Pacar Untuk Dita


Oleh: Nisa’ Maulan Shofa


N
amanya Dita. Dia adalah sahabat baruku. Dia baru pindah dari Bandung. Alasan kepindahannya sangat sepele. Hanya karena dia diselingkuhin oleh cowoknya. Lalu dia pindah kesini dan tinggal bersama neneknya.
Duduk satu meja dengannya membuatku semakin akrab dengannya. Dia sangat ramah, pintar, lugu, dan supel.
Dia banyak cerita tentang masalahnya ke aku. Tentang keluarganya, juga tentang masalah cintanya itu.
Dia orangnya sangat terbuka. Tidak jaim seperti yang lain. Namun, dia tidak bangga dengan tubuh langsingnya itu. Karena dia tidak menganggap tubuhnya itu langsing, melainkan kurus.
Satu fakta tentangnya yang membuatku terkejut dan tak percaya mendengarnya. Dia menderita kanker otak stadium tiga. Penyakit itulah yang membuat tubuhnya kurus.
**
S
ejak tiga minggu yang lalu. Tepatnya setelah satu minggu dia disini, topik obrolannya tidak jauh dari kata Kak Eza.
Yes, exactly. Dia sekarang sedang naksir Kak Eza. Orangnya cakep, badannya proporsional, kulitnya hitam tapi manis, senyumnya menawan, keren abis, dan itu semua menurut Dita.
Kak Eza adalah kakak kelas kami. Dia satu kelas dengan Kak Radit, kakakku. Menurut Kak Radit, Kak eza itu playboy, suka mempermainkan cewek. Tiap hang out dengan Kak Radit aja selalu gonta-ganti cewek. Sukanya telat di sekolah, tiap ulangan ikut remidial terus lagi. Aku jadi bingung, kenapa si Dita suka dengan Kak Eza? Jangan-jangan Kak Eza masang pellet lagi.
Aku sudah sering bilang ke Dita soal ketidak sukaanku terhadap Kak Eza. Aku juga sering mengeluh dengan kebiasaan baru Dita yang sering membicarakan Kak Eza setiap ngobrol denganku. Aku bilang gitu bukan tanpa alasan ya. Itu semua karena cerita Kak Radit tentang Kak Eza.
Namun, setelah aku bicara itu ke Dita, dia malah marah-marah nggak jelas ke aku. Dia mengira aku suka dengan Kak Eza dan nggak mau Dita dekat dengan Kak Eza karena aku merasa tersaingi oleh Dita. Idih, fitnah banget itu.
Urgh! Pening kepalaku kalau bicara tentang itu. Sejak aku cerita itu ke Dita, dia malah jauhin aku. Bahkan sekarang, dia tidak duduk satu meja lagi denganku.
**
Dor!!!! Kenapa neng? Cemberut aja sih?” tiba-tiba Arlan mengagetkanku.
Sore ini aku memang sengaja mengajak Arlan ketemuan di taman dekat rumahku. Sudah seminggu aku nggak ketemu dia. Komunikasi hanya lewat sms dan telepon doang. Maklum, beda sekolah. Rasanya kangen. Maka dari itu aku ngajak ketemuan, Sekalian mau bicara tentang Dita. Siapa tahu dia punya solusi dan bisa bantu aku.
“Nyebelin  banget sih lo! Gue hajar baru tahu rasa lo!” ujarku emosi. Aku paling nggak suka kalau di kagetin gitu.
“Idih, ama pacar sendiri gitu? Udah bosen?” Arlan duduk di sampingku.
“Bukan gitu, lagian kamunya sih. Udah tahu aku nggak  suka dikagetin gitu, tapi tetep aja kamu nglakuin itu.” Aku cemberut.
“Kamu kenapa? Ada masalah?” Arlan merangkulku.
“Semua manusia pasti punya masalah kali Lan,” aku melepas rangkulan Arlan.
“Jangan gitu dong Lin. Emang masalah apa sih?” Arlan merangkul pundakku lagi. Kali ini aku hanya diam. Males jawab. Males berontak.
“Oh aku tahu. Masalah Dita lagi ya?” tebak Arlan. Aku memang udah sering ngebicarain tentang masalahku dengan Dita ke Arlan lewat sms dan telepon. Sehingga dia tahu masalah yang aku alami saat ini.
“Udah tahu nanya,” ujarku kesal.
“Ketus terus dari tadi,” Arlan melepas rangkulan tangannya dari pundakku.
“Makanya kalau aku bilang aku nggak suka ini, kamu jangan nglakuin hal itu ke aku. Jangan nyebelin!”
“Ya Allah Lin, kamu jangan egois gitu dong. Aku Cuma mau….” Arlan menggantungkan kalimatnya. Kebiasaan. Bikin penasaran aja.
“Udahlah. Kamu itu dari dulu gitu ya. Gak berubah! Sifat egoismu itu harus dihilangin tahu nggak!”
Loh? Kok jadi Arlan yang marahin aku? Nggak bisa! Lagian, dia yang bikin aku kesal kenapa aku yang dimarahin. Nggak adil banget dong.
“Yang egois itu siapa sih Lan? Kamu tuh yang dari dulu nyebelin! Kamu nggak ikhlas jadi pacarku?” emosiku memuncak.
“Astaghfirullah Arlin. Cuma karena tadi aku ngagetin kamu doang kamu jadi marah kayak gini? Sekarang kamu mau minta apa? Mau minta putus?”
“Kalau itu memang yang terbaik okeh!” aku masih dengan pendirianku.
“Lin, dengar. Sebenarnya kamu itu kenapa? Lagi nggak mau diganggu? Oke, aku akan pergi. Aku nggak rela kalau hubungan kita berakhir karena masalah nggak jelas kayak gini.” Arlan melangkah pergi.
“Arlan! Sekarang kamu gitu ya? Ku kira kamu mau bantu aku!” teriakku ke Arlan yang sudah lumayan jauh. Sudah kuduga, dia pasti balik lagi.
“Aku tadinya emang mau bantu kamu. Tapi, kamunya aja yang gitu. Disamperin malah bilang nggak jelas gitu! Aku salah apa coba!?” gertak Arlan padaku. Nah loh?
“Arlan? Yang sebenarnya nanya itu aku. Aku salah apa ke kamu? Kenapa kamu bentak aku gitu?” aku pura-pur sedih. Mataku berkaca-kaca.
“Lin, maaf. Aku nggak bermaksud bentak kamu. Sekarang, jelasin ke aku. Kamu ada masalah apa sebenarnya. Tentang Dita lagi?” ujar Arlan lembut padaku lalu duduk di sampingku.
“Baru lembut ya kalau aku udah nangis?” aku memulai lagi.
“Jadi? Tadi Cuma pura-pura sedih?” Arlan mengacak-acak rambutku.
“Kamunya sih, marah-marah mulu.” Ujarku dengan nada manja.
“Maaf Lin. Jadi? Kamu ada masalah apa?” ujarnya mengalah.
Ini nih, yang aku suka dari Arlan. Dia bisa memahami aku yang mempunyai sifat agak childish. Nggak mau ngalah.
“Si Dita ngejauhin aku Lan. Dia mengira aku suka ama Kak Eza, gebetannya itu,”
“Tapi kamu nggak suka beneran kan?” tuduh Arlan padaku.
“Loh? Arlan!” bentakku sebal.
“Nggak bercanda Lin. Emang kenapa kok dia bisa nuduh kamu gitu?”
“Aku udah cerita ke kamu kan kalau aku ini bosen saat Dita cerita tentang Kak Eza terus? Setiap saat. Setiap waktu. Bahasnya tentang Kak Eza terus. Bosen!”
“Aduh, susah kalau gitu. Nah kamu udah bilang kalau Kak Eza itu nggak baik belum?”
“Seribu kali,”
“Dia nggak percaya?”
“Nggaklah. Kalau percaya pasti nggak akan seperti ini kali Lan. Gimana sih?”
“Emosi lagi? Capek aku Lin. Kamu biarin aja deh si Dita gitu. Pasti ntar dia nyadar sendiri kalau Kak Eza itu nggak baik. Kalau emang dia sahabat sejati kamu, pasti dia nggak akan marah lagi ke kamu. Lagian kamu baru kenal dia satu bulan. Jadi kamu belum tahu dia luar dalam.”
“Kamu mau aku nggak punya teman ya? Jahat banget sih!”
“Tahu ah Lin. Kamu nuduh aku terus dari tadi. Kalau kamu siapa coba yang nyebelin?”
“Kamu!”
“Jadi? Aku harus gimana?”
“Nggak tahu! Aku nggak mau di cuekin ama Dita Lan.” Kali ini aku sedih beneran.
“Mungkin Dita sedang emosi Lin. Kamu juga akan marah kan kalau ada orang yang nyuruh kamu ngejauhin aku?”

“Nggak tuh!”
“Aduh, jadi bener mau putus nih?”
“Udah deh Lan, aku lagi bingung nih. Pening kepalaku,”
“Mau nggak biar nggak pening lagi kepalanya?”
“Apa?” tanyaku malas plus penasaran.
“Aku peluk. Sini,” Arlan merentangkan kedua tangannya,”
“Idih, jayus banget sih,”
“Tapi mau kan?” Arlan menggodaku. Aku hanya tersenyum, lalu mengahmbur kepelukannya.
“Arlin sayang, jangan egois kayak tadi lagi ya,” bisik Arlan di telingaku. Aku hendak melawan. Tapi, Arlan mempererat pelukannya.
**
S
iang ini. Tepat pulang sekolah. Aku memberanikan diri untuk memperbaiki hubunganku dengan Dita. Aku menghampirinya yang sedang menunggu jemputan di depan gerbang.
“Dit, kamu kenapa sih?” ujarku kikuk.
“Emang kenapa?” ujarnya cuek padaku.
“Kamu jauhin aku ya?”
“Nggak tuh. Perasaan kamu aja kali,” jawabnya masih cuek.
“Aku punya salah ya Dit ke kamu? Maaf ya?”
“Kamu nggak punya salah Lin ke aku. Aku nggak suka aja kalau kamu nyuruh aku ngejauhin Kak Eza. Emang apa salah Kak Eza? Dia baik kok,”
“Kamu udah deket ya ama dia?”
“Belum sih, Cuma aku tahu itu dari si Upi. Dia kan mantannya Kak Eza.” Jelasnya ke aku. Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba jemputannya udah dating.
“Udah ya Lin,” ujar Dita dan langsung berlari menjauh.
Tepat setelah Dita pergi Arlan datang dengan motornya untuk menjemputku. Hari ini aku memang menyuruh Arlan untuk menjemputku, karena Kak Radit sedang ada jam pelajaran tambahan.
“Kenapa cemberut lagi? Bosen deh lihatnya.” Ujar Arlan kesal.
Baru aku mau jawab pertanyaan Arlan, ponselku bordering pendek tanda ada sms masuk. Aku langsung merogoh saku bajuku untuk mengambil HPku. Oh, sms dari Dita.
“Lin, xl km msh nyruh aq ngejauhin Kak Eza, aq ttp gx mw! Mnding prshbtan qt ptus drpd km trus nyruh aq ngjauhin Kak Eza. Jd, tlg ubh pkrnmu ttg Kak Eza. Jgn km brpkir xl Kak Eza itu tdk baik. Itupun xl km msh menganggpq sbg shbat km!” bunyi sms Dita membuatku tercenung.
“Kenapa Lin?” Tanya Arlan khawatir. Aku memperlihatkan sms Dita ke Arlan. Aku tidak sanggup jelasinnya langsung.
“Ya Allah, sampai segininya Dita? Aku punya rencana supaya Dita sadar akan perbuatannya ini,” ujar Arlan setelah membaca sms dari Dita dan mengembalikan HPku.
“Gimana?” ujarku penasaran sambil memandangnya. Arlan hanya tersenyum misterius. Semoga rencananya berhasil. Walaupun aku tidak tahu apa rencanya itu.
**
S
ekarang adalah jam istirahat. Semua anak keluar untuk pergi ke kantin atau sekedar baca buku di perpustakaan. Tapi, aku hanya di kelas. Aku hendak bicara ke Dita tentang Kak Eza. Karena sekarang dia juga tidak keluar. Aku menghampiri Dita yang sedang membaca buku di bangkunya.
“Dit,” ujarku hati-hati.
“Kenapa?” tanyanya ketus.
“Aku mau ngasih saran ke kamu,”
“Saran apa? Kamu mau nyuruh aku ngejauhin Kak Eza lagi? Iya?” tanyanya curiga.
“Nggak Dit. Aku mau nyaranin kamu supaya kamu deket ama Kak Eza,”
“Oh ya? Gimana caranya?” tanyanya antusias.
“Kak Eza kan sering ke rumahku. Jadi, kamu main aja ke rumahku saat Kak Eza sedang di rumahku. Ntar aku kenalin kamu ke dia.”
“Ide bagus itu Lin. Kapan?”
“Ntar aku sms kamu aja ya kalau Kak Eza sedang di rumahku,”
“Oke deh. Makasih ya Lin,” si Dita tersenyum lebar.
Rencana pertamaku dan Arlan berhasil. Maaf ya Dit, ini semua demi kamu. Aku nggak mau kamu terjebak terus dengan tampang Kak Eza itu. Walaupun nanti kamu sakit, tapi itu supaya kamu nggak terjerat dengan Kak Eza nantinya.
**
A
ku langsung mengambil HP lalu mengetikkan beberapa kata dan langsung ku kirim ke nomor Dita. Seperti janjiku, aku akan mempertemukannya dengan Kak Eza.
Dita nggak bales smsku. Nggak tahu kenapa. Tanpa pikir panjang aku langsung meneleponnya untuk memastikan dia datang atau nggak.
“Halo?” ujarku setelah teleponku diangkat seseorang dari seberang sana.
“Halo Lin? Lin, kamu tahan Kak Eza ya. Aku akan ke rumahmu sebentar lagi.” Ujar Dita dan langsung menutup teleponku. Aku hanya termenung kebingungan.
Sepuluh menit, dua puluh menit, tiga puluh menit, hingga jam sebelas, hingga Kak Eza sudah pulang dari rumahku Dita belum datang juga. Kenapa dia? Biar deh, aku tanya dia besok. Soalnya pulsaku udah habis tadi.
**
A
ku buru-buru ke kelas. Aku ingin cepat-cepat ketemu dengan Dita. Kenapa dia semalam nggak jadi ke rumahku.
“Dit, kenapa semalam nggak datang?” tanyaku sambil ngos-ngosan.
“Aku nggak boleh keluar Lin ama Omaku. Sorry ya. Kak Eza nggak marah kan?” ujar Dita sambil cemberut.
“Oh nggak kok. Oh iya, aku sudah bilang ke Kak Radit semalam, katanya kamu bisa kok bertemu Kak Eza nanti di kelasnya nanti pas istirahat. Mau nggak?”
“Mau dong,”ujar Dita sambil tersenyum lebar.
**
“D
it, yuk ke perpus,” ajakku ke Dita pas istirahat.
“Katanya mau ke kelas Kak Eza, gimana sih?”
“Kak Eza sedang di perpus bareng Kak Radit,” jelasku.
“Oh ya udah yuk,” Dita menarik tanganku. Aku menurut saja. Semoga rencanaku dan Arlan ini berhasil lagi.
Sesampainya di perpustakaan, kami melihat Kak Eza dan Kak Radit sedang membaca disana. Namun  jangan salah, mereka tidak berdua saja. Melainkan bertiga, dengan pacar Kak Eza.
“Loh kok sama cewek? Siapa Lin?” Dita tampak bingung.
“Nggak tahu Dit, mending samperin aja yuk,” ujarku bohong dan menggandeng tangan Dita untuk menghampiri mereka.
“Kak, aku pinjem kamusnya dong,”ujarku bohong lagi.
“Eh Arlin, apa kabar kamu?” ujar Kak Eza basa-basi. Alah, eneg aku dengarnya. Setiap ke rumahku tanyanya gitu. Sekarangpun tanya gitu? Nggak kreatif!
“Siapa sih Za?” Tanya pacar Kak Eza.
“Ehm, ini. Adiknya Radit.” Jelas Kak Eza.
“O….” pacar Kak Eza mantuk-mantuk.
“Ini teman kamu ya Lin?” Tanya Kak Eza.
“Iya Kak. Kenalin ini Dita,” ujarku memperkenalkan Dita. Mereka berjabat tangan dan saling memperkenalkan diri. Dan Kak Eza mengedipkan matanya ke Dita? Idih, bener-bener playboy nih orang. Ceweknnya di sampingnya aja masih gitu. Dasar! Tapi, biar deh. Yang penting rencanaku dan Arlan berhasil. Selanjutnya apa ya?
**
S
ore ini aku ngajak ketemuan Arlan di sebuah café untuk membicarakan rencana Arlan selanjutnya untuk menyadarkan Dita. Namun, lima belas menit sudah aku nungguin dia disini. Dan dia nggak datang-datang. Nyebelin! Kemana sih?
“Lin, maaf ya aku telat,” ujar Arlan setelah berhasil membuatku menunggunya selama lima belas menit. Lalu ia duduk disampingku.
“Aku udah tahu kamu telat. Nggak usah bilang lagi,”ujarku ketus.
“Marah lagi? Maunya gimana sih?” Arlan terlihat kesal.
“Makanya kalau nggak bisa tepat waktu bilang dari awal. Biar aku nggak nunggu lama gini,” aku sewot.
“Iya, iya, aku salah. Maaf dong,”
“Maaf mulu. Bosen tahu!” aku masih sewot.
“Tadi telat soalnya aku nyari sesuatu dulu buat cewek nyebelin. Nih,” Arlan memberikanku boneka kecil berwarna pink dan setangkai mawar putih. Aku tersenyum menerimanya.
“Bagus. Tapi apa tadi? Aku nyebelin?!” aku baru sadar dengan perkataan Arlan tadi.
“Emang kmu nyebelin kan?”
“Kamu yang nyebelin! Sukanya telat lagi!”aku jadi sewot lagi.
“Tapi kalau kamu nyebelin aku nggak akan mau jadi pacar kamu,” si Arlan tersenyum.
“Jadi sebenarnya kamu nggak mau jadi pacar aku?” tanyaku curiga.
“Ya Allah Lin. Setiap ketemu pasti berantem gini. Kamu maunya apa sih?” ujar Arlan akhirnya.
“Kamunya sih nyebelin!” aku masih nggak mau kalah.
“Ya udah, gini aja.  Kamu nyuruh aku kesini buat bahas rencana selanjutnya kan? Aku udah punya ide,”
“Bener?” aku melunak.
“Iya. Aku jamin, ini pasti langsung bisa membuat Dita sadar,”
“Gimana?” tanyaku antusias.
“Kamu bacain aja ayat kursi. Pasti langsung sadar.”
“Kamu kira Dita kesurupan?” aku melotot.
“Nggak, bercanda. Jangan marah lagi ah. Bosen aku. Sini aku bisikin aja,”
**
K
eesokan harinya, aku langsung menjalankan rencanaku dan Arlan yang selanjutnya. Dan itu sukses berat. Kak Eza semakin mengejar-ngejar Dita.
Sudah dua minggu mereka dekat. Merekapun akhirnya resmi jadian. Kata Dita sih Kak Eza sudah memutuskan pacarnya. Tapi ternyata? Kata Kak Radit, Kak Eza masih berhubungan dengan pacarnya. Dasar playboy!
Beberapa hari berikutnya aku berhasil menjebak Kak Eza. Aku menyuruhnya bertemu dengan Dita dan sekaligus aku juga menyuruh pacarnya datang ke tempat itu. And, Bingo! I did it! Mereka bertiga datang kesana. Dan satu lagi. Pacar Kak Eza memutuskan Kak Eza di tempat itu juga. Begitupun Dita.
Akhirnya Ditapun menyadari bahwa yang ku katakana itu adalah benar. Urgh, senengnya!
Namun, beberapa hari setelah itu. Dita datang dengan masalah baru. Dita bilang, sekarang Kak Eza mengejar-ngejarnya. Kak Eza terus mencoba untuk mengambil hati Dita lagi dengan segala jurus gombalnya. Aduh, diluar rencana nih.
“Gimana nih Lin? Aku nggak mau dibohongin lagi.”ujarnya dengan nada memohon.
“Kamu bilang aja kalo kamu udah punya pacar,”usulku.
“Udah. Dan nggak percaya.”
“Loh?” aku bingung.
“Iya. Katanya nggak mungkin. Soalnya aku pernah bilang ke dia, kalop aku suka banget ke dia. Jadi dia nggak percaya kalo aku bisa mendapatkan penggantinya secepat ini. Jadi, tolong Lin. Cariin aku pacar!” rengek Dita.
“Ntar deh aku cariin,” ujarku akhirnya.
**
S
ore ini aku kembali mengajak Arlan ketemuan. Bukan di café atau di taman lagi. Hanya di rumahku. Dia datang tepat waktu. Mungkin supaya aku nggak marah lagi kali ya, hehe.”
“Ada apa Lin?” ujarnya lalu duduk di sampingku.
“Dita minta dicariin pacar,” ujarku to the point.
“Buat apa?” Arlan terlihat bingung.
“Supaya Kak Eza nggak ngejar-ngejar dia lagi.”
“Loh? Kak Eza itu kok nggak tahu diri banget ya kayaknya. Kapan carinya?”
“Secepatnya,”
“Siapa ya?” Arlan sok mikir.
“Kamu aja ya?” aku bercanda.
“Ide bagus tuh,”
“Arlan!”
“Bercanda. I just love you honey,”
“Gombal!”
“Kata siapa? Nggak kok!”
“Iya-iya percaya. Terus? Siapa yang mau jadi pacar bohongannya Dita?”
“Aku boleh? Hehe, nggak nggak, bercanda. Aku juga nggak mau. Coba deh kamu Tanya dia aja. Siapa tahu dia punya calonnya.”usul Arlan.
“Ide bagus,”
**

H
ari ini Dita nggak berangkat sekolah. Nggak ada keterangan. Kenapa dia? Semoga nggak kennapa-kenapa. Tapi, feeling aku nggak enak nih. Jangan-jangan ada apa-apa yang berhubungan dengan Kak Eza lagi. Ntar sore aku kerumahnya aja deh. Sekalian mau ngomong tentang pacar bohongannya itu.
**
J
am 15:15 WIB. Aku sedang mondar-mandir menunggu Arlan yang ngaret lagi. Nih orang emang kebiasaan atau apa sih? Nyebelin banget! Minta dimarahin dulu ternyata. Aku mengambil HPku di tas, dan langsung menelepon Arlan.
“Lin, maaf. Ntar tunggu sebentar lagi. Aku lagi di jalan nih,” ujar Arlan dari seberang sana dan langsung mematikan teleponku.
“Nih orang nyebelin atau gimana sih? Nggak ngasih aku kesmpatan untuk bicara lagi. Dasar!” gerutuku sendiri di teras rumah.
“Ada apa sih dek, marah-marah terus,” Kak radit menghampiriku.
“Arlan Kak. Bikin aku kesal terus,” aduku ke Kak Radit.
“Kenapa? Selingkuh?” tuduh Kak Radit.
Baru aku mau menjawab tuduhan Kak Radit, tiba-tiba Arlan datang.
“Aku udah tahu kamu telat. Nggak usah bilang lagi.” Semburku.
“Kakak nggak ikut-ikut ya. Lan, hati-hati ya, singa lagi marah nih,” ujar Kak Radit lalu kabur.
Semua orang itu nyebelin ya? Kakak sendiripun gitu. BT deh jadinya! Yang paling perhatian dan ngerti aku cuma mama-papa. Tapi…. Ah emang bener ya, kalau orang baik umurnya nggak panjang. Tuhan menjemput mereka dalam kecelakaan lalu lintas sepuluh tahun yang lalu.
“Tadi macet di jalan Lin, karena tadi ada kecelakaan,” jelas Arlan lalu menghampiriku.
“Iya deh, terserah kamu aja. Aku lagi males berantem ama kamu. Kalau kamu nggak mau nganter aku ya udah. Aku nggak maksa. Aku mau cari taksi aja,” aku menghindar darinya.
“Ya Allah Lin. Males berantem tapi ngambek gitu ya?” Arlan mengikutiku.
“Kan aku udah bilang, terserah kamu.” Aku tak menghiraukannya.
“Ya udah yuk naik,” aku mencegat langkahku.
Aku sebenarnya males. Tapi mau gimana lagi, sudah jam setengah empat. Ntar kesoren sampai di rumah Ditanya.
Dua puluh menit kemudian, kami sampai di rumah Dita. Rumahnya sangat luas, tapi sangat sepi. Aku dan Arlan memasuki halaman rumah Dita, karena tadi gerbangnya terbuka.
Aku mengetuk rumah Dita sambil mengucapkan salam. Beberapa saat kemudian seorang perempuan keluar.
“Maaf mencari siapa ya?”  Tanya perempuan itu.
“Ditanya ada mbak?” tanyaku pelan.
“Nemg Ditanya masuk rumah sakit mbak tadi pagi,” aku terkejut mendengarnya.
“Kalau boleh tahu di rumah sakit mana mbak?” Tanya Arlan kemudian.
“Saya nggak tahu mas. Katanya sih di rumah sakit terdekat. Mas cari aja,”
“Oh ya udah. Terima kasih ya Mbak. Kami permisi dulu. Maaf sudah mengganggu.” Ujar Arlan lalu pergi sambil menggandengku.
Aku hanya diam. Masih kaget dengan apa yang ku dengar. Kenapa Dita? Penyakitnya kambuh? Tapi kemarin kan nggak apa-apa.
“Sekarang mau cari rumah sakitnya atau pulang aja Lin?” Tanya arlan dengan nada khawatir.
“Kamu ini gimana sih? Aku kan mau ketemu Dita. Ya nggak mungkin pulang dong. Mau nganterin aku nggak sih sebenarnya?!” aku jadi sewot.
“Iya-iya maaf. Ya udah yuk kita cari aja. Udah jam 4 soalnya,” Arlan menggandengku menuju motornya.
Kami berkeliling mencari rumah sakit terdekat. Ternyata, disini rumah sakit jauh-jauh banget. Yang paling dekat aja jaraknya 10 km dari rumah Dita.
“Mungkin ini Lin. Yuk masuk aja,” Arlan menggandengku masuk ke dalam.
Kami bertanya kepada resepsionis. Ternyata benar, Dita tercacat sebagai pasien di rumah sakit ini. Dia berada di kamar mawar nomor 11. Kamipun langsung menuju ruang itu.
Ku lihat disana ada seorang nenek yang sedang menunggui Dita. Sepertinya neneknya Dita. Kan Dita tinggal bersama neneknya disini.
Aku dan Arlan langsung masuk ke ruang itu. Terlihat Dita terbaring lemas dengan beberapa selang di tubuhnya.
“Nek, Dita kenapa?” tanyaku lirih ke nenek itu.
“Ini pasti nak Arlin ya? Dita tidak apa-apa kok,” jawab nenek itu sembari tersenyum.
“Dita kemarin kan nggak apa-apa Nek,” ujarku khawatir.
Nenek tersebut beranjak dari duduknya, berjalan menuju sofa yang ada.
“Duduk nak,” perintah nenek. Aku dan Arlan menurutinya. Kami duduk disebelah nenek itu.
“Kalian sudah tahu kan kalau Dita menderita kanker otak? Penyakitnya tadi pagi kambuh saat dia menerima telepon dari temannya, kalau nggak salah namanya Eza.dia pingsan tiba-tiba. Sebenarnya akhir-akhir ini dia juga mengeluh pusing. Namun, dia tidak mau meminum obat. Apalagi ke rumah sakit.” Jelas nenek panjang.
“Loh? Emang kenapa Nek?” tanyaku bingung.
“”Katanya dia sudah tidak kuat lagi. Dia sudah pasrah dengan keadaanya,” nenek itu meneteskan air mata.
“Nek, maafin Arlin ya? Arlin nggak bisa jaga Dita. Padahal Dita sudah baik ke Arlin.”
“Tidak apa-apa nak. Lagian, hanya Allah yang bisa berkehendak. Kita hanya bisa berusaha,” ujar nenek bijak.
“Iya Nek,” ujarku lirih sambil menahan air mata.
“Sebaiknya kalian pulang. Ini sudah hamper maghrib. Tenang saja, Dita sudah banyak yang jagain. Sebentar lagi orang tuanya Dita juga datan dari Bandung.” Pinta Nenek dengan halus.
“Kalau Dita sudah sadar tolong kabarin Arlin ya Nek. Kami pulang dulu. Assalamu’alaikum,” aku mencium tangan Nenek lalu pergi.
Aku dan Arlan langsung bergegas pulang. Ya pastinya nganterinaku dulu. Walaupun sudah sore banget, tapi Arlan tidak langsung pulang. Kami duduk di teras rumahku.
“Aku bingung kenapa aku jatuh cinta ama kamu Lin,” ujar Arlan tiba-tiba.
“Apa?!” aku melotot.
“Mungkin aku terlanjur jatuh cinta ama cewek galak kayak kamu. Tapi aku bingung jika ditanya kenapa aku terlanjur jatuh cinta ama kamu. Karena kamu baik? Kurasa semua orang juga baik, kenapa aku hanya jatuh cinta ama kamu? Karena kamu penyanyang? Ibuku juga penyayang. Kenapa aku tidak jatuh cinta ama ibuku aja? Eits, bukan berarti aku nggak sayang ama ibuku ya. Karena kamu galak? Guru BP ku juga galak, kenapa aku nggak jatuh cinta ama dia aja?” ujar Arlan kebingungan sendiri.
“So what?” ujarku malas sambil melirik ke arah Arlan.
“Nggak apa-apa sih. Cuma mau ngasih tahu aja. Supaya kamu nggak nanya kenapa aku jatuh cinta ama kamu,” ujarnya sambil nyengir.
Aku hanya bisa terkikik melihat cengirannya Arlan. Lucu. Sudah lama aku nggak melihat cengirannya Arlan.
“Gitu dong ketawa. Aku baru nemuin cara ampuh buat kamu tertawa loh.”
“Apa?”
“Nyengir?” ujarnya sambil nyengir lagi.
Aku semakin lebar tertawa. Ternyata Arlan nyadar kalau cengirannya membuatku geli. Padahal aku nggak pernah ngomong.
“Lan,” ujarku lembut sambil menatap mata Arlan.
“Apa neng?”
“Gimana ya nyariin pacar untuk Dita? Aku takut kalau Dita sudah sadar dan aku belum nemuin cowok untuk jadi pacarnya, Dita akan kambuh lagi,”
“Kalau aku gimana?” ujarnya sambil senyum. Aku tahu kalau dia hanya bercanda.
“Kamu mau?” tanyaku cemas. Ku harap dia benar-benar bercanda.
“Kalau kamu Tanya gitu dan kamu nyuruh aku jawab dengan jujur, aku nggak mau. Tapi, aku nggak tega lihat kamu sedih terus ini,”

“Aku nggak mau kehilangan kamu Lan. Aku takut kamu suka beneran ama Dita,”
“Kalau gitu aku juga nggak mau. Jadi, nggak usah ya?” Arlan tersenyum padaku.
“Kalau gitu aku mau kalau kamu jadi pacar bohongannya Dita,” ujarku akhirnya. Karena aku tahu, Arlan hanya mencintaiku.
**
P
ulang sekolah ini aku akan langsung ke rumah sakit untuk menjenguk Dita. Karena kata Neneknya Dita semalam Dita sudah siuman. Sekalian aku akan ngasih tahu kalau aku menyuruh Arlan untuk menjadi pacar bohongannya.
Arlan sudah menunggu di depan gerbang. Akupun langsung menghampirinya dan memboncengnya.
Setengah jam kemudian aku dan Arlan sudah sampai di rumah sakit. Aku langsung menuju ruang rawat Dita. Sudah tidak sabar bertemu dengan dia.
Saat di depan ruang rawat Dita, kulihat ruangannya sangat ramai. Mungkin keluarga Dita sedang menjenguk Dita. Tapi? Kok nangis semua sih? Aku dan Arlanpun langsung menghampiri Neneknya Dita yang sedang duduk di luar. Dan, menangis.
“Nek, ada apa sih?” tanyaku lalu dudk di sampingnya.
“Dita meninggal Nak,” ujar Nenek dan sukses membuatku tertohok. Aku lemas, dan semuanya serasa gelap dan berputar.
**
S
amar-samar aku melihat beberapa orang disekilingku. Aku bingung ada apa. Kepalaku terasa sangat pusing. Berdiripun rasanya tidak sanggup.
Aku mengedip-edipkan mataku untuk memperjelas pandangan. Ku lihat ada Arlan, Kak Radit, dan…. Kak Eza? Kok dia disini? Ah, aku baru ingat. Kenapa aku seperti ini. Ini karena…. Dita. Dita benar meninggal? Aku mencoba beranjak dari tidurku.
“Lin, udah bangun?” Arlan menghampiriku.
“Istirahat dulu Dek,” Kak Radit dan Kak Eza juga mendekat.
“Lan, tadi kita kan di rumah sakit. Kenapa sekarang disini?” aku melihat sekelilingku. Ini kamarku.
“Tenang dulu Dek. Lan, mending kamu jelasin dulu. Yuk Za, kita keluar aja,” Kak Radit dan Kak Eza berjalan keluar.
Arlan membantuku duduk. Dia juga duduk di sampingku.
“Lan, benar ya Dita udah meninggal? Tadi bukan mimpi?” aku meneteskan air mata. Arlan hanya diam. Tidak menjawab apa-apa.
“Arlan jawab!” bentakku ke dia.
Tiba-tiba saja aku melihat sosok Dita di sudut ruangan. Ia mengembangkan senyumnya lalu mendekat kearahku.
“Terima kasih Lin, kamu udah jadi sahabat terbaikku. Ini sudah menjadi takdir Allah Lin. Kamu tidak usah sedih. Mungkin, supaya kamu tidak menyuruh Arlan untuk menjadi pacarku? Karena aku tahu, Arlan hanya mencintaimu. Dia hanya milikmu Lin. Aku sudah tenang disini. Sekali lagi ingat, kamu tidak usah mencarikanku pacar lagi.” Dita tersenyum lalu menghilang. Jadi benar Dita sudah meninggal?
Aku menatap Arlan penuh tanya. Apakah tadi Arlan melihat sosok Dita juga? Tapi kenapa ekspresinya biasa saja?
“Lan, tadi kamu melihat Dita disana nggak?” aku menunjuk sudut ruangan.
“Lin, Dita sudah tenang,” ujar Arlan hati-hati.
“Tapi tadi aku lihat….” Ucapanku menggantung karena Arlan tiba-tiba memelukku. Mungkin ia terlalu khawatir melihatku.
“Dita senang kamu telah menjadi sahabat baiknya. Kamu tidak usah sedih. Kamu tidak perlu mencarikan pacar lagi untuknya. Dan kamu tidak usah menyuruhku untuk menjadi pacar bohongannya lagi. Karena aku hanya mencintaimu Lin. Aku hanya milikmu.” Bisiknya di telingaku.
Kenapa kata-kata yang diucapkan Arlan sama dengan yang diucapkan Dita? Apakah tadi sebenarnya Arlan juga melihat sosok Dita?

Komentar

Postingan Populer