BIMBANG (dimuat di GADIS edisi 09 -edar 29 Maret – 08 April 2013)
Aku masih memperhatikan segerombolan anak-anak yang masih beradu kekuatan
kaki di lapangan hijau. Benda bundar terus menggelinding dari satu kaki ke kaki
yang lain. Sepakan terus diberikan untuk benda itu.
Benda
bundar itu tak mau diam. Maksudku, tak ada yang berniat mendiamkannya. Selalu
saja ditendang kesana kemari. Andai saja bola itu memiliki mulut, pasti dia
sudah berteriak marah tidak karuan. Bagaimana bisa mereka kejam terus menyiksa
benda tak berdosa itu.
“Lari…
Tendang bolanya. Oper ke yang kosong, Vino!” Pelatih itu terus berteriak dari
tadi. Membuat telingaku sedikit kehilangan konsentrasi untuk mendengar suara
selain teriakannya.
Sejujurnya,
aku tak ingin sekali duduk di bangku penonton ini sendirian untuk yang kesekian
kalinya. Namun, apa daya, iming-iming itu masih menggiurkan.
“Nes,
minum.” Vino tiba-tiba berada di depanku. Tepat di depanku. Dari mana dia
datang? Bukankah tadi dia masih ada di sana? Berlari mengejar bola?
Aku
hanya menyodorkan botol minumannya. Dengan masih memandangku dia meneguk
minuman itu.
“Kenapa
ngeliatnya kayak gitu banget?” tanyaku bingung.
“Nggak.
Kamu cantik banget hari ini,” ujarnya sambil tersenyum.
“Basi.
Ingat ya, aku masih marah sama kamu. Kamu tuh setega-teganya pacar tau nggak. Apa
coba, masa katanya sayang tapi rela ngebiarin aku duduk di sini kayak keledai
dungu. Jahatnya keterlaluan!” cerocosku tanpa berhenti. Kulihat Vino hanya
tertawa mendengar omelanku ini.
Terdengar
peluit sang pelatih menyembur sebanyak tiga kali. Jeda istirahat diberikan
hanya lima belas menit. Setelah itu mereka kembali menyiksa bola kulit itu.
“Minum,
Vin!” Dia menyamber botol yang sedang dipegang oleh Vino. Aku hanya tersenyum
melihatnya.
“Gue
masih haus, Dodol!” Vino merebut kembali botol minumannya yang satu senti lagi
akan menyentuh bibirnya. Aku mengerutkan keningku. Lalu cepat-cepat kuberikan
botol yang ada di sampingku ke dia. Kasihan. Sepertinya dia sangat kehausan.
“Nih.”
Aku sajikan senyum termanisku.
“Makasih.”
Dia mengambil botol itu dan cepat-cepat ia habiskan. “Gue bingung, kok lo bisa
punya pacar kayak Anes. Punya dosa apa dia dapet pacar kayak lo, Vin. Pasti
malemnya dia mimpi buruk tuh setelah lo tembak,” sambungnya lagi. Membuat
senyumku semakin mengembang.
“Kurang
asem, lo!” Vino menjitak kepalanya dengan keras.
“Vino,
sini!” Pelatih memanggil Vino dan membuatku girang. Karena itu artinya aku
dapat berdua saja dengannya.
Vino
buru-buru berlari ke arah pelatih itu. Terlihat mereka seperti mendiskusikan sesuatu.
Yang jelas, aku tak peduli mereka mendiskusikan apa. Aku hanya peduli dengan
posisiku sekarang. Dan tanganku tak mau tenang. Terus saja meremas baju bagian
bawah.
“Udah
berapa lama pacaran ama tuh orang?” Dia memecah keheningan yang ada diantara
kami.
“Satu
bulan lusa,” jawabku singkat. Kurasa syaraf bicaraku juga terganggu dan tak mau
tenang hingga bicaraku saja tak bisa kukendalikan. Berucap seenaknya sendiri.
Ingin hati berkata lebih banyak, tapi yang ada hanya tiga kata singkat dan
membuatnya menilaiku sebagai cewek yang susah diajak bicara. Pasaranku di
depannya merosot. Tuhan…
“Wah,
tumben tuh anak bisa bertahan sampai sebulan. Biasanya seminggu aja udah bosen.
Hebat kamu,” ujarnya dan memandangku. Tuhan, jantungku kenapa?
Aku
hanya tersenyum memandangnya. Sungguh, ini impian sejak seminggu yang lalu.
Sejak ia tiba-tiba muncul dan mengaku sebagai sahabat karib Vino. Sejak ia
memamerkan senyum pertamanya untuk disuguhkan di sekolahku ini.
Dan
aku benci. Karena sudah seminggu aku rela sendirian duduk di bangku ini,
kalinya terwujud hanya bisa diam dan tersenyum saja. Padahal sejak seminggu yang
lalu aku sudah menyiapkan skenario untuk kuobrolkan dengannya. Tapi sekarang?
Mulutku…
“Weh,
pantes Vino demen. Orang lo kalo senyum manisnya melebihi gula sih.” Dia
tersenyum padaku. Tuhan, darahku mengalir seperti aliran air terjun. Kenapa
ini?
Lagi-lagi
aku hanya tersenyum. Otak, kenapa kamu tidak membiarkan syaraf bicaraku
berfungsi dengan benar saat ini? Kenapa kamu sangat kejam? Izinkanlah dia
menggunakan haknya barang semenit saja.
“Senyum
terus, sih?” Aku yang masih memandangnya sedikit tersentak dan segera
memalingkan pandanganku. “Eh, Nes, boleh minta nomor hape lo gak? Siapa tahu
ntar bisa berguna,” sambungnya lagi.
“Kenapa
enggak?” Dan akhirnya aku bisa bicara juga.
“Eh
tapi gue nggak bawa hape sih,”
“Nih,
aku minta nomormu aja dulu. Ntar aku hubungi.” Aku menyodorkan handphoneku ke arahnya. Dia menerimanya
dan langsung mengetikkan nomornya. Akhirnya, aku bisa minta nomornya tanpa
harus memalukan diriku dan tanpa membuat Vino curiga. Tuhan, Kau memang Maha Adil.
“Ntar
sms ya…” Dia berujar sebelum akhirnya lenyap dari sisiku karena pelatih sudah
memanggilnya untuk bermain lagi. Lima belas menit kali ini sangat pendek.
**
“Apa aku mengganggu?”
Sudah sepuluh kali aku mengetikkan kata yang sama di halaman pesanku. Namun
selalu kuhapus dan kemudian aku tulis lagi. Hingga sepuluh menit kemudian aku
baru memantapkan untuk mengirimnya ke nomor seseorang yang baru kuperoleh tadi
sore.
“Nggak, Nes.”
Balasannya secepat kilat.
Eh,
tunggu. Kok dia tau kalau yang sms aku? Bukankan hanya dia yang memberikan
nomornya kepadaku dan aku belum memberikan nomorku padanya?
“Punya nomorku darimana?”
Penasaran juga dengan keganjilan ini.
“Wah kepo :p Lagi apa, Nes?”
Dia mengalihkan topik pembicaraan. Tapi aku tak ambil pusing dengan itu.
Mungkin saja dia mencurinya dari handphone
milik Vino.
“Lagi gada kerjaan :D Kamu?”
“Gak kencan ama Vino?Lusa kan satu
bulan jadian. Latihan bola.”
“Gak. Kencannya besok lusa aja. Malam-malam
latihan?”
“Iya, besok mau tanding sama
sekolah sebelah.”
“Aku boleh nonton?”
“Kenapa nggak? Mau dijemput?”
Aku
hanya bisa membaca balasannya berulang-ulang. Ini nggak mimpi kan? Dia
menawarkan diri untuk menjemputku menonton pertandingannya? Ini kesempatan emas
dari semua emas yang pernah ada. Ini bahkan lebih berharga dari mutiara
termahal di dunia.
**
Dan
dia mendekapku. Dengan sangat erat. Aku bahkan bisa merasakan basahnya keringat
yang sedari tadi menetes dari tubuhnya. Aku hanya tersenyum dan melingkarkan
kedua lenganku di pundaknya.
“Mau
kutraktir apa?” Dia melepaskan pelukannya. Membuatku tersentak karena masih
saja berharap agar dia selalu memelukku.
“Es
krim?” tanyanya kembali. Aku hanya tersenyum dan mengangguk kecil. “Baiklah, ayok!”
Dia menggandengku menuju tempat parkir stadion futsal yang berada paling ujung
dari lapangannya. Aku hanya menurut dan masih menyunggingkan senyumku. Aku
seperti bermimpi untuk hari ini. Bahkan sejak semalam.
Kami
sampai di kedai es krim sepuluh menit kemudian. Dia yang masih memakai seragam
timnya yang basah oleh keringat merasa agak risih. Aku hanya menanggapi dengan
senyum untuk sikapnya yang kikuk itu. Tangannya yang masih menggandeng tanganku
kueratkan dengan tujuan agar dia lebih santai dengan ini semua.
Seketika
dia memandang ke arahku. Lagi, aku menyuguhkan lengkungan termanisku untuknya.
Bagaimana bisa aku melepaskan senyuman dari wajahku jika aku sedang berada di
dekatnya. Dia sumber senyumku sejak satu minggu yang lalu.
Berhasil.
Dia lebih bersemangat dan tak merasa risih lagi kurasa. Dia membawaku ke meja
paling ujung dekat jendela dan kolam ikan buatan. Sudut paling romantis dari
kedai es krim ini.
“Coklat?”
tanyanya kepadaku saat pelayan menghampiri meja kami. Aku hanya mengangguk. Dia
tahu es krim kesukaanku? Atau hanya menebak saja? Ah, aku tak ingin
memikirkannya.
“Coklat
dua. Besar,” ujarnya pada pelayan itu sambil memberikan senyum lebarnya. Ah,
senyumnya…
“Nes,”
ujarnya padaku setelah pelayan itu pergi untuk mengambil pesanan kami. Ujung
tangannya meraih jemariku. Aku tak menolak. Bahkan sebaliknya, ini seperti
mimpi.
**
“Nes, apa menurutmu menyukai
pasangan sahabatnya itu salah?”
Pertanyaan
itu terus kudengar meski aku tengah berada di alam mimpi. Apa mungkin dia
merasakan hal yang sama? Apa mungkin dia juga…
Handphoneku
berdering panjang. Setengah tak sadar aku meraihnya dan menjawab panggilan yang
ada.
“Nes…”
Dan kesadaranku yang tadi baru setengah jadi, menjadi utuh sempurna setelah
mendengar sapaan dari seberang sana itu.
“Ya?”
Jujur, irama jantungku ingin kukutuk. Sangat tak nyaman.
“Hari
ini kosong? Aku ingin kau memberiku semangat di pertandingan final ini.”
Kalimat itu terasa kental dengan nada memohon.
“Tentu.”
Kurasa dia juga mengetahui jika aku tersenyum di sini.
“Jam
tiga kau kujemput.” Kalimat terakhir itu begitu semangat.
**
Peluit
panjang itu berbunyi tepat pukul setengah lima. Aku hanya duduk dengan tenang
sambil tersenyum lebar sementara penonton yang lain berjingkrakan seperti orang
gila. Mereka terus mengelukan namanya. Dia memang pencetak yang hebat.
Begitupun saat mencetakkannya di hatiku. Bahkan sebelum dia menendangkan, dia
sudah berhasil mempersembahkan gol yang indah.
“Aneess!!
Es krim cokelat super big untukmu!!” Meskipun stadion ini seperti sarang lebah,
aku tetap mendengar jelas apa yang ia ucapkan. Aku seperti orang bodoh, hanya
melongo dan kemudian tersenyum ke arahnya. Seperti apa mukaku sekarang? Oh
kepiting rebus…
Dia
berlari ke arah bangku penonton. Menghampiriku lalu memelukku erat. Bagaimana
ini bisa terjadi? Mukaku tak hanya menyaingi kepiting rebus lagi, tapi mungkin…
Ah, aku tak peduli.
Aku
yakin, semua penonton memandang ke arah kami. Dan pandangan mereka pasti iri.
Karena banyak diantara mereka yang mendesah kesal idolanya memeluk gadis lain.
Namun, apa peduliku? Aku bangga bisa membuat mereka iri.
“Kedai
es krim?” Dia melepas pelukannya dan memandangku lekat. Aku mengangguk.
**
Kami
sampai di kedai es krim sekitar pukul lima lebih lima belas menit. Aku tak
menyangka dia yang masih menjadi pemain bola tingkat sekolah memiliki banyak
fans. Dan itulah alasan kenapa perjalanan ke kedai es krim yang sebenarnya
hanya sepuluh menit saja menjadi lebih dari setengah jam. Aku tak keberatan.
Tapi ini sangat menjengkelkan.
Dia
tak seperti kemarin yang karena masuk ke kedai ini menggunakan seragam futsal
yang basah oleh keringat menjadi risih dan agak tak nyaman. Kini dia malah
sangat bersemangat menuju sisi yang sama seperti kemarin. Dengan pelayan yang
sama seperti kemarin, kami juga memesan es krim yang sama. Semua sama, tak ada
yang berbeda. Bahkan detak jantungku pun sama seperti kemarin saat di
hadapannya.
“Nes,
bagaimana dengan pertanyaanku kemarin?” Jemarinya masih bertaut dengan
jemariku. Aku tersentak dengan pertanyaannya. Bukan, aku tidak risih karena dia
masih mengungkit pertanyaannya kemarin yang belum kujawab. Namun, aku tersentak
karena dia tiba-tiba memandangku lekat saat aku masih menatapnya. Masih mengeja
kesempurnaannya.
“Itu
sah saja. Bukankah rasa suka itu tidak memandang siapa dia? Dan apa menurutmu
menyukai sahabat pacarnya itu boleh?” Kutelan ludahku setelah menyelesaikan
ucapan sekaligus pertanyaanku. Wajahku langsung menunduk. Aku takut ini semua
menjadi kenyataan yang perih.
“Manusia
tak bisa membuat peraturan yang melarang hal itu, Nes.” Dia mengeratkan
genggaman pada tanganku. Wajahku memanas.
“Nes, kuharap kadomu spesial di
hari ini. Kau memang tujuan bola cintaku Y
Jam tujuh nanti yang cantik ya, Sayang :).”
Aku memang tak menyukai sepak bola.
Namun kenyataan menyuruhku untuk terus berkutat dengan dunia itu. Bahkan ketika
aku menyadari jika dia telah menyepakkan (memasukkan) sesuatu ke hatiku dan
membuatku menyepakkan (melemparkan) sesuatu dari hatiku untuk Vino. Dan aku
tahu, salahkah telah bersedia bergulat dengan hal yang tak kusukai?
13.22 WIB. Jumat, 14
Desember 2012. (Pamutih)
saya suka bgt ma cerpen ini... buatnya pas masih remaja ya? #emangIyaRemaja_DikiraEmbakApa_Ngaku2Remaja... hahaha gaya bahasanya centil, polos, apa ya... gemes aja waktu baca suka-suka-suka :D
BalasHapusHihihiiii makasihhhhh, Mbak Sur :D Makasih udah mau mampir dan baca :D
Hapus