Menunggulah

find the real "patient"

Kala itu malam tak berbintang sama sekali. Gelap gulita dan sangat menggigilkan tubuh.

Entah untuk yang keberapa kalinya aku memandang ke langit. Berharap satu bintang saja muncul dan menyapaku. Namun, itu seakan pengharapan bodoh yang terus kulakukan.

Aku lelah menunggu. Sudah tiga puluh menit aku di sini. Di pinggir jalan yang terlihat lebih sepi dari biasanya. Aku ingin menyerah.



Namun, seketika aku tertegun ketika ada seorang perempuan yang duduk di sampingku. Mukanya sembab. Aku agak terkejut dengan kehadirannya. Lingkar matanya bahkan sangat jelas. Astaga, dia bukan hantu, kan? Kehadirannya, benar-benar ingin membuatku menyerah.

Aku hendak berdiri dari dudukku. Bergegas pulang dan tidur. Aku lelah menunggu sesuatu hal yang tak pasti. Akan tetapi, perempuan bermata sendu itu berujar lirih. Aku tak dapat mendengarnya secara jelas. Itu bahkan seperti bisikan angin yang hanya numpang lewat saja.

"Aku juga lelah menunggu," ujarnya dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya.

Aku memandangnya curiga. Merasa aneh dengan pengakuannya.

"Kamu juga sedang menunggu sesuatu? Atau bahkan seseorang? Sama sepertiku?"

Lagi-lagi, aku hanya diam. Tidak tahu harus merespon apa. Lagian, ucapannya tak patut direspon. Tunggu, sebenarnya bukan ucapannya. Dia bertanya dan itu seharusnya dijawab. Namun, sosoknya yang datang secara tiba-tiba--yang sebelumnya aku tak tahu dia darimana--juga statusnya yang tak kukenal, membuatku kikuk untuk menjawab.

"Aku sudah tiga tahun menunggunya. Dia, lelaki yang sanggup menyihirku sejak pertama bertemu. Oh, tidak. Bukan sejak pertama bertemu, tapi sebelum kami bertemu. Ya, aku jatuh cinta sebelum pandangan pertama."

Terdengar dengan jelas jika dia mengembuskan napasnya dengan lumayan keras. Namun, aku terlalu malas untuk memandangnya lagi.

"Dia sering mengacuhkanku. Aku sering bertindak bodoh untuknya. Aku sering mempermalukan diriku sendiri di depan orang lain hanya untuknya. Tapi, aku tetap saja menunggunya untuk melihatku meskipun hanya semenit. Berbicara kepadaku meskipun hanya satu kata saja. Dan memandangku meskipun harus terputus oleh kedipan matanya."

Aku mulai jengah. Dia terlalu mudah mengocehkan hal pribadinya. Dan, tahu apa aku tentang kehidupannya? Peduli apa aku tentang hidupnya? Aku tak mengenalnya. Aku bukan seorang psikolog yang akan dengan suka rela memberinya solusi atas apa yang ia ceritakan padaku.

Akhirnya, aku memutuskan untuk beranjak. Meninggalkannya yang sepertinya tak berniat untuk berhenti mengoceh.

"Ingat satu hal, tak selamanya menunggu adalah hal yang membosankan. Meskipun pada akhirnya akan berakhir sia-sia, tapi sesuatu yang kautunggu telah berbuat baik padamu. Dia telah dengan senang hati melatihmu untuk bersabar. Tetap tunggu apa yang kautunggu."

Aku agak tertegun dengan petuahnya. Benar. Tapi, ini bahkan sudah mulai gerimis. Jika aku masih berharap bintang akan muncul malam ini juga, aku orang yang bodoh.

Tapi,...

Aku menoleh untuk memberitahunya untuk menyingkir dari tempatku semula. Tapi, saat itu juga aku melihatnya juga sudah beranjak dari sana. Berjalan berlawanan arah denganku. Dan, berjarak beberapa meter di depan perempuan itu, seorang pria menghampirinya dengan senyum mengembang. Saat mereka sudah saling dekat, pria itu memeluk perempuan bermata sendu itu. Merangkulnya dan berjalan beriringan.

"Itukah pria yang ditunggunya selama tiga tahun itu?" ucapku begitu saja.

Seketika, aku tersadar. Ehm, bukankah itu bukan urusanku?

Aku melanjutkan langkahku. Gerimis mulai menjelma menjadi hujan. Ini, semakin menyiratkan bahwa jika aku tadi terus menunggu bintang malam ini, semuanya akan sia-sia belaka.

Komentar

Postingan Populer