[Sedikit ulasan] Dear Umbrella

DEAR UMBRELLA:
Ketika Payung Memiliki Rasa


Judul               : Dear Umbrella
Penulis             : Alfian Daniear
Tebal               : 306 halaman
Penerbit           : NouraBooks
ISBN               : 978-602-7816-40-4
Harga              : Rp 48.800
Alfian Daniear lahir di Magetan, Jawa Timur pada 22 tahun yang lalu. Ia menyelesaikan pendidikannya di STAN  Jakarta Spesialisasi Penilai / PBB. Saat kecil ia ingin menjadi komikus, tapi akhirnya ia ingin menjadi penulis hebat. Cerpen-cerpennya sudah menyebar di majalah remaja dan surat kabar. Bahkan karyanya pernah dimuat di Panjebar Semangat yang merupakan majalah berbahasa Jawa.
Novel pertamanya ini merupakan salah satu juara NouraBooks Academy, bersetting di Magetan, Jakarta, dan berakhir di Surabaya. Ya, karena penulis mengenal Magetan dengan sangat baik, detail Magetan sangat jelas di sini. Bahkan, saya jadi tertarik untuk mengunjungi Sarangan dan Gunung Lawu. Menaiki speedboat di Telaga Sarangan.
Awalnya, saya sangat tertarik dengan judul novel ini. Dear Umbrella. Dalam benak saya, novel ini memuat kisah yang kental tentang payung. Mungkin tokoh utama seorang penjual payung dan sangat terobsesi memiliki payung yang sangat ia idam-idamkan sejak dulu. Tapi ternyata… salah!
Di novel ini memang diceritakan tentang payung. Yaitu payung putih dengan corak bunga flamboyan. Bisa membayangkan betapa cantiknya payung itu?
Raline. Seorang gadis cantik yang sangat mencintai payungnya. Ia selalu membawa kemana-mana payungnya. Payung putih itu adalah pemberian Zidan. Teman kecilnya yang kemudian pergi tanpa pesan dan tak memberinya kabar sama sekali setelah ikut orang tuanya ke Jakarta.
Kehidupannya menjadi berubah sejak kepergian Zidan. Dia menjadi pribadi yang tertutup dan pendiam.
Raline hidup bersama Bapaknya –beliau bekerja di pasar malam sebagai penjaga komidi putar, Ibunya yang sudah hamil tua, dan seorang adik berumur 5 tahun bernama Rifan.
Saat pertengahan November yang kala itu hujan lebat, Bapaknya mendapat kecelakaan di sebuah pasar malam. Kecelakaan itu membuat Bapaknya tidak bisa bekerja. Melihat kondisi itu, keluarga Raline semakin memburuk kondisi ekonominya.
Hingga kemudian, Ibunya berencana untuk menerima bantuan Eyang Utomo –beliau adalah Paman Ibu Raline– yang ingin membiayai Raline sekolah di Jakarta. Ia tidak memiliki pilihan. Raline harus melanjutkan sekolahnya. Dan dengan berat, Raline menyetujui rencana ibunya itu.
Di Jakarta, Raline mencoba untuk bekerja paruh waktu. Ia ingin membantu keluarganya di kampung. Di Dream’s Window dia bekerja. Sebuah kedai kopi yang di dalamnya juga ada bookstore.
Di tempat kerjanya itulah ia bertemu dengan Elbert. Cowok tampan yang tengil dan bergaya asal ceplos. Awalnya, Raline sangat terganggu dengan gaya Elbert yang sering menggodanya itu. Tapi, setelah ia mengenal Elbert lebih jauh, Raline menjadi nyaman berada di dekat Elbert. Dan berkat cowok itu pula, sikap pendiam dan penutup Raline berubah menjadi pribadi yang ceria seperti dulu, saat Zidan belum meninggalkannya.
Dan saat acara di Dream’s Window yang mengadakan nobar antara Chelsea melawan Manchester City, Raline bertemu dengan seseorang yang sangat ia rindukan. Zidan. Sudah banyak berubah namun tidak dengan sorot matanya. Tetap sama seperti dulu. Tapi, seketika luka yang dirasakan Raline akibat Zidan tak memberikannya kabar selama empat tahun membuatnya kecewa dan tidak ingin bertemu dengan Zidan.
Meskipun Raline kecewa dengan Zidan, tapi ia tak memungkiri jika hatinya masih menyimpan semua kenangan manis bersama Zidan. Ia masih menyayanginya. Dan berkat bantuan Elbert, Raline mau memaafkan dan bertemu dengan Zidan.
Raline dan Zidan kembali dekat seperti dulu. Di akhir libur sekolah, mereka bahkan berlibur bersama ke Magetan dan mengenang masa kecil mereka.
Namun, tidak sampai di sana cerita berakhir. Mereka masih terjerat konflik. Zidan menyangka jika Raline menyukai Elbert. Dan lagi, Raline sangat kecewa karena ternyata payung yang selama ini ia sayangi itu bukan pemberian dari Elbert. Melainkan dari Eyang Utomo.
Setahun berlalu dan mereka tak lagi bertemu. Raline sudah bersekolah di sebuah universitas di Surabaya sesuai impiannya. Dan tanpa ia duga, ia bertemu dengan Zidan di sana.
Novel ini ditutup dengan adegan manis. Dan bagian inilah yang paling saya suka.
“Seandainya kehidupan adalah hujan, maukah kamu membagi satu tempat di bawah payungmu agar kita senantiasa bisa melalui hujan bersama?”
Raline terpesona. Dia menatap Zidan dengan mata berkaca-kaca kembali. Raline ingin sekali menjawab dengan kata-kata yang tak kalah romantis. Namun, lidahnya kelu, kehilangan kata-kata.
Mendadak, cuaca sepertinya sedang berkonspirasi bersama situasi mereka. Gerimis turun dan tak lama berubah menjadi tetes-tetes yang semakin besar. Raline buru-buru merogoh tas yang tadi sempat disambarnya sebelum keluar bersama Zidan. Diambilnya payung kenangan mereka dan segera membentangkannya, memayungi mereka berdua.
Saya suka dengan gaya ending ini. Dimana jawaban Raline yang secara spontan itu. Tidak perlu kata-kata romantis yang diharapkan Raline. Namun, acara konsporasi cuaca yang dibuat penulis merupakan jawaban paling manis yang pernah saya baca di semua cerita penembakan.
Dan saya juga menyukai gaya prolog dan epilog yang dihadirkan penulis. Dimana sudut pandang di sana adalah sudut pandang pertama dari sebuah payung putih kesayangan Raline.
Kejutan-kejutan yang dihadirkan di novel ini sangat segar. Tidak terasa ternyata Sherin adalah anak Eyang Utomo yang sudah lama berpisah karena berbeda prinsip. Cerita keluarga Zidan. Dan kejutan yang ternyata payung itu bukan pemberian Zidan (Saya sebenarnya sudah curiga sejak membaca prolog. Di sana, Si Payung menjelaskan bahwa dia sudah lama di ruangan berdebu. Bukannya di etalase toko).
Satu karakter yang berhasil mencuri perhatian saya. Yaitu Elbert. Cowok sederhana yang selalu menaiki Kaisar –sepeda kesayangannya. Cowok tengil yang suka ceplas-ceplos tapi memiliki mimpi untuk memiliki kedai kopi sendiri. Dia bagaikan es penyegar di tengah hawa panas kota Jakarta.
Namun, saya rasa ada beberapa bahasa yang digunakan kaku untuk ukuran remaja. Ada beberapa typo yang sepertinya luput dari pengamatan editor. Dan sampul. Setelah selesai membaca novel ini, saya rasa akan terkesan lebih manis jika menonjolkan payung putih flamboyan daripada komidi putar dan sebuah amplop pink. Namun,… ya, sampulnya sudah sangat teenlit, kok :).
Ohya, satu lagi. Saya sangat menyukai pembatas buku di novel ini. Tidak hanya pembatas buku mungil yang bergambar sama seperti sampul, di sana juga ada info pengiriman naskah. Sangat kreatif menurut saya.
So, I highly recommend this novel to people who claim like reading romantic novel.
Dan dengan ini saya menyatakan, empat puluh delapan ribu delapan ratusku (di toko bukunya sih dibulatin jadi empat puluh sembilan ribu -_-) tidak sia-siaaaa.

Sukses untuk Alfian Daniear dan NouraBooks. Ditunggu karya-karya selanjutnya :)).


Salam.
Nisa' Maulan Shofa :))

Komentar

  1. Suka sih tapi lagi miris nih dompet tanggal tua ditambah libur dan belum jelas keterima dimananya waaa pusing *kok jadi curhat sih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha dompetnya udah gak miris, kan, Kak? *telaaaat banget balesnya* xD

      Hapus
  2. Thanks, Nisa. Seneng ketika tahu kamu bisa menikmati baca "Dear Umbrella". Semoga gak kapok baca karya-karyaku selanjutnya :)

    BalasHapus
  3. Kelihatannya teenlit, ya?

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer