ELEGI (dimuat di Story Magz edisi 49)
Nisha,
cewek cantik nan pintar yang 2 tahun terakhir ini mengisi seluruh ruang di hati
juga pikiranku. Dia cewek berada yang berpenampilan sederhana. Cewek berjilbab
dengan rupa dan hati yang cantik.
Aku
terus berusaha menenangkan hatiku yang terus gusar menunggu kehadiran Nisha di
sekolah. Aku memang sudah menyusun segala rencana untuk membuktikan kepadanya
bahwa cintaku ini memang tulus. Keinginanku untuk menjadi pacarnya sungguh
besar. Lebih besar daripada Gunung Jaya Wijaya di Papua sana.
Sudah
lima kali aku menembak Nisha untuk jadi pacarku. Dan lima kali juga dia
menolakku. Namun, aku tidak pernah merasa lelah untuk mengejar cintanya itu.
Sungguh, menurutku dia adalah sesuatu yang sangat berharga yang pantas
diperjuangkan sampai tetesan darah terakhir. Dia sangat berharga melebihi
berlian termahal sekalipun.
Aku
masih ingat bagaimana usahaku saat menyatakan cintaku pertama kali kepadanya. Jantungku
rasanya berdetak seribu kali lebih cepat bahkan aku bisa mendengar detak
jantungku sendiri. Suaraku pun tergagap saat aku bilang kalau aku menyukainya
sejak pandangan pertama. Namun, bulan belum tersenyum. Nisha hanya menggeleng
saat aku bertanya apa dia mau menjadi pacarku. Aku tahu waktu itu terlalu cepat
untuk bertanya seperti itu. Karena aku baru mengenalnya dua bulan saja. Yaitu
saat pertama masuk kelas sebelas. Sebelumnya, aku belum mengenalnya saat kelas
sepuluh dulu.
Acara
penembakan pertama gagal. Begitupun dengan yang kedua, ketiga, keempat, dan menurutku
yang paling mengesankan adalah yang kelima. Suwer,
itu pengalaman yang takkan pernah aku lupakan.
Hari
itu aku sengaja menggunakan sepeda menuju sekolah. Itu untuk mendukung rencana
gilaku itu. Karena Nisha biasa menggunakan sepeda ke sekolah.
Saat
bel pulang berbunyi, aku membuntutinya dari belakang. Dia tidak langsung
pulang. Dia mampir dulu ke perpustakaan sekolah. Setengah jam lebih aku
menguntitnya di perpus.
Seusai
dari Perpus dia mampir ke sebuah kafe. Waduh, gila saja kalau aku menguntitnya
masuk. Karena kan harus makan dan pastinya mahal. Nggak punya uang aku buat
bayar. Dan akhirnya aku hanya menunggunya di depan saja. Tentunya di tempat
yang tidak mudah terlihat olehnya, tapi aku mudah melihatnya. Namun, ternyata
dia kesana tidak untuk makan. Dia hanya mengobrol dengan pemilik tempat makan yang
ternyata adalah Omnya. Itu aku ketahui setelah bertanya pada teman akrabnya, si
Shanti.
Ia
melanjutkan perjalanan pulangnya kembali. Tepat di pertigaan jalan aku
mencegatnya. Dia sempat menjerit kaget akan kehadiranku. Akupun langsung menyeretnya
ke trotoar agar tidak menghalangi pengendara yang mau lewat, kebetulan waktu
itu tidak ada pejalan kaki. Aku menembaknya disitu juga. Namun, yang aku terima
malah sebuah tamparan. “Nggak sopan kamu! Ini tempat umum! Dan kau tahu?
Sepedamu itu menghalangi pengendara lain!” gertaknya lalu pergi meninggalkanku.
Ternyata tadi sepedaku masih dijalanan.
“Woi!
Nglamun aja. Tuh, Nisha udah datang.” Tiba-tiba Seno membuyarkan lamunanku. Dan
benar saja yang kutunggu-tunggu sudah nongol.
Aku
menghampirinya yang masih mengayuh sepeda. Berdiri di depannya. Dan dengan
cepat dia mengerem sepedanya.
“Ada
apa sih, Ndre?” dia turun dari sepedanya dan bertanya bingung.
“Ada
sesuatu yang mau aku omongin,” ujarku dengan kaki gemetar. Dia hendak bicara.
Tapi, aku langsung memotongnya.
“Aku
benar-benar mencintaimu Nis. Suwer
deh, demi apapun. Apa kau tahu hal yang paling membuatku senang? Itu saat aku
menyadari bahwa ada kamu di hatiku. Dan kau tahu apa penyemangatku? Itu adalah
saat dimana aku memikirkanmu. Dan kau tahu hal yang paling berkesan untukku?
Itu saat kamu menamparku.” Aku menarik nafasku. Ngos-ngosan juga ngomong sekali
nafas.
“Aku
tahu aku tidak sempurna Nis. Tapi, hidupku ini sudah sempurna dengan
mencintaimu selama ini. Aku memang bodoh, tapi aku tidak cukup bodoh untuk
menyadari kalau kamu itu pantas untuk dicintai. Nis, apa kamu mau jadi
pacarku?” Aku menatap Nisha. Dalam. Setengah memelas juga tatapanku kali ini.
“Aku tidak memaksa Nis. Kalaupun kamu tidak
menerimaku nggak apa-apa.” Aku mencoba tersenyum. Nisha hanya berdiri mematung
di depanku.
“Ayolah
Nis, terima tuh si Andre. Kasihan dia, tiap malem ngigau kamu terus.” Seno
bersuara. Aku memang sengaja menyuruh teman-temanku menyaksikan ini. Karena
kurasa ini adalah perjuangan terakhirku. Dan jika aku ditolak lagi oleh
bidadari di depanku ini, aku hanya akan mencintainya secara diam-diam tidak
terang-terangan lagi seperti ini.
Tiba-tiba
kulihat Nisha mengangguk. Aku bingung. Apa maksud anggukan dia?
“Aku
mau jadi pacar Andre.” Dia tersenyum. Semua anak-anak bersorak. Aku hanya
melongo seperti orang dungu.
“Beneran?
Kamu jangan main-main Nis. Bisa-bisa aku pingsan ini.” Aku masih tidak percaya.
Dia hanya tersenyum.
**
“Pulang bareng ya J” ku
kirim sms ke Nisha. Mungkin ini konyol. Dia duduk di belakangku tapi aku
mengiriminya sms untuk bilang seperti itu saja. Tapi, nggak apa-apalah. Dia
bidadariku sekarang.
Aku
menengok ke belakang. Dan kudapati senyum Nisha yang menghiasi wajah cantiknya.
“Ehem,
yang baru jadian.” Shanti menyindirku. Dan kulihat pipi Nisha bersemu merah.
**
Bel
pulang berbunyi. Semua anak telah menghambur keluar. Aku tengah membantu Nisha
membereskan buku-bukunya.
“Banyak
banget sih bawa bukunya?” ujarku.
“Ini
kan buku-buku pelajaran hari ini, Ndre.” jawabnya sambil memasukan bukunya ke
dalam tas.
“Bukuku
nggak sebanyak punyamu,”
“Itu
karena kamu malas, Andre.” Dia menyunggingkan senyumnya.
“Hehe.”
Aku nyengir. “Udah semua kan? Yuk pulang.” Aku menggandeng tangannya.
“Aku
haus. Beli minum di kantin dulu ya,” ujarnya lembut.
“Iya
deh. Apa sih yang nggak buat kamu?” Lagi-lagi dia hanya tersenyum.
Aku
sungguh menyesal, kenapa letak kantin sedekat ini. Jadinya kan aku hanya
sebentar menggandeng tangan Nisha.
“Bu,
es jeruknya dua.” Ujarku pada Ibu kantin.
Aku
duduk di depannya. Aku terus tersenyum memandanginya. Dan, aku masih tidak
menyangka bisa duduk dihadapannya sebagai pacarnya. Padahal dulu, hal ini hanya
sebuah mimpi bagiku.
“Kenapa
senyum-senyum gitu?” ujarnya bingung.
“Kamu
cantik,” aku masih menatapnya.
“Ndre,
kenapa kamu suka sama aku sih?” pertanyaannya membuatku berhenti menatapnya.
Kebetulan minuman sudah datang.
“Karena
kamu itu lebih istimewa dari hal yang paling istimewa.” Mukanya kembali bersemu
merah. “Kamu ikhlas nerima aku, Nis?” sambungku lagi.
“Kenapa
kamu bertanya seperti itu?’
“Aku
rela kamu menolakku sampai seribu kali, asalkan kamu bahagia. Tapi, jika kamu
menerimaku karena hanya kasihan denganku dan menjadikan kamu tidak bahagia, aku
tidak rela.” Jelasku.
“Aku
bahagia dicintai kamu,” ujarnya lalu meminum es jeruknya. “Ndre, apa kamu
tahu?” dia berhenti meminum es jeruknya dan menatapku.
“Apa?”
“Kamu
itu hal terindah yang aku lihat di dunia ini.” Dia tersenyum kembali.
“Maksudmu?
Kamu selama ini juga suka sama aku?” aku kaget. Dia mengangguk. “Terus? Kenapa
kamu menolakku terus?”
“Kamu
tidak tahu, Ndre. Selama ini, semua orang mengira aku ini beruntung dan
sempurna. Tapi, sebenarnya tidak. Kedua orang tuaku meninggal karena kecelakaan
pesawat saat aku kecil Ndre. Yang kalian anggap sebagai Ayah dan Ibuku selama
ini hanya sahabat dari kedua orang tuaku yang berbaik hati menggapku sebagai
anak kandungnya. Aku sangat mencintai mereka. Tapi, mereka sungguh kurang
beruntung. Mereka mandul dan tidak pernah bisa memiliki anak. Dan sejak aku
tahu hal itu, aku bertekad untuk selalu membahagiakan mereka. Mereka terlalu
berharga untukku. Satu-satunya jalan aku harus selalu jadi bintang kelas untuk membuat
mereka tidak kecewa telah merawatku selama ini. Dengan tidak berpacaran aku
lebih fokus belajar. Tapi, setelah melihatmu aku tidak bisa memungkiri bahwa
aku suka sama kamu. Sangat sakit saat aku menolak dan menamparmu dulu.”
Jelasnya panjang lebar.
“Ku
kira aku tahu segalanya tentangmu,” ujarku lirih.
“Tidak
semua orang tahu semua hal tentang orang yang dikasihinya. Bahkan seorang ibu
pun tidak mengetahui segala hal tentang kehidupan anaknya.”
Sesaat
kami hening. Nisha yang selama ini ceria ternyata menyimpan banyak kepahitan
dalam hidupnya.
“Kamu
pasti senang ya selalu berkumpul dengan kedua orang tuamu. Aku ingin menemui
kedua orang tuaku dan melihat senyuman mereka suatu saat nanti.” Air matanya
mulai jatuh.
“Semua orang punya porsi sendiri-sendiri untuk
menikmati hidup dengan kedua orang tuanya Nis. Kamu sangat beruntung pernah
melihat kedua orang tuamu walaupun itu hanya sebentar. Kamu tahu? Anak-anak di
panti asuhan sebagian besar dibuang oleh orang tuanya,” aku berpindah tempat
duduk menjadi di sebelahnya.
“Aku
akan selalu berada disampingmu dan berperan sebagai banyak sosok untukmu.
Sebagai Ibu yang akan selalu menjagamu, sebagai Ayah yang akan selalu
melarangmu saat kamu melakukan hal yang tidak baik, sebagai sahabat yang selalu
mendengarkan keluh kesahmu, dan sebagai diriku sendiri yang berperan sebagai
kekasihmu.” Aku membelai kepalanya.
“Aku
hanya bercerita ini ke kamu. Dan kamu orang terakhir yang aku cintai.”
Tiba-tiba ia menyandarkan kepalanya di bahuku. “Pulang?” ujarnya lirih. Dia
kembali menegakkan kepalanya.
“Bu,
uangnya di meja ya.” Aku menggendong tasku dan menjinjing tas Nisha. Ku kira
punggungnya sangat kuat untuk menggendong tas seberat ini.
**
Sepanjang
perjalanan pulang, kami terus bercanda. Sesekali aku minta berhenti untuk
istirahat karena hawanya sangat panas siang ini. Juga agar aku bisa lebih lama
dengannya.
“Ndre,
mampir ke Kafe itu dulu ya.” Dia memintaku berhenti di sebuah kafe yang dulu
pernah kulihat dia kesana untuk menemui Omnya itu. Aku hanya menggangguk.
Dia
memarkirkan sepedanya lalu cepat dia masuk ke dalam. Tapi, baru ia akan membuka
pintu sesosok pria sudah keluar.
“Om,
Mama bilang nanti jadinya 25 porsi ya,” ujarnya.
“Oh
iya, beres.” Ujar pria itu dengan mantap. “Eh ini siapa? Pacarmu ya?” beliau
memandang ke arahku.
“Ini
Andre, Om.” ujar Nisha memperkenalkanku, pipinya bersemu merah.
“Udah ya Om. Aku pulang dulu.” Nisha salah
tingkah.
“Hati-hati
ya.” Ujar beliau menasihati.
Kami
kembali meneruskan perjalanan kami.
“Nis,
tadi makanan 25 porsi itu untuk apa?” tanyaku penasaran.
“Mamaku
biasa memberi makan anak-anak di panti asuhan. Dia masih berharap Allah segera
memberinya anak. Padahal dokter sudah memvonis beliau mandul seumur hidupnya.”
Dia terlihat mengusap pipinya.
“Kamu
nangis? Sudah ah, jangan sedih terus. Kamu ingat pertigaan di depan?” aku
menunjuk pertigaan di depan kami.
“Tempat
aku menamparmu dulu,” dia tersenyum.
“Bagaimana
kalau kita balapan menuju sana?” tantangku ke dia.
“Boleh.
Yang kalah ditampar ya?”
“Oke
deh.” Aku menerimanya.
Aku
dan Nisha bersiap-siap untuk menggowes sepeda kami.
“Hitungan
tiga jalan ya,” ujar Nisha. Aku mengangguk. “Baik. Satu… Tigaaaa…” dia mengayuh
sepeda duluan. Wah, mau curang ternyata.
Aku
hanya tersenyum memperhatikannya mendahuluiku. Ah, Nisha… Nisha… kamu memang
segalanya untukku.
Aku
mulai mengayuh sepedaku. Sedangkan Nisha sudah jauh di depanku dan hampir
sampai di pertigaan. Biarlah aku ditamparnya lagi. Namun kali ini tamparan
sayang. Aku tersenyum sendiri sambil menggowes sepedaku.
“Biiiiip…”
aku mendengar klakson mobil. Aku menoleh ke belakang karena aku sudah merasa di
pinggir. Ya Allah, Nisha? Dia ada di depanku dan berada di tengah jalan. Sebuah
mobil melaju dengan kencangnya melewatiku.
“Nishaaa…”
aku berteriak dan mempercepat laju sepedaku.
Nisha
sempat menoleh ke belakang, tapi ia tak sempat minggir. Dan… Braght!
Aku
melempar sepedaku ke pinggir dan segera berlari ke arahnya. Darah mengucur di
aspal. Bau anyir tercium. Matanya menatap nanar.
“Ndre?”
ujarnya lirih. Air mataku mulai jatuh. “Kamu kalah.” Dia mencoba tersenyum. “Kamu
harus ku tampar.”
Beberapa
orang menghampiri kami. Ada yang menghentikan taksi. Dan ada yang membantuku
membopong Nisha. Darah masih mengalir. Aku masuk taksi menuju rumah sakit
terdekat.
“Ndre?”
dia berkata kembali. “Kamu jangan curang. Aku harus menamparmu.” Tangannya
mencoba meraih pipiku.
“Nis,
iya aku kalah. Aku tidak curang. Aku akan menyerahkan pipiku untuk kau tampar.
Tapi, kamu harus selamat, Sayang.” Aku memegang tangannya.
“Aku
tidak butuh untuk diselamatkan. Aku bahagia sekarang. Aku akan melihat senyum
ayah dan ibuku. Aku hanya butuh Pipimu,” dia mencoba meraih pipiku kembali.
“Jangan
berkata seperti itu. Kamu akan selamat. Tamparlah pipiku. Seribu kalipun aku
mau. Tapi, kamu harus selamat.” Air mataku terus menetes.
“Dekatkan
Pipimu,” ujarnya semakin lirih. Aku mendekatkan pipiku dan tiba-tiba… Cup! Dia
mencium pipiku.
“Aku sangat menyayangimu, Ndre.”
Tangannya terkulai lemah. Kurasakan jantungnya tak lagi berdetak. Nadi
tangannya tak lagi berdenyut. Nisha… aku yakin kamu akan selamat. Kalaupun
tidak, aku yakin ini hanya mimpi. Air mataku semakin deras mengalir.
Komentar
Posting Komentar