[CERPEN] PERPISAHAN (#KisahNovember)


Perpisahan
Oleh: Nisa’ Maulan Shofa


Jangan pernah menyesali perpisahanmu dan dia, karena perpisahan adalah sesuatu yang nyata seperti pertemuanmu dengannya... :') #Perpisahan
****
Seharusnya aku tahu jika selalu ada perpisahan karena pertemuan juga adalah hal nyata di dunia ini. Terlebih saat aku bertemu denganmu. Di kala hujan mengguyur di penghujung November sore itu.
Aku selalu menyukai hujan. Dan kau tahu itu. Itu terbukti saat tiba-tiba kau menjajari langkahku ketika aku tengah berjalan sendirian sepulang dari acara perpisahan sahabatku –yang ternyata adalah sepupumu– yang akan terbang ke Dubai untuk melanjutkan sekolah. Kau tahu betapa kagetnya aku sore itu? Kaget karena akan kehilangan dia dan kaget karena kau tiba-tiba muncul seperti hantu di sampingku.
Kau dengan senyum khasmu. Memamerkan gigi putih nan rapimu. Awalnya kau dengan payung biru mudamu. Memayungi tubuhku yang sudah kuyup oleh air hujan. Namun, karena aku terkejut, segera kusangkal uluran teduhmu. Kau hanya tersenyum. Entahlah, aku merasa aneh saja denganmu.
“Oh maaf, aku lupa kau suka hujan-hujanan. Oke, dilipat aja deh ya.”
Kau dengan sigap melipat payung biru mudamu. Memasukkannya ke dalam ransel hitam yang kaugendong.
Aku hanya tersenyum melihat tingkah anehmu itu. Bukankah waktu itu kita belum terlalu kenal? Sahabatku hanya mengenalkanmu kepadaku di acara perpisahan itu. Dan selanjutnya, selama acara berlangsung, kita tak bertegur sapa sama sekali. Dan sekarang, kau bertingkah konyol seperti itu.
“Aku tahu kau menyukai sepupuku. Sahabat terbaikmu itu.”
Deep!
Darimana kautahu? Apakah sejelas itu? Bahkan aku tidak pernah mengatakan kepada siapapun. Karena kurasa, segalanya akan percuma saat aku membiarkan rasaku diketahui olehnya.
Mendengar penuturanmu itu, aku segera mengalihkan pandanganku ke arahmu. Apa maksudnya bertanya seperti itu? Duh, ingin sekali aku berteriak pertanyaan itu dengan sekeras-kerasnya ke arahmu.
Tapi apa? Yang kulakukan hanya diam. Dan melanjutkan langkahku di bawah rintik hujan yang tambah menderas.
"Berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk berdamai dengan masa lalumu?" Setelah beberapa menit kami terjebak keheningan, kau bertanya kembali padaku. Pertanyaan yang sama anehnya.
“Sebenarnya apa maksudmu?” tanyaku mulai kesal.
“Ya itu. Berdamai dengan masa lalumu. Tidak lagi mencintai sepupuku. Bagaimanapun, kau dan dia akan berpisah. Takkan lagi bertemu. Ya paling bertemu lagi enam atau tujuh tahun lagi. Kau tidak akan menutup diri dari pria manapun karena masih mencintainya, kan?”
Mataku langsung melotot ke arahmu. Aku mulai risih dengan arah pembicaraanmu. Sehingga aku hanya diam saja. Mempercepat langkahku. Tapi sialnya, kau malah mengikuti. Mempercepat langkahmu juga. Astaga, sebenarnya apa maumu sore itu?
“Sebenarnya apa maumu, sih?! Kita bahkan tidak kenal, kan?” Karena terlalu muak, aku menghentikan langkahku lalu menatapmu dengan sangat tajam.
Hujan mulai mereda kala itu. Berkebalikan dengan suasana hatiku yang disebabkan olehmu.
"Aku tidak ingin apa-apa. Hanya ingin kau belajar untuk melihatku dan melupakan sepupuku itu!”
Ucapanmu membuatku bingung. Keningku berkerut. Meminta penjelasanmu.
Kamu tidak langsung menjawab. Hanya tersenyum samar dan membuatku semakin bingung. Lalu perlahan mulutmu terbuka. Mengucapkan sesuatu.
"Setidaknya, belajarlah untuk benar-benar melihatku. Aku akan selalu ada untukmu. Aku janji!"
**
Sore di saat hujan mulai mereda itu adalah awal pertemuan kita, bukan? Aku tidak menghiraukan perkataanmu. Malah meninggalkanmu dengan menyetop taksi yang lewat. Membiarkanmu melongo di tempatmu.
Hingga hari-hari setelah sore basah itu kau terus menggangguku. Mengusik segala rutinitasku. Dan semua hal yang kau lakukan itu mulai membuatku berpikir; apa salahnya untuk mencoba.
Dan percobaanku yang hanya main-main itu membuahkan hasil. Aku benar-benar melihatmu. Bahkan melebihi saat aku melihat sepupumu yang kini sudah dua tahun di Dubai.
Ya dua tahun. Kita sudah bersama selama itu. Beriringan dalam waktu dua kali bumi mengelilingi matahari. Kau selalu bersikap manis kepadaku. Selalu memperlakukanku dengan segala cara berbedamu. Dan membuatku merasa bahwa aku adalah gadis paling beruntung karena telah terpikat padamu.
Tapi tidak…
Hingga sore itu kau mulai berubah. Sore saat gerimis mulai merintik. Saat aku terjebak di stasiun kereta setelah aku baru sampai dari kampung halamanku karena menengok ibuku yang sedang sakit. Aku meneleponmu untuk menjemputku. Apa jawabanmu? Aku tak pernah melupakan kalimat-kalimat yang terucap dari mulutmu sore itu. Kau merutukku. Mengataiku bahwa aku telah mengusik sore tenangmu. Dan di sana, di sampingmu kurasa, ada suara lain yang berbeda. Suara itu lembut. Suara wanita. Bukan ibumu tentu saja karena aku sangat mengenali suara ibumu. Apalagi adikmu yang masih berusia lima tahun. Kau… bersama gadis lain? Siapa dia?
Dan tepat tiga hari setelah sore itu, aku diberitahu temanku jika dia sempat memergokimu dengan gadis lain di sebuah pusat perbelanjaan. Kau merangkulnya dengan mesra. Kau menatapnya seperti kau menatapku.
Aku langsung menyangkal ucapan temanku jika kau telah berpaling dariku. Tentu saja aku melakukan itu karena aku percaya padamu seutuhnya. Kau takkah melakukannya, bukan? Kau takkan melukaiku, bukan?
Hingga keesokan harinya, mataku sendiri yang seakan ingin meyakinkanku akan ucapan temanku. Kau… di sana… tertawa… bersama gadis lain!
Aku langsung menghampirimu. Air mataku sudah pecah sebelum mulutku membentakmu –meskipun nyatanya aku takkan bisa berkata kasar padamu. Satu kata yang mulutku keluarkan saat aku sudah di depanmu; putus!
**
Ya, sore di penghujung November dengan rintik yang sama seperti kala itu. Menggigilkan tubuhku. Kali ini tidak ada yang mau memberiku keteduhan seperti saat kau mengulurkan payung biru mudamu. Bedanya, sore ini tidak ada lagi tawa konyol seperti tawa milikmu. Dan lagi, ada sebagian ruangan dalam diriku yang kosong dan entah kapan bisa terisi lagi.
Sekarang, aku hanya merasa bahwa memang sebaiknya aku menutup diri dari semuanya karena masih mencintai seseorang. Bedanya, bukan sepupumu yang menjadi alasanku, melainkan kamu. Kamu yang sudah menyadarkanku bahwa perpisahan itu nyata dan tak bisa kita elakkan. Perpisahan itu selalu mengiringi perjumpaan.
Dan kini, aku hanya bisa mendoakan segala yang terbaik untukmu dan –mungkin– pasangan barumu itu. Kudoakan agar perpisahan tidak menjumpai hubungan kalian secepat saat menjumpai hubungan kita dulu. Jikapun kau dan dia berpisah lebih cepat daripada kita dulu, semoga itu hanya karena waktu yang tak mengizinkan kalian memiiki hubungan lagi. Bukan karena orang lain ataupun pupusnya rasa yang kaumiliki untuknya.
Aku takkan pernah menyesal telah mengenalmu. Karena bagaimanapun, kau pernah mengisi sejarah dalam hidupku.
******

PS:
1. gambar unduhan dari google xD
2. Cerita terinspirasi dari puisi Amal dan Azim :)
3. Cerita persembahan untuk 12 IPA4 yang akan berpisah dengan Pak Praja :3

Komentar

  1. Balasan
    1. disuruh ngomen kok cuma wew yang keluar tho, Mas? -_-

      Hapus
  2. Bagus ceritanya, Luc :D tapi menurutku alurnya kecepetan ._.
    Paling suka bagian ini --> "Jikapun kau dan dia berpisah lebih cepat daripada kita dulu, semoga itu hanya karena waktu yang tak mengizinkan kalian memiiki hubungan lagi. Bukan karena orang lain ataupun pupusnya rasa yang kaumiliki untuknya." :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Uuuuhhh makasih, El, udah mau baca :D Mampir-mampir lagi yah nanti :3

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer