I Love You Because Of Allah


Oleh: Nisa’ Maulan Shofa


Semakin terpuruk karena ketampanan. Semakin terpuruk karena kemewahan. Dan semakin terpuruk karena ketenaran. Hal itulah yang pasti kau rasakan. Sekarang, banyak yang memujamu. Banyak yang mengejarmu. Dan banyak pula yang membuatmu sakit dan kecewa. Aku yakin itu.
Aku tahu hal itu. Aku tahu semua tentang kamu. Karena aku juga termasuk salah satu yang memujamu. Yah, aku suka kepadamu. Memang kamu tidak tahu itu. Tapi rasa ini sudah ada dari dulu. Semenjak kamu belum seperti sekarang. Yah, dari dulu.
“Seharusnya kamu mengatakan hal ini kepada Rizal.” Saran Rika kepadaku. Dan saran itu selalu terlontar dari mulutnya.
“Waktunya belum tepat. Lagi pula aku nggak berani mengatakannya,” ujarku terhadap sarannya itu.
“Tapi hanya kamu yang mencintainya dengan setulus hati seperti itu. Tidak seperti yang lain. Yang mengharapkan imbalan dan bukan cinta. Melainkan hanya obsesi,” ujar Rika lagi.
Memang benar. Sepertinya setiap cewek yang mendekati kamu itu hanya obsesi belaka. Walaupun mereka sering mengatakan bahwa mereka itu cinta kepadamu dengan sejuta kalimat rayuan mereka agar kamu terpikat. Dan jikalau mereka tidak terobsesi mereka hanya menginginkan uangmu saja juga ketenaranmu sebagai cowok terkeren dan terkaya di kampus ini.
Dan seperti kata Rika tadi. Sepertinya hanya aku yang mencintaimu dengan tulus. Yang tidak mengharapkan apa-apa selain kebahagianmu. Karena aku hanya cewek biasa yang mencintai cowok luar biasa. Aku cukup sadar dengan hal ini.
Sudah berpuluh juta rupiah yang mungkin habis karena kamu tertipu akan paras seorang cewek yang mendekatimu akhir-akhir ini. Dan kau juga sudah kehilangan mobil kesayanganmu karena tertipu oleh teman akrabmu. Aku kasihan melihat ini semua. Dengan segala yang menimpamu akhir-akhir ini. Setelah ayahmu berhasil dengan usahanya dan akhirnya keluargamu menjadi seorang milyarder karena hal itu.
Aku lebih suka keadaan yang dulu. Ketika derajat kita sama. Ketika ayahmu belum sesukses sekarang. Bukan. Bukan karena aku tidak senang melihatmu bahagia dengan keadaan keluargamu sekarang. Bukan juga karena kamu berubah sikap kepadaku karena keadaan keluargamu sekarang. Karena aku ikut bahagia dengan keadaan keluargamu itu. Dan sikapmu kepadaku juga tidak berubah. Sama seperti dulu. Rasa di hatiku untukmu juga masih sama seperti dulu. Bahkan lebih dalam. Walaupun cukup sadar bahwa aku ini siapa dan kamu sekarang siapa.
Sekarang aku sedang memandangimu. Walaupun hanya memandangi punggungmu. Karena kau menghadap ke timur, sama sepertiku, dan itu artinya aku hanya bisa memandangi punggungmu.
“Dengar apa yang aku katakan Sya?” pertanyaan Rika dengan lambaian tangannya membuyarkan lamunanku.
“Ya, aku dengar,” jawabku pendek.
“Terus kapan kamu mengatakannya? Kamu mau memandangi punggungnya itu sampai berapa lama lagi? Sampai dia menoleh ke arahmu?” tanya Rika lagi, dan membuatku bingung.
“Ya Mungkin,” ujarku pendek. Dan, Rizal menoleh ke arahku. Dia tersenyum ke arahku. Akupun membalas senyumannya. Namun, Ya Allah apa ini pertanda dari-Mu? Apa aku harus mengatakan bagaimana perasaanku kepadanya? Tapi apa iya harus sekarang?
“Lihat. Dia sudah menoleh ke arahmu. Ini sudah termasuk rencana dari Allah. Kamu harus mengatakan perasaanmu ke Rizal. Dan waktu itu adalah sekarang.” Ujar Rika. Sama seperti hatiku. Dan tidak dengan pikiranku. Aku nggak bisa.
“Nggak bisa.” Ujarku akhirnya.
“Kenapa nggak bisa? Kamu sudah bilang tadi,”
“Aku dan dia sekarang berbeda. Kami sudah berbeda sekarang. Tidak seperti dulu. Aku memang mencintainya. Cintaku memang tulus. Tidak mengharap apa-apa. Kecuali kebahagiannya. Dan cintaku ini karena Allah. Tapi aku dan dia berbeda sekarang. Apa dia juga suka padaku? Rasanya tidak mungkin jika aku dengannya. Dan lagipula aku tidak punya keberanian untuk mengatakan itu.” jelasku panjang.
“Hanya untuk memberitahunya bahwa kamu itu suka padanya. Bukan untuk bersamanya.” Desak Rika.
“Tetap tidak bisa.” Aku masih kokoh dengan keputusanku.
“Kenapa tidak bisa? Siapa tahu dia juga mencintaimu,” ujar seseorang tiba-tiba. Aku menoleh ke belakang. Hah? Ternyata dari tadi Rika itu bersama,,,, loh? Rizal? Bagaimana dia bisa bersama Rika? Dia kan tadi ada di…. Aku menengok ke tempat tadi Rizal berdiri. Dan tidak ada. Berarti, sejak kapan dia bersama Rika? Apa tadi dia mendengar ucapanku? Ya Allah, betapa bodohnya aku.
“Maaf Sya. Aku harus melakukan ini. Aku tidak bisa melihatmu terus-terusan memandangi Rizal dari jauh. Padahal kamu dan Rizal itu sudah saling mengenal sejak kecil. Dan aku kira, hanya kamu yang pantas untuk dia. Aku pergi dulu. Masih ada kelas.” ujar Rika lalu pergi.
Aku hanya diam. Tidak tahu harus berbicara apa. Dan Rizal tiba-tiba duduk di sampingku. Aku semakin bingung. Bingung harus melakukan apa. Dan yang bisa ku lakukan hanya meremas kerudung saja. Ini sudah menjadi kebiasaan jika aku sedang bingung.
“Sejak kapan cinta?” tanya Rizal tiba-tiba.
“Sejak kapan kamu di belakangku bersama Rika?” tanyaku balik.
“Sejak aku melihat ke arahmu namun kamu tidak melihat ke arahku. Aku hanya melihat punggungmu.” Jawabnya dan aku merasa tersindir dengan jawabannya itu.
“Kenapa kamu masih disini? Bukannya saat ini kamu ada kelas?” tanyaku untuk mengalihkan perasaan bingungku.
“Dari mana kamu tahu?” tanyanya bingung. Aku hanya diam. Aduh, kenapa aku bisa keceplosan. “Kamu juga masih ada kelas kan sekarang?” tanyanya lagi.
“Bagaimana bisa kamu tahu itu?” tanyaku bingung. Kok tahu?
“Karena aku selalu memperhatikanmu diam-diam. Kau tahu kenapa aku selalu dekat dengan cewek-cewek matre itu? Karena sebenarnya aku ingin membuatmu cemburu. Namun, nihil. Kau tidak pernah terlihat seperti yang aku harapkan. Aku ingin kau selalu perhatian kepadaku, tapi tidak pernah. Bahkan disaat banyak gossip tersebar bahwa aku itu telah ditipu oleh pacar dan teman baikkupun kau tidak ada untuk menyemangatiku. Padahal aku sudah merencanakan hal itu lama sekali, namun ternyata itu tidak berhasil. Betapa bodohnya aku. Kenapa aku tidak tahu bahwa cewek yang aku sukai ini bukan cewek bertipe seperti itu. Kenapa aku bisa bodoh seperti ini.” Ujar Rizal panjang lebar.
“Apa maksudmu?” aku tambah bingung.
“Inilah jawabannya. Jawaban atas dua pertanyaan. Kau tidak respect terhadap situasi. Dan aku juga mencintaimu.” Ujarnya dan membuatku kaget.
“Kenapa kamu mencintaiku? Aku berbeda denganmu sekarang,” ujarku tidak mau berharap terlalu tinggi. Siapa tahu ini semua bohong.
“I Love You Because Of Allah.”jawabnya singkat. Aku hanya tersenyum ke arahnya.
“Baik. Aku masih ada kelas sekarang. Dan jika Allah mengizinkan, kita akan bertemu lagi di tempat ini setelah kelasmu usai. Assalamu’alaikum.” Ujarku sambil tetap tersenyum lalu melangkah pergi meninggalkan Rizal.
“Wa’alaikumussalam. Allah pasti mengizinkan. Aku akan menunggumu disini Sya,” teriak Rizal dan terdengar jelas di telingaku. Aku masih tersenyum. Ini semua karena Allah.

Komentar

Postingan Populer