pulsa harus sms. Ah, males kalau gitu.
**
Aku kini tengah berada di kantin sekolah bersama teman gank-ku. Vivi, Tera, Neta, dan Risa. Walaupun kami berada di tempat yang merupakan sarangnya makanan dan makan adalah hoby kami, tapi kami disini sekarang tidak Cuma makan. Yang sedang makan hanya Aku dan Neta. Yang lain, SMSan semua. Idih, nyebelin deh.
Ini merupakan kebiasaan mereka sekarang. Kalau kumpul bukannya ngobrol-ngobrol seru, tapi malah pada autis sendiri gini.
“Ta, ambilin minum.” Tiba-tiba si Vivi menyenggol tanganku. Dia memang duduk di sampingku.
“Ambil sendiri,” ujarku dengan cueknya.
“Ah pelit lo. Ter ambilin minum dong,” kini dia nyuruh Tera yang masih sibuk banget menatap layar HPnya.
“Ambil sendiri sih. Nanggung nih,” Tera juga menolak untuk mengambilkan minum si Vivi.
“Yailah. Pada nyebelin semua.” Akhirnya Vivi nyerah untuk nyuruh orang lagi dan dia mengambil sendiri kebutuhannya itu.
“Eh, sebenarnya apa enaknya sih pacaran itu?” tanyaku dan berhasil membuat semua teman-temanku itu menatapku dengan tajam. Yang makan aja ampe keselek. “Kenapa kalian?” tanyaku lagi dengan bingung. Dan semua pada ketawa.
“Seharusnya yang nanya kenapa itu kami. Kenapa kamu tanya gitu?” Tera bertanya sambil masih tertawa. Dan yang lain malah cekikikan nggak jelas.
“Ya, pingin tahu aja. Kan kalian katanya pengalaman dalam berpacaran. Nah aku ingin tahu hal itu.” jelasku tanpa ragu.
“Hahaha. Makanya kamu jangan nunggu jodoh. Sekali-kali aktif  kenapa?” ujar Tera sambil makin lebar aja tawanya.
“Aktif apa maksudnya?” tanyaku bingung.
“Haha. Aktif nyari cowok maksudnya. Haha.” Jawab Vivi dan semakin keras tertawanya.
“Ih, kalian mah pada nyebelin semua. Aku kan tanyanya baik-baik. Malah diketawain gitu. Serius nih.” Ujarku males jadinya.
“Iya iya maaf. Lagian kenapa kamu tanya gitu Ta?” si Risa akhirnya mendiamkan tawa teman-temanku itu.
“Kan tadi aku udah bilang kenapa.” Ujarku masih BT.
“Yah ngambek. Gini aja. Jadi kamu pingin punya pacar nih ceritanya?” ujar Risa. Nah ni anak bisa baca pikiranku ya?
“Udah tahu nanya.” Aku masih BT dan sebal.
“Ya cari aja Ta. Gampang kan?” ujar Neta cuek.
“Cari cari cari. Kalian kira gampang?” tanya Risa dengan nada membelaku. Atau dia emang lagi cari pacar dan nggak dapat-dapat? Kan dia juga sama kayak aku. Nggak punya pacar. Eh belum punya deh.
“Tahu tuh. Kalian kira gampang?” ujarku nggak mau kalah.
“Mudah kok. Apa buktinya kalau sulit?” tanya Vivi minta pembuktian.
“Tuh. Si Neta dan Risa juga belum punya pacar sejak mereka putus dengan mantan mereka,” ujarku menunjuk kedua sahabatku itu.
“Eh enak aja. Aku mau balikan ama mantanku kali. Paling nanti malam dia nembak aku lagi.” Neta membela diri.
“Haha, itu mah mereka aja yang nggak bisa nyarinya,” ujar Tera dengan disertai tawa yang keras.
“Kurang ajar kamu. Aku belum niat nyari dodol! Lo kira gampang nyari cowok yang bener-bener setia? Kalian semua tahu kan kalau aku putus karena mantan cowok aku itu yang brengsek selingkuh? Aku nggak mau masuk lubang yang sama dengan pacaran dengan cowok yang playboy lagi.” Ujar Risa panjang lebar untuk membela diri.
“Nah itu salah satu alasan aku kenapa nggak mau pacaran selama ini.” Aku ikut-ikutan membela diri.
“Ah alasan semua. Cari cowok itu mudah.” Tera berkata dengan soknya.
“Oh Ya?” ujarku dan Risa dengan kompaknya.
“Iya. Mau aku cariin? Siapa yang mau aku cariin?” Tera makin sok. Kami berempat hanya diam bingung. Sok bener nih anak. Mungkin itu yang ada di pikiran kami berempat.
“Eh nggak percaya dengan omongan aku? Atau dengan selera aku? Aduh, kalian lihat sendiri kan? Robi, cowok aku. Dia ganteng, baik, kaya lagi, dan satu yang penting dia bukan playboy seperti mantannya Risa. Right?” ujarnya meyakinkan kami dengan apa yang ada.
“Betul juga tuh. Dan kalian kan udah jadian lama banget ya?” si VIvi mulai kemakan omongan Tera.
“Betul. Empat tahun,” Tera makin bangga dengan keadaannya. “Jadi? Siapa yang mau aku cariin cowok?” tanyanya lagi dan memandang kami satu per satu.
“Sorry, aku sedang nggak butuh cowok. Aku pingin jomblo dulu sis,” Risa angkat tangan.
“Lalu siapa?” Tera bingung.
“GITA!!!!” dan dengan kompak mereka meneriakkan namaku lalu menunjukku dengan jari telunjuknya.
“Eh kok aku sih?” tanyaku dengan menunjukkan muka innocent.
“Yaiyalah. Kan Cuma kamu yang belum pernah pacaran juga nggak punya pacar dan pingin punya pacar. Aduh, ngomong apa sih gue? Hehe,” si Neta kebingungan sendiri.
“Oke. Berarti kita udah memutuskan kalau si Gita garus kita cariin pacar. Dan besok kita cari siapa. Okey guys?” Tera mencari dukungan dan semuanya mengankat jempol mereka sambil berteriak OK dengan kompaknya. Kecuali aku.
**
Keesokan harinya, Tera datang ke kelasku dengan membawa berlembar-lembar foto temen cowoknya. Aduh, gila nih anak. Tapi temen-temennya keren-keren juga.  Dia juga membawa biodata cowok-cowok tersebut. Wah wah wah, niat banget nih anak nyariin aku pacar. Gokil dah!
“Nih Ta, udah aku pilihin teman-temen aku yang paling keren,” ujarnya dan menyerahkan seabrek foto di tangannya itu.
“Tapi kok banyak banget gini?” tanyaku bingung sambil melihat foto-foto yang berantakan di mejaku karena Tera menaruhnya dengan cara dibanting.
“Nah itu. teman-temanku itu keren-keren semua.”
“Yeeee….”
“Eh tapi nggak usah bingung gitu. Kalau boleh aku saranin, yang ini aja,” Tera memilih satu foto lalu dia serahkan kepadaku. “Ini yang paling keren dari yang paling keren,” ujarnya lagi.
Aku mengambil foto itu dari tangannya. Ku lihat betul-betul. Oh bener keren banget. Mukanya oriental gimana gitu. Kayak orang  cina gimana gitu. Matanya sipit. Kulitnya putih.
“Oke juga,” aku mantuk-mantuk.
“Bukan juga tapi banget. Namanya Zumi. Dia alumnus SMA sebelah.” Ujar Tera menjelaskan.
“Alumnus? Emang udah nggak sekolah?”
“Dia kuliah di Airlangga.”
“Lulusan tahun berapa?”
“Aku sih kurang tahu. Cuma sekarang dia udah semester empat.”
“Umur? Aku nggak mau kalau terlalu tua dari aku,”
“Umur, 19 kalau nggak salah. Dia itu temannya kakak aku Ta. Teman SMA. Cuma sekarang dia tinggal di Surabaya. Ini juga aku ngambil dari kamar kakakku fotonya,”
“Hah? Dia di Surabaya sekarang tinggalnya?”
“Iya. Setelah lulus dia langsung pindah ke Surabaya karena orang tuanya disana semua,”
“Lalu ngapain kamu mau nyomblangin aku ama dia? Aku nggak mau ngejalanin long dintance relationship dodol!”
“Hehe, lagian aku buat banyakin  foto yang aku bawa,” si Tera nyengir.
“Dasar dodol garut! Eh tapi, ngomong-ngomong dapat dari mana foto-foto yang kamu bawa ini? Emang setiap teman-teman kamu, kamu fotoin semua? Lalu di afdrekin gitu?”
“Eh ya nggaklah. Ogah kali ngafdrekin foto sebanyak gini. Ngabisin uang aja. Ngambil foto-foto itu dari merekanya langsung.”
“Minta dari mereka? Langsung? Ke orangnya? Gila!”
“Udahlah. Nggak penting aku dapat foto-foto ini darimana. Yang penting, nih kamu baca biodata mereka satu-satu.” Tera menyodorkan beberapa lembar kertas ke tanganku.
Aku mulai membaca biodata-biodata itu satu-persatu. Wow, unik-unik banget. Dan sebagian besar udah nggak SMA. Ada yang kuliah dan yang sudah kerja nggak sedikir juga. Ini mah namanya bukan temannya si Tera, tapi temannya kakaknya dia. Dasar nih anak.
“Tera, ini mah temannya kakak kamu semua. Bukan temannya kamu. Dasar,” ujarku berhenti membaca seluruh biodata itu.
“Hehe, tapi seenggaknya kan aku kenal mereka dan mereka juga kenal aku. Jadi kalau aku mau ketemu mereka, mereka tahu aku. Iya kan?”
“Dan  dari seabrek foto yang kamu bawa ini, yang bener kok Cuma tiga,” aku menjajar foto-foto yang sesuai.
Tiba-tiba si Vivi dan Neta datang menghampiri kami. Mereka juga melihat-lihat oleh-oleh foto dari si Tera yang banyak ini. Ada berbagai ekspresi saat mereka melihat foto-foto itu. Kadang mereka memanyunkan bibir mereka, kadang mengangkat alis, kadang bibir mereka tersenyum lebar, dan kadang mereka berkata keren dengan suara yang lirih namun aku masih bisa mendengarnya.
“Gimana Ta? Udah ada yang cocok?” tanya Vivi dan menaruh semua foto yang ada ditangannya.
“Nih, Cuma tiga. Yang lain nggak semua. Fotonya emang keren. Tapi kehidupannya nggak banget,” ujarku dan memperlihatkan foto yang aku pegang sekaligus biodata mereka.
“Wah, keren-keren banget mereka Ta,” ujar Neta takjub saat melihat foto-foto yang aku kasih barusan.
“Lihat deh Net ini. Ada yang hobinya masak. Haha, jadi ikan dia nanti,” Vivi berujar sambil cengengesan.
“Kok ikan?” Tera bingung.
“Kan ntar dia bisa jadi Koi,” Vivi menjelaskan.
“Koki Vivi. Bukan Koi.” Aku, Tera, dan Neta meluruskan perkataan  si Vivi dengan kompaknya.
“Oh, udah ganti ya?” si Vivi nyengir.
“Udahlah. Orang udah tahun 2011. Kamu kan tahunya pas jaman primitive.” Ujarku ngledek.
“Udah ah. Jadi kamu mau ketemu mereka kapan Ta?” tanya Tera.
“Ya terserah kamu dong.”
“Nanti sore gimana?” tawar Tera.
“Eh, ya jangan bareng-bareng dong. Satu-satu aja Ter.” Ujar Neta.
“Iya. Ntar maksudnya setiap sore aja. Kan ini hari Kamis. Kan nanti pas kalau setiap sore ketemu satu cowok. Itu kan yang dipilih Gita ada tiga. Jadi nanti berakhirnya hari Sabtu. Setuju nggak?”  ujar Tera panjang lebar menjelaskan.
“Oke. Cuma ntar aku ditemenin ya? Aku malu kalau sendirian,” ujarku agak ragu.
“Iyalah. Ntar siapa aja yang mau ikut silahkan. Eh ngomong-ngomong Risa dimana? Kok tumben nggak nongol?” si Tera celingukan mencari sosok Risa yang memang dari tadi belum kelihatan batang hidungnya.
“Tadi pagi katanya dia bangun kesiangan. Dan dari semalem dia nggak belajar. Eh ternyata hari ini ada PR semua katanya. Yah jadinya dia dikelas terus ngerjain PR. Eh maksudnya, lebih tepatnya nyontek PR teman sebangkunya yang jenius itu loh,” jelas Neta panjang lebar nggak kali tinggi.
“Gokil tuh anak. Padahal semalem dia curhat ama aku lewat telepon loh. Lama banget. Sampai-sampai HP aku lowbatt.” Tera masih tertawa lebar.
“Curhat tentang apa tuh anak?” tanyaku penasaran.
“Biasa, tentang mantannya yang playboy itu. Katanya dia ngajak balikan lagi. Si Risa jadi emosi nggak karuan semalem. Haha, lucu banget hubungan mereka,” Tera masih aja ketawa.
“Lagian mantannya Risa kurang ajar banget. Udah selingkuh, eh sekarang ngajak balikan lagi.” Si Vivi ikut Emosi.
“Udah ah. Jangan ngomongin Risa dan mantannya. Ntar mereka kegigit-gigit lidahnya. Udah masuk nih. Aku balik ke kelas dulu ya. bye….” Neta melenggang pergi dengan permisi.
“Eh Net, tungguin dong. Masa kesininya bareng, pulangnya malah ninggalin aku. Parah deh,” Vivi berlari mengejar Neta yang sudah lumayan jauh. Mereka emang satu kelas.
“Ya udah, aku balik ke kelas dulu. Kamu pilih aja, mana yang akan kamu temuin nanti sore dan sore-sore selanjutnya. Oke my sweetty?” Tera melenggang pergi dari kelasku.
**
Tiga cowok sudah ku pilih. Dan aku juga sudah nentuin siapa yang aku temuin nanti sore dan sore-sore selanjutnya. Cowok-cowok yang aku pilih ini keren-keren banget loh. Tapi nggak tahu juga sifatnya kayak apa. Tapi kata Tera sih mereka asyik-asyik semua. Lagian dia itu teman mereka, jadi ya mungkin aja benar. Dan semoga aja selera aku dan Tera itu sama, sehingga kalau kata Tera bagus ya bagus juga menurutku.
Dan sore ini aku akan ketemua dengan Andre. Cowok cakep berkulit hitam manis yang mempunyai tinggi yang semampai. Aku ketemu dengan dia dengan ditemani sama Tera tentunya. Yaiyalah, kalau aku sendiri malu kali. Nggak kenal nggak kok tiba-tiba ngajak ketemuan. Iya kalau dia suka sama aku, kalau nggak gimana? Malu-maluin kan?
Jam 4 sore nanti aku akan bertemu dengan cowok itu dengan terlebih dahulu ke rumah Tera. Atau sekitar 2 jam lagi aku akan berangkat ke rumah Tera. Aku yang harus muter ke rumah Tera, soalnya dia nggak ada kendaraan katanya. Semua kendaraan di pakai. Motornya pun dipakai oleh kakaknya. Dan sebenarnya aku juga nggak ada mobil. Cuma ada motor. Dan aku harus make motor untuk ke rumah Tera.
**
Aku sedang menunggu Tera di halaman rumahnya. Dia masih dandan katanya. Perasaan aku yang mau ketemuan kok dia yang heboh ya? Make dandan segala lagi. Orang aku aja santai aja. Berpakaian biasa. Nggak heboh kayak dia. Dasar.
Lima menit kemudian dia keluar dengan tampilan yang cukup heboh. Yah meskipun make up nya biasa aja tapi pakaiannya itu loh. Kayak mau ke pesta aja. Lebay cin. Tapi, biarin deh. Lumayan bisa buat aku ketawa.
“Wah, tampilan beda nih neng?” ujarku bercanda.
“Wah nggak usah ngeledek deh kamu Ta. Ini nih fashion. Aku kan fashionista,” ujarnya membanggakan dirinya sendiri.
“Fashion sih fashion. Tapi nggak segitunya juga kali mbak. Lagian kita kan Cuma mau ke kafe. Ngapain pake pakaian kayak gitu? Make long dress segala lagi. Nggak banget,”
“Udah deh. Ini gaya gue, mana gaya lo? Udah ah. Berangkat aja. Keburu maghrib,” si Tera menggandeng lenganku.
“Maghrib pala lo peyang. Jam empat aja baru kok. Ya udah yuk berangkat aja. Leburu subuh. Puas?” aku melangkah menuju motorku yang ku parker tidak jauh dari tempat aku duduk barusan.
“Hehe, jangan gitu dong Ta. Aku kan jadi malu. Eh ngomong-ngomong kamu udah tahu kafenya dimana belum?”
“Udahlah. Kamu kan udah bilang sama aku tadi siang.” Aku menyetarter motorku.
“Oh iya. Lupa.” Ujar si Tera sambil menepuk dahinya sendiri.
“Faktor usia tuh. Ya udah yuk, cepet naik.”
“Oke oke,” Tera memboncengku dan aku mulai menjalankan motorku. Seperdetik kemudian aku sudah meninggalkan rumah Tera menuju kafe yang dituju.
**
Tak lama kemudian aku dan Tera sampai di kafe yang sudah Tera omongin tadi siang. Aku masih bingung Andre itu seperti apa. Walaupun aku sudah pernah melihat fotonya tapi siapa tahu wajahnya beda dengan aslinya. Berubah jadi jelek may be.
Tera kelihatan celingukan mencari sosok si Andre yang katanya sudah sampai di kafe ini. Aku sih tinggal ngikutin si Tera aja. Lagian dia kan yang kenal.
“Eh Ta, itu dia orangnya. Yuk kesitu,” Tera menarik lenganku dan membawaku ke kursi sebelah kanan agak belakang.
Disitu memang ada seorang cowok yang….oh itu Andre. Sama kayak di foto. Berarti foto itu diambil baru-baru ini dong. Waduh, aku jadi penasaran sebenarnya darimana si Tera dapat foto cowok-cowok itu. Tahu deh. Wallahualam. Hanya Allah dan dia yang tahu, hehe.
“Hey Ndre. Udah lama ya?” sapa Tera lalu duduk di sampingnya. Aku mengikuti Tera dan duduk di sampingnya.
“Eh Ter. Nggak kok. Baru sepuluh menit. Pegel dikit paling nih punggung,” ujar cowok itu agak sedikit nyindir keterlambatan kami.
“Nyindir ya Ter dia?” bisikku ke Tera.
“Nah ini nih sifat dia. Perlu kamu tahu, dia itu tipe cowok yang on time banget. Dan dia sangat menjunjung tinggi kedisiplinan.” Jawab Tera dengan berbisik pula.
“Oh bagus dong. Perlu nih cowok kayak gini,” aku masih berbisik.
“Tapi dia sangat nggak suka sama yang namanya telat. Kalau seseorang yang dekat dengannya membuat janji ama dia lalu orang itu telat, maka ia tidak segan-segan untuk nyindir keterlambatan orang itu,”
“Hah? Gila! Nggak asyik ah. Males kalau kayak gini,”
“Eh tapi dia asyik kok orangnya. Tenang aja. Oke?”
Tiba-tiba si Andre berdehem. Hehe, mungkin dia merasa dibicarain kami kali ya.
“Eh, oya Ndre. Kenalin, ini Gita sahabat aku.” Tera memperkenalkan aku kepada Andre itu.
Andre mengulurkan tangannya. Aku menyambutnya dengan senang hati. Lalu dia menyebutkan namanya, akupun membalasnya dengan menyebutkan namaku juga.
“Eh, aku mau ke toilet dulu ya. kalian ngobrol aja dulu, atau pesan makanan atau minuman. Aku nggak kuat nih,” Tera meninggalkan kami dan cepat berlari ke belakang.
Aku merasa kikuk di dekat Andre. Karena dia cakep kali ya? Lagian aku baru kenal dengan dia, lalu di suruh ngobrol berdua. Ya jelas rasanya anehlah.
“Mau pesan apa Ta?” tanya Andre tiba-tiba.
“Ehm, orange jus aja deh,” jawabku dengan spontan. Aku nggak tahu mau makan atau minum apa. Dan tiba-tiba di otakku muncul kata orange jus. Ya omongin aja.
“Oh ya udah. Mbak!” Andre memanggil pelayan yang ada.
“Iya mas mau pesan apa?” tanya si pelayan dengan sopannya.
“Orange jusnya dua,” ujar Andre dengan singkatnya tanpa menoleh ke pelayan yang sedang melayani. Idih sombong banget nih orang.
“Baik mas. Silahkan ditunggu,” pelayan pamit dari meja kami.
“Mbak jangan lama-lama. Saya tidak suka jika mbak telat mengantarkan pesanan saya,” ujar Andre dengan kerasnya.
“Oh iya mas,” si pelayan menoleh lagi.
Idih, nih orang ganteng sih ganteng. Tapi kelakuannya nggak banget. Orang Cuma pesan orange jus aja soknya minta ampun gini. Ih, si Tera gimana sih? Orang nyebelin gini dibilang asyik. Asyik dari mananya coba?
“Ta, bengong aja?” Andre mengejutkan lamunanku.
“Eh iya. Kenapa?” tanyaku spontan karena kaget.
“Nggak apa-apa. Eh, kamu sering telat kayak tadi ya?” tanyanya tanpa basa-basi apapun.
Hah? Pertanyaan macam apa ini? Sering telat kayak tadi? Gila nih orang! Baru kenal aja udah nyebelin  gini. Apalagi ntar kalau emang aku pacaran ama dia? Nggak bisa ngebayangin gimana nyebelinnya. Nggak deh.
“Hey? Gita? Are you okey?” si Andre melambai-lambaikan tangannya di depan mukaku.
“Eh iya kenapa?” kali ini aku bertanya dengan kesadaran penuh.
“Lupain deh. Ternyata kamu selain suka telat, lola juga ya?” ujar Andre dengan soknya.
Apa? LOLA? Kurang asem! Berani-beraninya dia bilang aku lola! Siapa dia? Kenal aja baru, udah berani ngehina aku. Dasar cowok gila yang nggak tahu sopan santun!
“Lola?” tanyaku nggak percaya.
“Iya lola. Tahu lola kan? Jangan bilang kamu juga lemot.” Ujarnya tanpa dosa apapun.
What? Lemot? Pertama dia bilang aku suka telat, lalu lola dan sekarang dia bilang aku itu lemot? Iiiih, maunya apa sih? Cowok kurang ajar banget.
“Cukup! Kamu itu apa-apaan? Kamu pikir kamu itu perfect? Bilang orang suka telat, lola, dan lemot! Baru kenal lagi! Dasar cowok kurang asem! Udah sombongnya nggak ketulungan. Situ kira situ oke? Dasar gila!”
Emosiku memuncak dan kutumpahkan disitu juga. Biarin deh semua orang pada ngelihatin. Udah nggak tahan aku ngelihat tampang cowok tengil ini. Tera gimana sih? Cowok nyebelin kayak gini dibilang oke plus asyik. Asyik dari hongkong? GILA semua!
Aku melenggang pergi meninggalkan Andre yang kayaknya malu karena aku bentak barusan. Biarin! Lagian berani-beraninya ngehina aku. Orang tua aku aja nggak pernah ngomong gitu. Eh dia yang baru kenal sama aku berani ngomong gitu. Nggak punya otak banget. Untuk hari ini Gagal! Cowok nggak bermutu! Dan nama ANDRE, dicoret!
**
Istirahat kok rasanya cepet banget ya. Kayaknya tadi baru masuk, tapi kok sekarang udah istirahat. Apa karena tadi pelajarannya nyenengin, jadi cepet selesai? Tahu deh.
Tiba-tiba ku lihat Tera, Vivi, Neta, dan Risa tergopoh-gopoh masuk ke kelasku. Mereka berjalan dengan langkah yang cepat namun tidak berlari menuju ke mejaku. Gila! Mau apa mereka? Kayak mau demo aja. Oh aku tahu, pasti mereka mau bahas tentang kemarin lagi. Idih, repo-repot amat, hehe.
“Ta, kenapa kamu kemarin pulang duluan dan ninggalin Andre sendirian?” sergah Tera padaku.
“Kamu pingin tahu kenapa?” tanyaku santai.
“Yaiyalah. Nggak sopan tahu ninggalin orang sendirian gitu,” si Tera masih mendampratku.
“Kenapa kamu nggak tanya dia kemarin? Kenapa aku pulang duluan dan ninggalin dia,” ujarku masih santai menahan emosi.
“Udah. Tapi dia nggak jawab. Dan aku ngambil kesimpulan kalau dia mungkin sakit hati karena kamu ninggalin dia,” Tera masih menyindirku. Idih nih anak kok cerewet dan nyebelin gini sih?
“Udah deh Ter! Ini tuh bukan salah aku! Si kunyuk Andre itu nggak mau jawab karena dia merasa bersalah sama aku,” teriakku nggak tahan.
“Merasa bersalah gimana Ta?” tanya Vivi nggak paham. Yaiyalah nggak paham, orang Tera yang ikut kemarin aja nggak paham apalagi mereka bertiga.
“Kalian tahu nggak? Kunyuk itu kemarin ngehina aku abis-abisan,” ujarku sangat emosi.
“Ngehina apa Ta?” Neta juga ikut bingung.
“Nggak mungkin. Andre itu cowok yang sopan Ta. Jadi nggak mungkin menghina cewek. Apalagi yang baru dikenal,” bela Tera.
“Kalau kamu nggak percaya ya udah,” aku males nih kalau Tera udah ngotot.
“Emang ngehina gimana Ta?” tanya Risa masih penasaran.
“Kan Tera izin ke toilet. Terus dia tiba-tiba nanya ke aku, katanya, Eh Ta, Kamu Emang Sering Telat Gitu Ya? karena emang aku dan Tera itu datangnya telat. Tapi telatnya paling Cuma sepuluh menit doang. Tapi nyindir terus tentang telat,” jelasku dengan emosi.
“Cuma itu doang?” tanya Neta nggak percaya.
“Yah Ta. Aku kan udah bilang sama kamu, dia emang suka nyindir kalau ada orang telat datang saat janjian ama dia. Kamu juga udah biasa aja kan saat aku bilang gitu?” ujar Tera.
“Tapi bukan itu aja. Saat dia nanya gitu kan aku nggak percaya dia ngomong gitu. Karena menurut aku itu kurang sopan karena dia baru kenal dengan aku. Nah kan saat itu aku sempet melongo sebentar, eh dia ngelambaikan tangannya. Otomatis aku kaget kan? Dia tanya ke aku, Are You Okey? Ya aku jawab aja, Eh Iya Kenapa? Saking aku kagetnya kan? eh tak disangka dia malah jawab, Eh Ternyata Kamu Selain Suka Telat, LOLA Juga Ya? ihhhh….. aku pingin jitak orang itu banget deh. Suwer!” jelasku panjang lebar dengan dipenuhi emosi.
“Terus-terus?” ujar Neta antusias.
“Saking kagetnya ada orang yang baru kenal langsung ngehina kayak gitu aku langsung emosi berat. Tapi aku tahan. Aku masih bisa nyimpen emosiku itu. Tapi dia semakin menjadi. Saat dia ngomong gitu aku hanya jawab, Hah Lola? Karena mungkin saja aku salah denger kan? tapi dia malah ngomong, Iya Lola. Tahu Lola Kan? Jangan Bilang Kamu Nggak Tahu Lola. Ternyata Selain Suka Telat, Lola, Kamu Ternyata Lemot Juga Ya? Urgh! Suwer! Aku udah nggak bisa nahan emosiku lagi. Aku langsung aja nggamprat dia disitu juga. Bahkan sampai semua pengunjung disitu ngelihatin ke arah aku semua. Ih, biarin aja. Dan aku langsung pergi ninggalin dia. Nggak peduli aku,” aku emosi berat.
“Gila tuh orang! Kurang asem banget. Kalau aku yang ada di posisimu Ta. Udah aku gampar tuh orang pakai kursi kafe itu. Lagian senga banget gayanya,” Vivi ikut emosi.
“Iya. Berani-beraninya menghina kayak gitu. Baru kenal lagi. Kayak orang paling sempurna aja,” Neta nggak mau kalah.
“Tahu. Mana ada cowok gitu. Nggak banget. Gimana sih Ter, teman kamu yang kata kamu asyik itu?” Risa memojokkan Tera.
“Aku juga nggak tahu kalau bakal kayak gini. Setahuku dia orangnya asyik. Emang dia kalau ngomong suka ceplas ceplos, tapi aku nggak nyangka bakal kayak gini kejadiannya.” Ujar Tera dengan nada bersalah.
“Udah ah. Aku nggak mau ngomongi cowok nggak punya sopan santun itu. Bikin emosi muncak aja. Ih…. Sebel!” aku masih gregetan.
“Maaf ya Ta. Aku nggak nyangka jadinya kayak gini,” si Tera masih kelihatan nggak enak.
“Iya iya. Lupain aja. Aku anggap temen kamu itu Cuma rintangan yang menghadangku dalam Hunting A Boyfriend mission. Keren nggak tuh?” ujarku dengan gaya yang sok.
“Haha, keren-keren. Sekalian si Risa cariin ya. Biar exboyfriendnya itu nggak ngejar-ngejar dia lagi,” ujar Neta sambil melirik ke arah Risa.
“Oke oke. Kamu mau nggak? Ntar aku bungkusin. Nggak pake sambel kan? haha” aku tertawa ngakak. Begitu juga dengan keempat temanku itu.
“Eh Ta. Untuk nanti sore kamu udah nentuin mau ketemu siapa belum?” tanya Tera sehingga menghentikan tawaku.
“Udah kok. Nih. Si Rio.” Ujarku dan menyerahkan foto cowok itu.
“Oh dia. Kalau ini aku jamin dia benar-benar asyik kok. Dia banyak di sukai ama cewek. Cuma, dia nggak pernah pacaran saat itu walaupun banyak yang naksir,” jelas Tera sehingga aku mengangguk-anggukan kepalaku.
“Loh kenapa?” tanya Vivi penasaran.
“Nggak doyan cewek kali, haha.” Celetuk Risa dan membuat kami semua tertawa. Kecuali Tera.
“Ush, sembarangan kamu Ris.” Bela si Tera.
“Terus kenapa coba?” tanyaku penasara.
“Ku kira dia seperti kamu Ta. Belum mau pacaran. Dan ku kira dia juga tipe orang yang nggak mudah berkomitmen, apalagi sembarangan pacaran,” jelas Tera dengan yakinnya. Padahal itu masih pandangannya saja.
“Wah bagus tuh. Sudah mempunyai kesamaan. Pasti nanti akan jadi pasangan yang cocok.” Ujar Neta dengan yakinnya. Seyakin penjelasan Tera tadi.
“Belum apa-apa udah ngomong cocok aja kamu Net.” Sanggah Risa.
“Ya kan siapa yang tahu kan?” Neta nyengir.
“Ya udah. Nanti sore jam empat kayak biasa aja ya? Di taman dekat perumahanku aja ya Ta?” ujar Tera meminta persetujuanku.
“Oke deh. Berarti searah dengan arah rumahmu.” Ujarku setuju.
“Aku ikut dong. Aku pingin lihat dia kayak apa kalau dilihat langsung.” Ujar Neta.
“Oke. Tapi aku udah nggak ketemu dia setelah lulus SMP. Jadi ntar aku telepon dia aja janjiannya. Semoga dia mau ya,” ujar Tera.
“Jadi kamu belum buat janji dengan dia? Kalau dia nggak mau gimana?” tanyaku panic.
“Tenang. Itu urusan gampang. Kamu tinggal siap-siap aja ntar sore Ta.” Ujar tera dengan santainya.
“Ya udahlah terserah kamu. Ini Neta doang yang mau ikut ya?” tanyaku dan memandang teman-temanku satu persatu.
“Aku harus jaga adik aku yang masih sakit di rumah. Boleh keluarnya kalau hari Minggu doang. Nyebelin banget kan?” ujar Risa dengan muka lesu.
“Kalau aku nanti sore mau jalan ama yayang akyu. Hehe,” ujar Vivi dengan gaya centilnya.
“Ya udah kalau gitu. Net, ntar sore kamu jemput aku ya?” ujarku mencari kesempatan dalam kesempitan.
“Oke oke. Ntar aku suruh sopirku muter ke rumahmu dulu,” ujarnya setuju. Haha, okelah kalau begitu.
**
Aku sudah siap dengan penampilanku untuk bertemu dengan Rio. Yah walaupun aku nggak yakin dengan temannya Tera yang satu itu. Aku takutnya kayak kemarin lagi. Cowoknya nggak sopan lagi. Ngeselin pula. Idih, amit-amit deh ketemu ama cowok kayak gitu lagi.
Aku sekarang sedang menunggu Neta. Katanya dia sudah di jalan. Tapi kok belum datang-datang ya? Biarin deh, aku tungguin dengan sabar, (Aduh gaya bener gaya gua). Paling sebentar lagi dia sampai.
Dan benar saja. Tidak lama kemudian sebuah mobil memasuki halaman rumahku. Dan itu mobilnya Neta. Dia langsung membuka pintu mobilnya dan berdiri memanggilku. Akupun langsung berlari menghampirinya lalu masuk ke dalam mobil.
Sedetik kemudian kami sudah meninggalkan rumahku. Melaju dengan cepat menuju rumah Tera. Mungkin lima belas menit kemudian kami sudah sampai di rumahnya Tera.
Dan perkiraanku kembali benar. Kami sampai di rumah Tera dengan waktu lima belas menit saja. Dan tiba-tiba aku kok merasa nggak enak ya? Ada apa ini? Aduh, jangan-jangan temannya Tera itu ngeselin kayak kemarin lagi. Ih, males deh kalau kayak gini.
Tera keluar setelah aku dan Neta mengetuk pintu rumahnya beberapa kali. Melihat Tera keluar aku malah tambah males untuk menemui temannya Tera itu. Bukannya gimana-gimana, tapi perasaan aku nggak enak aja. Kayaknya pertemuan dengan temannya Tera ini bakal gimana gitu.
“Kamu kenapa Ta?” tanya Neta bingung.
“Nggak tahu. Perasaan aku nggak enak aja,”ujarku males.
“Ah itu Cuma perasaan kamu Ta. Mending berangkat aja yuk. Si Rio udah disana katanya. Jalan kaki aja ya? Dekat kok. Ntar biar sopir kamu nunggu di dalem Net.” Ujar Tera.
“Iya deh.” Jawab Neta menyetujuinya.
Kami bertiga berjalan menuju ke taman yang berada di ujung perumahan Tera ini. Lumayan nih jalan kayak gini. Lumayan capek. Soalnya jaraknya kira-kira seratus meter.
Lima menit kemudian kamu sampai di taman yang kami tuju itu. Disini banyak orang. Terutama anak-anak yang sedang bermain dengan ditemani oleh baby sitternya. Banyak juga anak muda yang sedang pacaran.
Kami celingukan mencari sosok Rio itu. Aku sih nggak tahu gerak-gerikya kayak apa. Lagian ini sih tugas Tera kalau soal mencari temannya itu. Aku sih nggak ngurusin.
“Mana Ter?” tanya Neta sudah tidak sabar.
“Ntar dulu. Aku juga sudah lama nggak ketemu ama dia. Foto itu juga foto dulu. Jadi aku takutnya wajahnya dia sudah banyak berubah.” ujar Tera membuat aku sangsi saja dengan semua ini. Aduh, jangan-jangan temannya Tera itu berubah jelek lagi.
“Tera!” tiba-tiba seseorang memanggil nama Tera.
Dengan cepat kami menemukan sumber suara itu. terlihat seseorang sedang melambaikan tangannya. I think he’s Rio. Wah beda banget dengan yang di foto. Lebih cakep dari yang di foto. Mungkin benar kata Tera. Perasaan nggak enak ini mungkin Cuma perasaanku. Aku, Tera, dan Netapun langsung menghampirinya.
“Kamu Rio kan?” tanya Tera dengan bodohnya. Aduh nih anak Oon banget sih kadang-kadang.
“Iyalah. Siapa lagi.” Jawab cowok itu dengan gaya aneh. Ada apa ya dengan dia? Kok kayaknya ada yang aneh darinya. Tapi apa? Ah, mungkin ini Cuma perasaanku.
“Sudah lama ya kita nggak ketemu? Gimana kabarnya? Udah punya pacar belum? Hehe” Tera duduk di dekatnya.
“Iya. Kamu sih nggak pernah main ke rumahku. Baik banget. Eits, jangan salah.” Si Rio tampak malu-malu.
“Udah punya pacar nih?” Tera tampak kaget.
“Belum maksudnya. Eh ngomong-ngomong kamu ngajak ketemuan mau apa emangnya?” tanya si Rio yang sepertinya mengalihkan tema pembicaraan. Aduh, jangan-jangan dia udah punya pacar lagi.
“Nggak mau apa-apa. Kangen aja aku ama kamu. Eh iya kenalin, ini sahabat-sahabatku. Ini Gita dan yang ini Neta,” Tera memperkenalkan kami kepada Rio.
Dia menjabat tangan Neta lalu tanganku sambil menyebutkan namanya. Kami menyambutnya dan juga menyebutkan nama kami.
“Eh Ter, aku haus nih. Beli minum yuk,” Neta menarik tangan Tera. Sepertinya mereka udah merencanakannya.
“Eh kami nyari minum dulu ya. Yo, ngobrol dulu ama Gita. Orangnya asyi banget loh,” ujar Tera lalu buru-buru pergi meninggalkan kami. Aku hanya melongo melihat tingkah mereka berdua.
“Ta, duduk dong,” ujar Rio kepadaku. Aku menurutinya.
“Kamu sekelas ama Tera?” tanya Rio yang sepertinya tidak suka membuat suasana hening. Wah, sepertinya orangnya beneran asyik nih.
“Nggak. Saat kelas satu kami satu kelas. Namun sekarang tidak. Tidak tertarik dengan bahasa soalnya dia.” jawabku akan pertanyaannya.
“Dia emang nggak suka sastra dari SMP. Katanya orang sastra itu kayak orang gila. Nyebelin nggak tuh?”
“Oh ya? Wah dia nggak pernah bilang sama aku. Kalau bilang aja aku hajar tuh anak,”
“Wah ganas deh. Iya, dulu dia bilang gitu sama aku. Dan alhasil, kita muter-muter di lapangan basket karena aku ngejar-ngejar dia,”
“Loh? Kenapa?” aku bingung.
“Ya aku nggak rela dong dia ngomong kalau orang sastra itu kayak orang gila,”
“Ntar dulu. Kamu ngambil bahasa juga ya?” tanyaku baru ngeh dengan keadaan.
“Yups betul.” Ujarnya sambil tersenyum.
“Wah kenapa nggak bilang sih? Aku kan bingung dari tadi,”
“Yah kamu nggak nanya, hehe.” Ujarnya sambil tertawa.
“Kata Tera dulu saat SMP kamu banyak ditaksir cewek ya?”
“Ah nggak. Biasa aja,” dia tampak kurang suka dengan tema pembicaraan yang aku omongin barusan.
“Yah merendah. Kenapa? Takut pacarnya marah inget masa lalu?” aku mulai memancing. Siapa tahu kan dia udah punya pacar?
“Jangan gitulah. Omongin yang lain aja,” tuh kan. Dia emang nggak suka dengan arah pembicaraanku.
“Oh sorry. Tadi kesini sama siapa?” tanyaku kemudian.
Tiba-tiba seorang cowok bertubuh proporsional menghampiri kami. Aku bingung siapa dia? Ada urusan apa? Perasaan aku nggak kenal deh.
“Ta, sorry tadi aku nggak suka dengan tema pembicaraan kamu. Aku kesini dengan dia. Perlu kamu tahu, dia itu gebetan aku. Iya kan Han?”
Rio merangkul cowok itu dengan mesranya. Begitupun cowok itu. Ia menanggapi rangkulan Rio dengan hangat. Idih, perutku. Tiba-tiba perutku eneg nggak karuan.
“Han, kenalin ini Gita,” Rio mencoba mengenalkan aku dengan cowoknya itu. Namun, aku benar-benar sudah tidak kuat lagi. Perutku sudah terlalu mules melihat ini semua. Jika tetap dipaksakan, pasti aku muntah disini juga. Maka aku putuskan untuk lari dan segera mencari taksi untuk pulang.
**
Dan keesokan harinya aku nggak bisa berangkat sekolah karena terlalu lemas akibat sepulang dari taman aku langsung dan terus muntah-muntah nggak karuan. Papa saja sampai kebingungan plus panic melihatku. Aku terus muntah-muntah tanpa berhenti.
Sore itu saking paniknya Papa langsung menyuruh Kak Andri yang sedang ada temannya untuk memanggil dokter ke rumah. Akibat kepanikan Papa itu, Kak Andri dan teman-temannya juga ikutan panic.
“Ta, gimana? Udah mendingan? Makan siang udah siap tuh. Makan dulu ya?” Kak Andri menghampiriku yang sedang di kamar. Masih lemas.
“Ntar aja ah Kak.” Ujarku tanpa tenaga.
“Kamu sebenarnya kenapa sih? Kok sampai segitunya.”
“Idih Kak. Aku itu tadi sore melihat pemandangan yang tidak bisa di cerna oleh otakku. Jadi perutku juga nggak bisa nerima. Idih…. Jijik bener deh Kak,” ujarku sambil begidik.
“Maksudnya apa Ta? Suwer deh Kakak nggak paham,” Kak Andri tampak kebingungan.
“Ya Allah Kak. Tadi sore itu aku lihat Orang pacaran,” ujarku sambil menahan eneg di perutku lagi.
“Yah ni anak. Ngelihat orang pacaran aja sampai segitunya. Makanya cari pacar. Kamu sih, nggak penah pacaran,”
“Ye Kakak. Nggak usah disangkutin ama yang itu deh. Ini nih bukan pacaran yang itu,”
“Terus pacaran apa? Kayaknya pacaran dimana-mana sama deh. Cewek ama cowok.”
“Ini tuh bukan itu. Tapi pacaran cowok ama cowok Kakak! Udah pake rangkulan mesra banget lagi. Idih! Jijik banget deh!”
“Hah? Maksud kamu guy gitu?”
“Iyah. Ih, udah ah. Jadi pingin muntah lagi nih,” ujarku sambil memegang perutku menahan eneg.
“Kakak juga pingin muntah nih Ta,” Kak Andri jadi ikut-ikutan.
**
Keesokan harinya aku sudah baikan dari efek muntah-muntahku. Aku dianter Kak Andri. Itu semua karena Papa juga nyuruh. Kata beliau karena takutnya aku sakit lagi kalau harus berangkat sendiri. Apalagi harus naik motor atau naik angkutan. Kak Andri juga nggak keberatan untuk mengantarku dan otomatis harus menjemputku pulangnya nanti. Dia kan kakak terbaik yang aku punya.
“Ntar pulangnya sms ya Ta. Biar ntar nggak nungguin kelamaan,” ujar Kak Andri sebelum menyalakan mobilnya.
“Sip deh. Masuk dulu ya Kak. Bye….” Aku melangkahkan kakiku masuk ke dalam.
Aku berjalan sendirian menuju ke kelasku. Melewati segerombol manusia yang sedang mengobrol di depan-depan kelas sambil masih menggendong tas mereka. Itu memang kebiasaan mereka.
Saat aku sudah sampai di kelasku, aku dibuat kaget karena ternyata si Vivi, Tera, Neta, dan Risa sudah ngejongkrok aja di kelasku. Kok mereka tahu ya hari ini aku masuk sekolah? Tahu darimana mereka? Aduh, jangan-jangan mereka ngirim mata-mata buat mata-matain aku lagi.
“Ta, sorry ya,” si Tera langsung memburuku yang baru sampai di depan pintu.
“Sorry buat?” aku kebingungan. Si Vivi, Neta, dan Risa juga menghampiri kami yang masih berdiri di depan pintu. Dan jadinya pintu penuh karena kami berdiri di depannya.
“Ya sorry buat kejadian kemarin lusa.” Jawab Tera.
“Udahlah. Jangan ingetin aku tentang kejadian gila itu lagi. Jijik banget,” aku berjalan menuju ke mejaku untuk menaruh tas. Sebenarnya karena banyak teman sekelasku yang mau masuk juga sih.
“Oke. Dan misi ini mau dilanjutin lagi nggak?” tanya Tera sambil mengikutiku.
“Maulah. Aku yakin kok. Teman-temanmu yang lainnya itu normal. Dia aja yang Gila.” Ujarku lalu duduk di kursiku. “Dan nanti sore giliran yang terakhir ini,” aku menyerahkan foto yang aku bawa.
“Si Anton. Oke deh, aku atur nanti sore. Mau dimana?” tanya Tera kepadaku.
“Di kafe deket rumahku aja ya?” Vivi mengusulkan. “Kebetulan itu kafe baru buka. Masih banyak discount maksudnya, hehe.” Lanjutnya lagi. “Sekalian aku mau ikut sama kalian,” Vivi masih ngoceh.
“Oke.” aku mengacungkan jempolku. “Mau ikut lagi Net?” lanjutku lagi bertanya ke Neta.
“Nggak. Nanti sore aku mau ngedate ama my exboyfriend yang akan jadi my boyfriend lagi. Karena aku yakin nanti sore dia mau nembak aku. Lagi.” Ujarnya sumringah.
“Kalau kamu Ris?” tanya Tera ke Risa.
“Kan aku udah bilang. Adikku sedang sakit. Aku harus jaga dia. Dan aku hanya boleh keluar kalau hari minggu doang Mbak mbak.” Jelas Risa agak dan sedikir sewot.
“Peace,” Tera mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya sehingga membentuk huruf V.
**
Sore ini aku akan ketemuan dengan cowok yang tidak aku kenal. Lagi. Huh, sebenarnya aku capek. Siapa tahu cowok ini lebih parah dari si Andre yang nggak punya etika dan si Rio yang Guy itu. Ih merinding kalau inget mereka berdua.
“Mau kemana Ta?” tiba-tiba kak Andri muncul di sampingku.
“Mau ke kafe deket rumahnya Vivi Kak. Aku udah janjian ama teman-temanku disana.” Jawabku sambil membenahi penampilanku.
“Kamu kan baru sembuh Ta. Nggak usah pergi-pergi dulu deh.” Ujar kak Andri member saran. Dia sedang mengikat sepatu. Kayaknya mau pergi juga.
“Tapi aku udah janji ama mereka Kak. Mau dibatalin ya nggak enak dong,” aku sedikit merengek.
“Ya udah kalau gitu. Bareng kakak aja kalau gitu. Yah walaupun beda arah tapi demi adik kakak tersayang ini nggak apa-apa deh. Sebenarnya takut dimarahin Papa sih,” Kak Andri melenggang ke depan, karena mobil sudah ada di depan.
Aku tidak berkomentara apa-apa. Mengikuti langkah Kak Andri masuk ke mobil. Padahal kalau lagi mood, aku akan bentak-bentak Kak Andri karena omongannya barusan.
**
Sesampainya di kafe tersebut, Aku langsung masuk ke dalam kafe karena kata Vivi tadi mereka udah ada di dalam.
“Ta, kalau minta jemput ntar smsan kakak ya,” terdengar suara Kak Andri tapi aku menghiraukannya. Males jawab.
Aku langsung mencari sosok Vivid an Tera. Mataku menyapu ke seluruh penjuru ruangan. Dan akhirnya aku menemukan mereka di sebelah kanan agak belakang. Mereka tuh pasti milih tempat yang belakang.
Tera melambaikan tangannya. Eh tunggu dulu, kok mereka Cuma berdua? Dimana temannya Tera? Apa dia nggak datang? Yah percuma dong aku datang. Dan aku langsung menghampiri mereka dengan malas. Nggak tahu kenapa hari ini aku males banget hawanya.
“Mana Antonnya?” tanyaku lalu duduk di kursi yang kosong.
“Tuh,” Tera menunjuk ke bagian belakang.
“Kok kalian disini?” aku kebingungan sendiri sambil masih menatap si Anton yang masih bengong sendirian di pojok sana. Wah dia benar-benar cakep banget ya.
“Nah hayuk kesana,” Tera menggandeng tanganku menuju ke meja Anton. Aku hanya pasrah dalam gandengan Tera. Sedangkan Vivi tidak beranjak dari duduknya. Ehm, kayaknya ini udah direncanain ama mereka berdua deh.
“Hay Nton. Sorry lama ya. Eh kenalin ini sahabatku. Namanya Gita,” ujar Tera memperkenalkanku pada cowok itu. Dia tersenyum. Wah, senyumannya bikin lunglai aja nih cowok. Dia memperkenalkan dirinya.
“Eh, kalian ngobrol dulu aja ya. Aku ada urusan ama temenku disana. Nggak apa-apa kan? ntar aku balik kesini lagi. Cuma sebentar kok,” ujar Tera dan langsung pergi tanpa mau mendengarkan reaksi si Anton.
“Oke. Nggak apa-apa kali. Orang ditinggal berdua ama cewek cantik kok,” Anton menatapku. Aduh, tatapan maut nih. Bikin hati klepek-klepek. Dan aku hanya bisa tersenyum.
“Kamu ngambil jurusan IPA kan pasti disekolah?” tanyanya kepadaku.
“Darimana kamu tahu?” aku kebingungan sendiri.
“Kelihatan pintar,” jawabnya dan membuat aku tambah GR. Nih anak asyik juga. Baru pertama ketemu aja udah gini. Apalagi kalau nanti cocok dan jadian. Pasti dia orangnya romantis.  Dan kami ngobrol-ngobrol dengan asyik dan tanpa canggung. Walaupun baru pertama kenal dan bertemu dia ngobrol dengan ramah dan asyik banget. KEREN!
Sesekali aku menengok ke arah Tera dan Vivi. Mereka mengangkat alis mereka, aku hanya mengacungkan jempol dengan sembunyi-sembunyi agar si Anton tidak melihatnya sambil tersenyum. Mereka membalasnya.
Namun, kebahagiaanku tidak begitu lama. Karena tiba-tiba ada seorang cewek datang dengan tampang sangar. Dia menatap kearahku dan Anton bergantian sambil bertolak pinggang.
“Oh jadi ini alasan kamu kenapa aku ajak jalan nggak mau? Katanya mau anter nyokap ke dokter Hewan tapi ternyata…. DASAR PLAYBOY KAMPUNG!!!!” si cewek menampar Anton.
“Dan lo!” cewek itu ganti menatapku dengan tampang lebih sangar. “Cewek nggak tahu diri! Perebut cowok orang!” dan dia juga menamparku. Tidak cukup sampai disitu. Cewek itu juga menyiram Anton dan aku dengan minuman kami masing-masing kemudian setelah puas ia melenggang pergi sambil tetap mengomel.
Aku diam terpaku. Antara malu dan kesal. Tapi lebih banyak rasa malunya sih. Aku Cuma kesal ke Tera yang nggak mastiin dulu kalau Anton udah punya pacar ato belum. Dan ke Anton yang playboynya nggak ketulungan.
Aku langsung berlari ke luar kafe dengan bercucuran air mata. Dan semua pengunjung kafe melihat kearahku. Dan terdengar teriakan Vivi dan Tera meneriakkan namaku. Namun aku tak menghiraukannya. Dan langsung menyetop taksi untuk mengantarku pulang. Nggak peduli uangku cukup atau tidak.
**
Dan pada pagi ini, mataku sembab karena semaleman aku menangis nggak berhenti-berhenti. Sampai-sampai Kak Andripun sempat mengucapkan sumpah serapahnya kepada cowok dan cewek yang telah membuatku menangis ini setelah aku menceritakan apa yang terjadi.
Kalau sudah kayak gini aku jadi berubah pikiran. Aku nggak ingin punya pacar kalau sudah seperti ini. Lagian sebenarnya pacar itu untuk apa? Ih….. sebbel! Udah aku dipermalukan di depan umum, pulang basah kuyup padahal nggak ada ujan, jantung rasanya dag-dig-dug-der gara-gara kena bentak cewek nggak tahu diri itu. Huaaaah…. Air mataku rasanya nggak bisa berhenti mengalir.
Tiba-tiba pintu kamarku ada yang mengetuk. Paling Kak Andri. Lagian siapa lagi kalau bukan dia. Papa kan masih di luar kota sejak kemarin.
“Ta, ada teman-temanmu di depan. Temuin sana!” ujar Kak Andri saat sudah masuk.
“Nggak mau! Males!” ucapku nggak peduli dengan ucapan Kak Andri.
Ku lihat Kak Andri hanya menarik nafas kesal. Namun, dia tidak berkomentar apa-apa. Dia langsung keluar. Namun tiba-tiba pintu terbuka kembali dan ternyata disana sudah ada teman-temanku lalu mereka masuk menghampiriku.
“Ta, kamu marah ya sama kami?” tanya Vivid an duduk disamping ranjangku. Aku hanya diam.
“Ta, maafin aku ya?” ujar Tera dengan rasa bersalah sepertinya.
“Ta, ngomong dong. Dari tadi diem aja,” bujuk Neta dengan sepenuh hati.
“Oke, ni aku ngomong. Aku nggak marah kok sama kalian. Aku lagi nggak mau diganggu aja.” Ujarku akhirnya.
“Beneran kan kamu nggak benci ama aku Ta? Sekali lagi aku minta maaf Ta. Aku nggak tahu kalau ternyata si Anton itu playboy. Suwer deh aku nggak tahu. Jangan marah sama aku ya Ta,” ujar Tera dengan rasa bersalah yang sangat terlihat.
“Nggak Tera. Aku nggak marah sama kamu. Aku sebel aja. Lengket nih gara-gara kemarin disiam air minum. Tambah manis deh aku jadinya,” ujarku bercanda dengan maksud menghibur diri.
“Yeeee, PD nian kau ini,” ujar Neta lebay.
“Baguslah kalau gitu. Eh kita keluar yuk. Nggak bosen kamu di kamar terus hari Minggu yang cerah ini?” tanya Tera padaku.
“Kemana?” tanyaku singkat.
“Mana aja. Ntar aku traktir tenang. Baru dapat jatah dari Papaku ni,” ujar Tera pamer.
“Hey kok kamu baru ngomong sih? Parah ah,” si Neta cemberut.
“Hehe, peace. Eh gimana ama si Tito mantan kamu itu? Jadi balikkan lagi kalian?” tanya Tera yang sepertinya mengalihkan pembicaraan.
“Jadi dong. Tahu nggak? Romantic banget tahu dia minta balikkannya. Semalem aja kita baru ngedate lagi,” si Neta jadi sumringah.
“Ih pada seneng ya? Giliran aku menderita kayak gini,” aku cemberut.
“Maav Ta. Aku nggak bermaksud,” Neta tampak merasa bersalah.
“Ehm, daripada sedih-sedih gini mending kita langsung jalan aja deh.” Si Vivi unjuk bicara.
“Oke. Sana Ta kamu ganti baju. Udah matanya sembab gitu. Pasti kamu belum mandi ya?” tanya Tera nyrocos padaku.
“Enak aja. Udah dong. Eh, by the way ya ni. Risa nggak ikut lagi ya?” tanyaku penasaran.
“Ikut kok. Tapi dia lagi di depan. Ngedeketin kakak kamu tuh,” jawab Neta.
“Loh? Dia masih suka ama Kak Andri rupanya?” tanyaku agak kaget.
“Iyalah. Masih ngebet buat jadi pacarnya Kak Andri tuh bocah,” kali ini Tera unjuk suara.
Aku hanya mengangguk-angguk saja sambil memilih baju di lemari. Setelah mendapatkan baju yang cocok, aku langsung berlari ke toilet untuk ganti baju. Dan setelah semuanya rapi, aku mengambil tas lalu melemparkannya ke teman-temanku yang masih ngobrol di ranjangku.
“Wah kurang asem kamu Ta. Sakit tauk!” terdengar suara Vivi yang ternyata terkena lemparan tasku.
“Sorry neng. Nggak lihat.” Ujarku santai. “Yuklah keluar,” ajakku setelah semuanya beres.
Kami berempatpun langsung keluar dari kamarku. Terlihat si Risa yang masih mengobrol dengan asyik bersama Kak Andri. Aku mendehemi mereka. Risa tampak cuek aja. Namun tidak dengan Kak Andri. Dia langsung menghampiriku.
“Mau kemana kamu?” tanyanya padaku.
“Mau ngilangin kesedihan,” jawabku cuek sambil tetap melangkah.
“Kakak ikut deh. Takutnya ntar ada apa-apa lagi,” ujarnya dengan nada khawatir.
“Nggak usah. Kakak disini aja jaga rumah. Gita janji, nggak akan kenapa-kenapa lagi kali ini. Gita Cuma mau jalan-jalan doang kok sama mereka. Ntar kalau ada apa-apa Gita akan nelpon kakak.” Aku tersenyum dengan penuh ketulusan agar dibolehin Kak Andri pergi.
“Ya udah kalau gitu. Hati-hati ya,” ujar Kak Andri di ambang pintu karena aku dan teman-temanku sudah keluar dari rumah menuju mobilnya Neta.
“Siiiip. Bye Kak,” aku melambaikan tanganku melalui jendela mobil. Dan Risa masih aja memandangi Kak Andri tanpa berkedip. Dasar nih anak.
**
Aku dan teman-temanku langsung mengitari mall. Siapa tahu ada yang menarik. Tapi sayangnya si Tera bukan traktir beli barang-barang gini. Tapi dia traktirnya Cuma makanan. Emang nggak niat traktir nih anak.
“Eh anterin aku ke toko buku. Ada novel yang mau aku beli. Yuk,” si Tera menarik tanganku dan aku juga menarik tangan Vivi. Si Neta yang berada dibelakang bersama Risa juga mengikuti kami.
Saat ditoko buku kami langsung disibukkan oleh Tera yang masih mencari novel yang dia inginkan. Yah ni anak, nyusahin. Udah kami  disuruh nyariin juga lagi. Lagian kayak apa sih novelnya itu?
Aku mencari ke rak bagian kanan. Sedangkan mereka berempat ke rak bagian kiri semua. Aku juga sedang melihat novel-novel yang ada. Yah siapa tahu ada yang nyangkut dihati. Daripada Cuma nganter dan nyariin novel buat Tera. Yah sekalian lihat-lihat dong.
“Aw….” Tiba-tiba aku menyenggol seseorang dan alhasil aku tergores ujung rak disampingku. Ih siapa sih? Yang nggak lihat-lihat itu sebenarnya siapa? Hehe, aku juga sedang melamun sih tadi.
“Maaf,” ujarku dan dia barengan. Saat aku melihatnya. Heh siapa ini? Kayaknya aku kenal deh. Dan perlu diketahui, dia cakep banget hloh. Sedikit mirip Kim Sang Bum yang artis korea itu loh. Dia juga menatapku. Lekat. Dan aku jadi malu sendiri.
“Eh maaf ya. Aku nggak lihat-lihat tadi,” ujarku akhirnya untuk mencairkan suasana.
“Ehm,,,, kamu Gita kan?” ujar cowok itu. Loh? Kok dia tahu namaku? Tapi ntar dulu, dia…. Adrian? Ini…. Dia…. yang berada di depanku ini Adrian? Adrian yang dulu aku taksir saat di SMP? Aaaa…. Nggak nyangka banget bisa ketemu dia lagi.
“Hey? Kenapa? Kamu bener Gita? Gita Pratiwi?” tanyanya lagi sambil melambaikan tangannya di depan mukaku.
“Eh, iya. Kamu Adrian bukan?” ujarku agak ragu. Hehe, aku takut salah duga.
“Iya. Gimana kabar kamu? Udah lama kita nggak ketemu ya?” Bingo! Ternyata dia benar si Adrian.
“Yup! Tiga tahun nggak ketemu.”
“Duduk yuk,” dia menuju ke tempat membaca di sebelah utara tempat kami berdiri tadi. Aku mengikutinya.
“Gimana kabarnya?” tanyanya memulai pembicaraan.
“Baik kok. Kamu sendiri?” jawabku masih canggung.
“Sama lah. Eh habis nangis ya? Kok kayaknya mata kamu sembab gitu sih?” tebaknya dan seratus persen benar sekali.
“Yah biasalah.” Jawabku bingung.
“Bukan karena Kak Andri kayak dulu lagi kan?”
“Ya bukanlah.”
“Eh sekarang kamu sekolah di mana?”
“SMU N 38. Kamu sendiri sekarang dimana? Masih di Medan?”
“Aku udah pindah kesini lagi kok. Eh kamu kesini sama siapa?”
“Teman-temanku. Mereka lagi nyari novel tuh. Pada sibuk sendiri. kamu kesini sama siapa? Sendiri doang?”
“Aku sama….” Ucapan Adrian tergantung karena tiba-tiba ada seseorang menghampiri kami. Dan itu si Seno. Eh ni anak baru muncul.
“Hey Gita. Gimana kabar?” tanyanya heboh.
“Baik kok. Baru nongol kamu  Sen? Kamu lanjut dimana? Kok aku nggak pernah lihat kamu sih?” tanyaku antusias.
“Aku di SMU 22 neng.”
“Loh tapi kok aku nggak pernah lihat kamu sih?”
“Maklum orang sibuk.”
“Gaya banget ni anak!” ujar Adrian yang mungkin nggak tahan dengan gaya tengil Seno.
“Eh dia juga balik kesini lagi loh Ta. Satu sekolah denganku lagi nih anak.” Si Seno cuek.
“Oh ya? ih asyik dong. Sejak kapan pindah kesini Dri?” aku beralih ke Adrian.
“Baru kemarin.” Jawabnya singkat disertai dengan senyuman yang menurutku dapat menyetrum hatiku. Sejak dulu emang aku sangat suka ketika si Adrian senyum. Suwer manis banget.
“Eh sebenarnya dia tuh mau satu sekolah ama kamu. Dia nanya-nanya ama aku terus kamu sekarang sekolah dimana. Haha, tapi aku bohongin dia. dan hasilnya sekarang dia satu sekolah ama aku akibat percaya dengan kibulanku Ta. Haha,” si Seno puas tertawa. Sedangkan aku hanya merasa GR. Hah? Yang benar?
“Dia masih suka ama kamu loh Ta,” ujar Seno lagi dan membuat tingkat GRmeterku semakin meningkat.
“Apaan sih lo Sen! Nggak usah dengerin Ta. Biasa nih anak. Ndongeng,” ujar Adrian sambil membungkam mulut seno. Ih Adrian, bener juga nggak apa-apa kok.
“Kami cariin ternyata  disini ya?” tiba-tiba teman-temanku menghampiriku. mereka tampak kaget melihat Adrian dan Seno.
Kemudian tanpa pikir panjang aku mengenalkan mereka dengan teman-temanku itu. mereka menyambutnya dengan senang hati.
“Eh laper nih. Kita makan yuk. Tenang, si Adrian yang bayar.” Celetuk Seno tiba-tiba. Si Adrian hanya senyam-senyum malu.
“Dan juga akan dibantu oleh si Seno yang cerewet ini,” celetukku nggak mau kalah.
“Kita langsung cari tempat makannya aja yuk.” Ajak si Tera yang emang udah niat traktir kami. Haha, kayaknya ni anak merasa tersaingi oleh Adrian.
Dan kami semua melangkah meninggalkan toko buku ini. Mencari tempat makan karena emang perut udah mulai keroncongan.
Tiba-tiba teman-temanku mencecarku berbagai pertanyaan. Mulai dari siapa sampai kapan.
“Mereka ini teman SMPku.” Jawabku santai.
“Ya tahu neng. Eh kayaknya kamu suka ama si Adriannya ya?” sergah Vivi kepadaku.
“Hehe. Dulu emang iya. Dan sekarang juga masih kayaknya. Dan kau tahu? Dulu dia juga sama aku. Bahkan hamper nembak aku. Tapi kalian tahu sendiri kan? apa prinsipku waktu dulu? No Boy Is Not worry.”
“Jadi lo nolak dia?” tanya Tera penasaran.
“Bukan nolak. Tapi, sebelum dia nembak aku, aku ngejauhin dia. karena aku udah denger dari teman-temanku kalau si Adrian mau nembak aku. So, aku langsung ngejauhin dia.”
“Lalu? Gimana hubungan  kamu setelah itu?” si Risa juga penasaran.
“Dia pindah ke Medan ikut Papanya. Udah ah, kalian ini.” Ujarku merasa tak nyaman dengan beribu pertanyaan mereka.
“Kita makan disini aja ya?” tawar Adrian pada sebuah restoran yang cukup besar. Kami semua setuju.
“Eh kita nggak bisa satu meja nih. Lagian satu meja hanya ada tiga kursi.” Ujar Risa tiba-tiba.
“Kita minta tempat yang lain aja. Biar bareng,” usul Adrian menanggapi ucapan Risa.
“Nggak usah. Kita dibagi tiga aja. Kamu sama Gita aja. Nah si Seno ama kita. Ya kan Sen?” ujar Neta mendesak Seno. Wah wah wah, kayaknya mereka merencanakan sesuatu nih.
“Nah ide bagus itu. Sana kalian,” si Seno mendorong Adrian. Dan aku juga di dorong oleh si Vivi. Kayaknya mereka semua kompakan deh. Sebel banget deh.
Dan akhirnya aku dan Adrian pisah dengan mereka. Dan nyebelinnya lagi, mereka malah pesen ama waitersnya supaya kursi di meja mereka ditambah sehingga mereka bisa duduk bareng. Mereka emang nggak kreatif. Masak mau ngerjain blak-blakan gitu. Parah!
“Mereka itu kompakan ato gimana sih?” tanya Adrian bingung saat kami sudah duduk.
“Tauk tuh. Nyebelin banget.” Jawabku kesal.
“Tapi asyik juga. Nggak denger si Seno ngoceh lagi,” ujar Adrian dan membuatku ketawa.
“Iya. Tuh anak dari dulu kok nggak berubah ya? Masih aja cerewet.”
“Iya. Setengah-setengah tuh anak.” Kami berdua tertawa. Dan setelah itu, hening. Sampai waiters menghampiri kami dan menawarkan kami menu yang ada. Dan tak terduga, si Adrian masih inget menu kesukaanku. Apa benar ya dia masih suka ama aku? Ah aku jadi nyesel nih. Kenapa aku dulu nggak nerima dia aja. Tapi kalau dulu aku nerima dia itu artinya kami ngejalani long distance relationship dong? Huh, nggak enak.
“Gimana dulu disekolah setelah aku pindah Ta?” tanya Adrian memecah keheningan.
“Biasa aja.” Jawabku singkat. Bingung mau jawab apa. Dan kami kembali hening. Jujur, aku nggak nyaman dengan suasana kayak gini.
“Kamu sendiri gimana disana? Enak?” tanyaku saking nggak nyamannya.
“Nggak enak. Nggak ada Seno yang cerewet,” jawabnya dan aku tersenyum. Dan lagi-lagi kami kembali hening. Sampi acara makan-makan ini selesaipun kami hening. Sampai pulangpun masih hening.
**
Saat aku pulang aku menceritaka ke Kak Andri kalau aku tadi ketemu dengan Adrian. Dulu Adrian dan kakakku itu emang deket. Bahkan deketnya melebihi denganku yang notabennya adiknya sendiri. Dan Kak Andri ingin bertemu dengan Adrian.
“Dsar Gita gx wras. Msa si Adrian yg cakepnya gx ketulungan itu dlu dtlak. Aneh lo!” tiba-tiba Vivi, Neta, Tera, dan Risa sms pada saat yang sama dan dengan sms yang sama pula. Kompak banget emang tuh anak. Males bales kalau kayak gini.
Ponselku bergetar lagi. Ada sms masuk lagi. Dan sekarang dari…. Hah? Adrian! Yippy!
“Hay….:-) (by: Adrian),” hanya itu sih smsnya. Tapi secepat kilat aku bales. Nggak mau kehilangan kesempatan emas, perunggu, dan perak ini.
Dan setelah aku jadi smsan dengannya. Bahkan sampai jam satu malem. Hehe, rasanya nggak ngantuk kalau udah gini.
**
Setelah aku bertemu dengan Adrian di Toko buku itu, aku jadi tambah deket dengannya. Bahkan sampai hari ini. Satu minggu setelah hari itu. aku masih dekat dengannya. Bahkan lebih dekat. Dia sangat rajin mengirimi aku sms setiap malam. Kadang juga meneleponku. Dan saat aku menceritakan ini pada teman-temanku mereka hanya menjawab. “Jangan sia-siakan kesempatan yang kedua ini.” Dengan kompak.
Dan hari Sabtu ini. Atau tepatnya nanti malam. Adrian mengajakku jalan. Im happy. Very happy. Aku sangat antusias dengan ajakan Adrian itu. Begitupun dengan teman-temanku. Bahkan mereka berinisiatif untuk datang ke rumahku mala mini. Katanya sih ingin mendandaniku agar tampil beda. Namun, dengan tegas aku bilang “Tidak!”
Dan sekarang waktunya untuk berangkat. Ups, no! bukan berangkat. Tapi nunggu kedatangan Adrian dulu. Karena katanya dia mau menjemputku.
“Ta…. Ada Adrian….” Teriak Kak Andri dari bawah. Aku bergegas turun ke bawah. Wah, mendadak jantungku jadi dag-dig-dug-der!
“Hay,” sapaku pada Adria setelah sampai di ruang tamu. Dan yang komentar malah Kak Andri.
“Wah…. Adik kakak kok ternyata cantik ya.” ujarnya mengomentari dandananku.
“Yeeee baru sadar!” jawabku cuek.
“Ya udah. Sana kalian berangkat aja. Keburu ujan.” Saran kak Andri.
Kamipun langsung berangkat. Aku langsung membonceng motor Adrian.
“Kak….” Ujar Adrian sambil mengacungkan tangannya.
“Sukses ya Dri…. Pulang jangan malem-malem.”
**
Lima belas menit kemudian kami sampai di sebuah kafe. Inget, bukan kafe yang ada si dekat rumahnya Vivi. Trauma aku ke kafe itu.
Kami duduk di meja yang telah dipesan Adrian. Dan langsung memesan makanan.
“Ta…. Aku mau jujur sama kamu,” ujarnya disela-sela kami makan.
“Apa?” tanyaku bingung.
“Sejak dulu aku itu suka sama kamu,” jawabnya dan membuatku kaget setengah mampus. Ih, si Adrian to the point banget sih. Nggak ada basa-basinya. Tapi nggak apa-apa deh. Kalau pake basa-basi kelamaan. Namun aku hanya diam.
“Dan sekarangpun. Aku tidak suka dengan kamu.” aku bak kesamber petir di malam-malam. “Karena sekarang aku sayang ama kamu Ta. Saat dulu aku pindah ke Medan. Aku benar-benar marah sama Papaku. Satu hari aku ngambek dan nggak mau berangkat sekolah karena aku memang tidak setuju pindah ke sana. Itu karena aku nggak mau pisah sama kamu. Dulupun, jika kamu mau pacaran denganku bukannya menjauhiku aku tidak akan mau pindah kesana.” Aku benar-benar kaget mendengar pernyataan Adrian itu. ternyata dulu dia tahu aku menjauhinya. Ah, jadi tambah nyesel deh.
“Dan sekarang. Aku sangat senang bisa bertemu denganmu lagi. Aku memang mendesak Papa untuk mengizinkanku pindah kesini lagi. Dan akhirnya Papa mengizinkanku setelah melalui mogok makan selama tiga hari. Namun, aku sebel dengan Seno. Berani-beraninya dia nipu aku kalau dia itu satu sekolah denganmu.” Ujarnya lalu tersenyum.
Aku tidak menyangka, ternyata perjuangan Adrian untuk dapat bertemu denganku begitu susah. Aku jadi tambah merasa bersalah. Aku memang bodoh. Kenapa dulu saat aku tahu dia ingin nembak aku dan aku juga suka dengannya aku malah ngejauhi dia. urgh! Daasar Gita bodoh!
“Dan aku juga merasa bersalah padamu Ta. Kenapa dulu aku cepat menyerah untuk mendapatkan kamu. Dan jadinya, saat sabtu kemarin kamu nangis karena cowok playboy brengsek itu. Jika aku bertemu dengan cowok brengsek itu aku tidak segan-segan untuk memberinya pelajaran. Begitupun dengan cowok-cowok brengsek lainnya yang sempat membuat kamu malu dan sakit dan Your Hunting A Boyfriend Mission itu.” jelasnya panjang lebar. Loh? Kok dia tahu sih?
“Nggak usah bingung kenapa aku bisa tahu. Selama aku disini, aku berusaha mencari tahu tentang kamu. semua kebiasaan dan keseharian kamupun aku tahu.” Ujarnya menjelaskan. Aku hanya tersenyum. Semanis mungkin.
“Jadi, apakah kamu mau jadi pacar aku?”
“Aku minta maaf ya Dri. Dulu aku juga suka denganmu. Aku ngejauhin kamu karena dulu aku belum siap pacaran. Dan aku nggak mau bikin kamu tambah sakit saat aku menolakmu. Dan plis, jangan ingatkan aku pada misi itu lagi. Dan…. Aku mau jadi pacar kamu. Sangat mau,” senyumku mengembang sangat manis kayaknya. Untung nggak ada semut disini, hehe. Senyum Adrianpun mengembang. Dan tambah menyetrum hatimu. Wah gosong nih, hehe.
“Guys, aq udh dpt pcar. Dan aq yqn ia akn jd pcr smpai mntan pcr dlm hdupq. Seumur hdupq. Dan aku nytain, Hunting A Boyfriend Mission Is Over! #Tok tok tok (ketok palu),” aku kirim ke Vivi, Tera, Neta, dan Risa.

Komentar

Postingan Populer