(REVIEW) COCO: Kisah Menyentuh tentang Kematian

src: comingsoon.net
Kelar nonton Coco, aku langsung keinget dengan satu pertanyaan yang dilontarkan Dinda Hauw di film Surat Kecil untuk Tuhan beberapa tahun silam, yaitu "Akankan aku dikenang ketika sudah tiada nanti?" Pertanyaan itu tentu terasa menohok. Sebab itu mengenai eksistensi diri, terlebih yang seumur hidupnya memiliki ambisi yang besar untuk dikenal banyak orang--atau minimal menampakkan diri di depan pacar #Pffft.
Cerita Coco tentu saja sama sekali berbeda dengan Surat Kecil untuk Tuhan, terlebih jenis keduanya juga mencolok sekali perbedaannya: satunya animasi, yang lain adalah kisah nyata yang di"fiksi"kan. Namun, pertanyaan tersebutlah yang menghubungkannya--dalam versiku.
***

Awalnya, kukira Coco adalah nama tokoh utama film tersebut, yaitu seorang anak laki-laki yang begitu berambisi untuk menjadi seorang musisi. Namun, pemikiran tersebut terpatahkan ketika kemudian seorang anak laki-laki membuka film dengan narasinya. Ternyata si tokoh utama bernama Miguel dan tokoh bernama Coco (selanjutnya disebut Mama Coco) adalah grand grand grandma (buyut ya? lupa aku)-nya si Miguel. Mama Coco sudah sangat tua, ia bahkan sudah tidak menanggapi apa yang diucapkan orang lain padanya, ia sudah sangat pikun. Namun, Miguel begitu suka menceritakan pengalaman dan cita-citanya yang ingin menjadi musisi kepada Mama Coco karena meskipun ia tidak menanggapi, paling tidak ia tidak melarang mimpi Miguel, seperti anggota keluarga yang lain.

Miguel dan Mama Coco || src: abcnews.go.com

Keluarga Miguel, secara turun-temurun, membenci segala hal yang berkaitan dengan musik. Penanaman rasa benci akan musik itu dilakukan oleh Mama Imelda. Suaminya dulu begitu menyukai musik dan ingin menjadi musisi. Namun, karena ketika mereka telah memiliki anak, yaitu Coco, Mama Imelda tentu lebih memikirkan Coco. Yang kemudian membuat kecewa adalah suaminya tetap menomorsatukan musik. Ia bahkan lebih memilih untuk pergi dari rumah, meninggalkan Mama Imelda dan Coco, lalu tidak pernah kembali. Sejak saat itu, Mama Imelda menabuh genderang perang terhadap musik. Menurut Miguel, Mama Imelda adalah orang yang serba bisa. Ia bisa melakukan apa pun sebagai mata pencahariannya, tetapi ia lebih memilik membuat sepatu. Sejak saat itu, musik adalah yang mencerai beraikan keluarga dan sepatu adalah benda yang menyatukan. Akan tetapi, tidak dengan Miguel.
Miguel tidak bisa membuat sepatu. Satu-satunya yang ia kerjakan selama ini adalah menyemir sepatu. Kegiatannya itu ia manfaatkan untuk pergi ke alun-alun yang selalu dipenuhi dengan para musisi yang mengadakan pertunjukkan di sana. Konflik muncul ketika Miguel bertemu dengan Mariachi, seorang musisi yang sedang berlatih gitar di alun-alun Plaza Santa Cecilia. Seakan sudah otomatis untuk mencurahkan hatinya tentang mimpi menjadi musisi, Miguel juga bercerita kepada Mariachi. Berbeda dengan pelanggan Miguel lainnya, Mariachi justru mendukung Miguel. Bagi Mariachi, impian menjadi musisi harus diwujudkan. Terlebih ketika tempat tinggal mereka memiliki musisi terkenal seperti Ernesto de la Cruz. Maka Mariachi menasihati Miguel untuk mengikuti lomba menyanyi di festival musik yang akan diadakan esok hari. Ketika Mariachi mengizinkan Miguel untuk memainkan gitarnya, Mama Abuelita dan anggotara keluarga lain muncul. Mereka marah kepada Mariachi. Akhirnya, Miguel hanya bisa mengikuti perintah Mama Abuelita untuk pergi dari sana, tidak sempat memainkan gitar Mariachi, dan sembunyi-sembunyi meraih pamflet lomba festival musik yang akan diadakan di alun-alun esok harinya.

Mama Abuelita menghajar Mariachi dengan sepatu hahaha. || Scr: socalmuse.com

Semalaman merenungi perkataan Mariachi, Miguel memutuskan untuk berkata jujur kepada keluarganya bahwa ia ingin menjadi musisi dan akan mengikuti lomba menyanyi. Ia juga ternyata memiliki kamar rahasia yang dipenuhi foto Esnesto de la Cruz dan berlatih bermain gitar yang ia buat sendiri. Namun, ketika ia akan mengatakan semuanya, Mama Abuelita muncul dengan fakta menyebalkan. Ia akhirnya mengizinkan Miguel untuk membuat sepatu. Miguel yang tidak bisa dan tidak mau, memberontak. Ia ingin menjadi musisi. Pertengkaran terjadi di sebuah ruangan berisi foto-foto keluarga yang sudah meninggal (aku lupa nama ruangan itu apa). Miguel meraih kain penutup meja persembahan lalu menyebabkan bingkai foto paling atas terjatuh dan pecah. Di sinilah fakta menuju konflik selanjutnya terungkap. Foto yang berisi potret Mama Imelda, Coco, dan suami Mama Imelda yang bagian kepalanya disobek itu ternyata bagian sisinya tertekuk. Bagian itu menyembunyikan sebuah gitar yang sama persis seperti gitar Ernesto de la Cruz. Maka, Miguel pun yakin bahwa Ernesto de la Cruz adalah suami Mama Imelda yang otomatis menjadi kakek buyutnya. Mengetahui itu, Miguel semakin yakin untuk menjadi musisi.
Tak dinyana, gagasan Miguel tersenyum membuat Mama Abuelita marah besar. Ia bahkan menghancurkan gitar kesayangan Miguel. Karena hal tersebut, Miguel begitu membenci keluarganya yang melarang ia menjadi musisi. Ia kabur dari rumah, menuju alun-alun, dan mendaftar untuk lomba menyanyi. Namun, ia yang tidak memiliki alat musik, tidak diperbolehkan mendaftar. Maka, hal gila pun terlintas di benaknya. Ia mencuri gitar Ernesto de la Cruz di kamar persembahan. Di sana, hal ajaib terjadi. Ketika Miguel memetik senar gitar itu, ia justru menjadi arwah dan membuatnya berakhir di dunia kematian. Namun, meskipun film ini bercerita mengenai dunia setelah kematian juga, tetapi mereka sama sekali tidak memberikan nuansa kelam, melainkan bertutur secara jenaka dan menyenangkan.
***

I know so well that Disney never make stupid story. Kisah-kisah yang ada di film-film Disney selalu menakjubkan—ya ini penilaian subjektif penggemar karya-karya Disney—dan Coco merupakan film Disney paling menyentuh yang pernah kutonton. Ia menyentuh penonton dengan cara yang rumit.
Aku kurang setuju dengan pernyataan tweet Koh @Amrazing yang menyamakan kesyahduan Coco dengan film Korea berjudul Hello Ghost. Meskipun sama-sama menyentuh, Coco jauh lebih rumit untuk dinyatakan. Coco mengisahkan hal yang kompleks dan sangat begitu manusiawi. Ambisi, strata sosial, keegoisan, sakit hati, kesalahpahaman, dan kisah keluarganya ditontohkan secara begitu apik. Kejutan dan suspens-nya pun disajikan dengan begitu halus dan membuat kisahnya menjadi jauh semakin menarik. Maka, tidak heran jika keuntungan yang diraup Coco sebesar Rp178,3 milyar di hari pemutaran perdananya dan para kritikus menyukai film ini.
***

Sebenarnya, setelah mengetahui fakta di beberapa konflik Coco, aku tidak terlalu penasaran kenapa film ini diberi judul Coco. Namun, mengingat tidak etis sekali memberikan spoiler di review ini, maka pertanyaan itu akan aku bahas—not literally about that Coco, melainkan hanya mengenai judul. Awalnya, film ini akan diberi judul Dia de los Muertos—sebuah tradisi di Meksiko untuk mengingat para leluhur yang sudah meninggal—yang juga menjadi salah satu latar utama Coco. Disney juga sudah mengumumkan akan membeli hak paten nama tersebut. Namun, karena Dia de los Muertos dianggap begitu sakral bagi masyarakat Meksiko, keputusan Disney itu dikecam. Disney dianggap tidak menghargai kesakralan tradisi tersebut. Maka, Disney membatalkan keputusan itu.
Alasan Coco menjadi judul film, kukira karena Coco terdengar begitu ear catching. Terlepas dari tokoh Mama Coco bukan tokoh utama film ini, literally. Dan, hal ini justru mengingatkanku pada novel Ayu Utami berjudul Saman hahaha. Namun, Mama Coco menjadi kunci akan ujung kisah film ini.
Sebelum review ini kututup, I’ll tell you ane more thing. Film Coco emang worth for every rupiah. Terlebih film ini dibuka dengan film pendek berjudul Olaf’s Frozen Adventure. Selama 20-an menit, penonton sudah dibikin tersentuh dengan kisah Olaf dan para tokoh film Frozen. Kisahnya sendiri adalah tentang perayaan natal pertama di kerajaan Arrendelle (oh, maafkan jika penulisannya salah). Namun, karena Elsa yang sejak kecil sudah memiliki kekuatan yang tidak bisa dikendalikannya itu, keluarga kerajaan tidak memiliki tradisi ketika natal. Olaf memutuskan untuk mencarikan tradisi untuk Elsa dan Anna. Namun, segalanya kacau karena kelakuan Olaf.
Sungguh, Disney menyajikan hal yang menakjubkan di film animasi akhir tahunnya ini. Dirilis di Indonesia tanggal 24 November lalu, kukira bakal tetap dilayarkan hingga natal bahkan usai tahun baru.
Well, akhir kata, terima kasih kepada Lee Unkrich untuk kisah menyentuh apik ini dan maaf, Toy Story 3 tentu saja kalah saing dengan Coco. Ehehehe.

For about seven years process of the film, Coco deserve those billions best critics \^,^/

Ah, for the last, I swear hahaha, Coco also has good soundtract. Let's play and meet the handsome Inigo Pascual. Ehehehe.




PS: Aku enggak ngomongin soal visual dari film Coco because I dont really understand about it :)



PSS: Maafkan soal judul yang enggak nyambung banget dengan isi. Mau kuganti, tapi kulebih memilih nyelesein BAB III. Ehehehehe. #DeritaMahasiswaSemesterNanggung T.T

Komentar

  1. TRADING ONLINE
    BROKER AMAN TERPERCAYA
    PENARIKAN PALING TERCEPAT
    - Min Deposit 50K
    - Bonus Deposit 10%** T&C Applied
    - Bonus Referral 1% dari hasil profit tanpa turnover

    Daftarkan diri Anda sekarang juga di www.hashtagoption.com

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer