Untukmu, yang Mungkin Masih Ragu
Terkadang, aku bisa menghabiskan seluruh waktuku hanya untuk memikirkanmu. |
Hai, kamu yang
akhir-akhir ini hadir di segala pengandaian baikku. Aku di sini, di detik
lalu-sekarang-dan-nanti masih memikirkanmu. Apa kau juga sama?
Sudah berapa lama kita
dekat? Sudah berapa lama kita kenal lalu memutuskan untuk saling memanggil
dengan aku-kamu—sebuah panggilan yang jauh lebih halus dibanding gue-lo, lebih
akrab dan santai dibanding saya-anda? Apa kamu tahu, seberapa indahnya
panggilan itu untukku? Seberapa pentingnya untukku? Sangat indah dan penting
hingga aku berpikir kita akan melangkah ke anak tangga selanjutnya yang lebih
tinggi lagi untuk sampai ke puncak lebih cepat dengan jemari kita saling
menaut.
Aku menaruh harap, asa, dan kebahagiaan padamu. Boleh kah? |
Untukmu, yang mungkin
masih ragu…
Beberapa waktu lalu,
saat kita keluar menusuri jalan setapak hanya untuk sekadar menikmati udara
malam dan langit berbintang, aku sempat berkata padamu tentang hal yang
kucurigai akan menegaskan masalah kecil di antara kita. Yang bisa saja
membuatmu berpikir tentangku dengan pandangan negatif. Aku terlalu
matrealistis, misalnya.
Tapi, perlu kamu tahu,
aku tidak pernah mempermasalahkan seberapa banyak gunungan emas yang kaupunyai.
Aku tidak akan pernah mempedulikan pakaian merk apa yang kamu kenakan setiap
kita berjumpa. Aku tidak akan pernah menyinggung tentang hadiah yang kauberikan
ketika aku berulang tahun—entah itu hanya sebuah ucapan tanpa kado pun, aku tak
mempermasalahkannya. Yang kubutuhkan hanya fakta bahwa kau adalah pemuda yang
tepat untuk kuagungkan di depan Ayah-Ibuku. Tentangmu yang giat bekerja, pintar
dalam berpikir—hingga selalu menang saat kita mendiskusikan sesuatu—selalu
cepat melengkungkan senyum di wajahku saat aku cemberut, dan membuat segala
burukku berubah menjadi baik hanya karena ucapan konyolmu.
Aku bukan tipe gadis
royal yang akan cemberut saat kau tidak membelikanku tas merk terkenal sekelas
Hermes. Aku justru akan dengan senang mengumbar foto kado pemberianmu yang
meskipun itu hanya berupa boneka kecil yang muat dalam bungkusan satu kertas
kado. Asalkan itu kauusahakan dengan penuh niat, kau memberikannya dengan amat
tulus, aku akan dengan senang hati menerimanya.
Untukmu, yang mungkin
masih ragu…
Tahukah kamu seberapa
kuat kau menyedot perhatianku selama kita kenal? Seberapa gelisahnya aku saat
tak ada kabar satu pun yang kuterima darimu? Seberapa sering aku membaca ulang
teks-teks yang kaukirim untukku? Dan, seberapa sering aku tersenyum hanya
karena aku teringat tentang senyummu?
Terlalu kuat. Terlalu
banyak. Terlalu sering.
Karena selalu ada senyum yang berhasil kau torehkan di wajahku olehmu. Bukankah itu keahlian paling menakjubkan darimu? |
Untukmu, yang mungkin
masih ragu…
Aku selalu
bertanya-tanya apakah aku juga akan begitu berpengaruh dalam harimu dan dapat
membuatmu gelisah saat aku tak membalas pesanmu? Aku selalu bertanya-tanya
apakah kita bisa memiliki komitmen yang lebih tinggi dibanding hubungan kita
sekarang yang sebagai teman/kenalan/rekan? Aku bertanya-tanya apakah suatu hari
aku berhak merasa cemburu saat aku melihat percakapan seru antaramu dan teman
gadismu yang lain?
Hingga kemudian, aku
menangkap gurat itu…
Apa kita bisa terus begini? Hanya bahagia di antara kita. |
Aku mendapati pipimu
tersipu saat aku memujimu di malam gerimis saat kita meneduh di warung pinggir
jalan. Dan, melihat sapuan merah di kulit kecokelatanmu itu, aku ikut
tersipu—aku tak tahu kau menyadarinya atau tidak.
Lalu, sejak saat itu,
aku terus bertanya-tanya, “Apa benar kau juga merasakan hal yang sama dengan
apa yang kurasakan terhadapmu? Perasaan yang lebih dari teman? Lebih dari
sekadar kenalan?”
Namun, jika itu benar,
kenapa kau tak kunjung mengungkapkannya padaku? Apa kau malu? Tapi, setahuku,
kau bukan tipe pemuda menye-menye yang akan cepat minder. Kau adalah tipe
pemuda tegas yang tak akan pernah ragu mengungkapkan isi pikiran dengan catatan
kau memang yakin.
Oh, tunggu… Jadi, aku
benar? Kau masih ragu? Kurang yakin terhadapku? Kenapa?
Selama kita dekat lebih
dari setengah decade ini, apakah kau
tak pernah memergokiku tersipu saat kau memujiku? Apa kau tak pernah menangkap
gurat malu-malu saat kau tak sengaja menyenggol lenganku saat kita berjalan
bersisian? Apa kau tak pernah menangkap seberapa senangnya aku saat kau
mengajakku keluar bersama meskipun itu hanya sekadar makan di pinggir jalan? Apa kau tak pernah mendengar seberapa kencangnya jantungku berdetak saat kau tiba-tiba menarik lenganku? Astaga, kukira kau terlalu bodoh jika tidak pernah melihat itu.
Untukmu, yang mungkin
masih ragu…
Bacalah ini, maka kau
akan yakin terhadapku. Bacalah ini maka kau akan tahu tentangku yang menaruh
harap terhadapmu. Bacalah ini maka kau akan tahu tentangku yang selalu mengidap
kegelisahan kronis saat kau larut dalam kegiatanmu sehingga aku berpikir bahwa
kau melupakanku.
Dan, tergurlah aku jika
ternyata aku salah telah menaruh hati padamu. Aku akan dengan senang hati
meminta maaf dan menjauhimu—jika memang itu yang kaumau.
Jika memang ini yang kauinginkan, tak apa jika di akhir kisah ini hanya aku yang mencecap rasa. Silahkan biarkan aku pergi dari sisimu--entah perlahan atau semakin-cepat-semakin-baik. |
Komentar
Posting Komentar