[Kampus Fiksi] Bidadari Tak Bersayap



Dia buta.
Dia tuli.
Dia lumpuh.
Dia lemah.
Dia mati jika tak bersayap.


Kau lihat gadis cantik bermata hazel di seberang sana? Ya, yang sedang tersenyum manis dengan pandangan menunduk. Dia bidadari. Kau tak percaya? Karena dia tak memiliki sayap? Dia hanya menyembunyikan sayap indahnya di dalam punggung. Andai dia membentangkannya, maka  luasnya akan menutupi seluruh rumahmu. Seluruh pekaranganmu. Bahkan seluruh hati lapangmu.

Kau tahu sudah berapa lama dia berdiri di sana? Tiga jam yang lalu. Bagimu sebentar? Tunggu dulu, kau harus mendengarkan ini berarti. Tiga jam kita hanya 180 menit, kutahu. Tapi, 3 jam di kahyangan adalah 180 tahun. Jauh lebih lama dan jauh lebih membosankan. Dia memang di bumi, tetapi jiwanya tetap merasakan tempat asal.

Tunggu, kau mengira jika negeri di atas awan lebih cepat dibanding di bumi? Heh? Kau ternyata salah satu dari sekian ribu manusia bodoh yang percaya akan dongeng itu? Tak kusangka!

Dan, apa kau tahu untuk apa dia bersabar menunggu dengan tenang selama 3 jam di sana? Sendirian di antara lalu lalang manusia? Manusia kotor yang berbau amis. Manusia bertanduk yang tak segan menyeruduk keluarganya. Manusia gila yang berhaha-hihi di atas tangis temannya. Bidadari cantik itu sedang menanti kawan lamanya. Kawan lama yang akan mengunjunginya. Kawan karib yang sangat ia rindukan. Yang akan menjemputnya kembali ke kahyangan.

Namun, sayang sekali bidadari cantik itu tak tahu satu hal kecil yang disembunyikan kawan bersayapnya itu. Ialah membawanya kembali ke atas awan... tanpa sayap!

*** 

Namanya Biru. Hanya Biru. Dia bidadari tercantik di kalangan bidadari lainnya. Kulitnya paling indah dan akan bercahaya jika tertimpa sinar mentari. Halus kulitnya mengalahkan kapas paling ringan. Tawanya indah dan membuat semua orang bahagia. Sayapnya bagaikan bulu angsa yang terawat rapi. Pembedanya hanya ukurannya yang jauh lebih besar.

Akan tetapi, Biru tak pernah ingin terlahir sebagai bidadari. Tak pernah mau meskipun orang tuanya pemimpin paling disegani di kahyangan. Tak pernah ingin meskipun dia dicintai banyak teman-temannya.

Dulu alasannya hanya satu: kahyangan terlalu membosankan. Di mana-mana terbentang hamparan lembah berwarna putih bersih bak salju yang tak pernah tercampur lumpur. Udara terlalu bersih hingga rasanya ia tak bernapas. Makanan terlalu lezat hingga ia bosan makan. Dan, waktu terlalu lama untuk dilewati hanya dengan berlarian dari lembah permai satu ke lainnya bersama banyak kawan yang tak pernah ia ingat namanya satu persatu, saking banyaknya.

Hanya Deza yang ia kenal. Hanya Deza satu-satunya bidadari yang menarik perhatiannya. Yang membuatnya mampu bertaham di sela kebosanannya di kahyangan.

Deza adalah pemuda paling tampan di mata indah Biru.

Tunggu! Kau tak pernah menganggap jika istilah bidadari hanya dipakai untuk mereka yang hidup di kahyangan dan berjenis perempuan, bukan? Jika ya, maka kebodohanmu bertambah tingkatannya berkali-kali lipat.

Bidadari hanya istilah seperti manusia, hewan, dan tumbuhan. Di dalamnya masih ada 2 golongan. Perempuan dan lelaki. Jadi, lupakan istilah bidadara sekarang juga. Itu tak pernah ada di kamus pada makhluk di kahyangan.

Biru selalu bahagia jika bersama Deza. Meskipun itu hanya menghabiskan waktu berdua dengan memakan hidangan lezat yang di lidah Biru terkecap sebagai makanan membosankan. Atau hanya saling berbaring memandang hamparan lembah putih yang begitu--lagi-lagi--membosankan.

Namun, kebahagiaan tersebut sirna saat Biru tahu jika Deza tidak pernah menyukainya. Deza mencintai bidadari lain. Bidadari yang sampai kapan pun tak mau Biru tahu namanya. Bidadari yang bagi Biru jauh tak lebih cantik darinya.

Saat Deza dan bidadari tercintanya itu menikah, Biru lumpuh selama setahun karena terjatuh dari lembah saat berlari menjauh dari pesta pernikahan Deza dan kekasihnya. Sayap kirinya terkilir parah. Sayapnya yang tadinya putih, saat itu berwarna biru legam. Hanya sebelah kiri. Jadilah Biru berjalan timpang, tak bisa terbang, hanya bisa berbaring lemah selama setahun di ranjang besar yang megah.

Itu puncak kebosanan Biru sebagai bidadari. Di antara kesakitannya itu, Biru selalu memohon kepada Sang Pencipta Semesta supaya dia tak pernah dilahirkan sebagai bidadari. Supaya dia musnah dari kahyangan. Supaya dia hilang tak berbekas. Tanpa ada yang mengingatnya. Tanpa ada yang mencarinya.

Keajaiban, sehari setelah sayapnya kembali memutih, Biru terbangun di padang rumput luas. Hijau. Bukan putih. Mata indah Biru saat itu membulat. Takjub dengan pandangan di sekelilingnya. Saat itu pula, ia percaya jika dongeng tentang Bumi benar adanya. Bukan bualan para pendongeng ulung. Dia... di bumi!

Namun, ia merasa ada yang salah. Ia tak punya sayap dan ia tidak lemah. Ia merasa bugar seperti sehabis penyegaran sayap. Dan, barulah ia sadar jika sayapnya hanya tersembunyi di balik kulit punggungnya, seminggu kemudian. Saat ia bermimpi terbangun di lembah putih kahyangan. Saat seseorang menuturkan ajaibnya sayap terlipat. Entah siapa, Biru tak tahu.

Berbulan-bulan Biru hidup di bumi. Biru tak menemukan teman. Baginya, manusia itu kejam. Terlebih, tampang manusia yang sering digambarkan oleh pendongeng di kahyangan berbeda dengan kenyataannya. Kata pendongeng, manusia itu rupawan. Tapi, kenyataannya manusia itu buruk rupa. Mereka bertampang seperti makhluk kerdil di kahyangan. Bedanya, tubuh manusia sama seperti tubuhnya. Tinggi, tegap, dan berjalannya tak pincang. Akan tetapi, mereka suka menyakiti saudara dan temannya. Berbeda dengan bidadari yang jika tak suka pun, tak akan pernah menampar.

*** 

Sore hari itu, saat matahari akan tergelincir oleh oranye langit, Biru berlari mengejar capung di pinggiran sungai yang keruh. Tak melihat sekitar, pinggiran sungai ditumbuhi lumut licin. Biru tergelincir ke sungai.

Biru menjerit. Menyumpahi kotoran-kotoran yang mengapung di sungai itu. Memarahi capung yang terbang di depan mukanya. Mengutuk lumut penyebab ia jatuh. Saat itu juga, Biru sadar dirinya telah berubah seperti manusia. Mungkin saat ini perilaku, jadi tak mustahi jika esoknya tampangnya juga berubah.

Rasa takut segera menyergapnya. Biru tak mau menjadi makhluk buruk rupa. Tanpa ia sadari, Biru memohon untuk kembali ke kahyangan. Ia rindu putihnya kelembutan kahyangan. Ia merindukan kedua orang tuanya. Ia merindukan makanan lezatnya. Ia merindukan udara bersihnya.



Sang Pencipta Semesta mengabulkan kembali permintaan itu dengan syarat Biru tak boleh membantah satu hal akibat permintaannya. Tanpa bertanya apa itu, Biru hanya mengangguk senang.

*** 

Biru mampu merasakan getaran hatinya. Ia merasakan kulitnya mendingin. Ia merasakan kepalanya berputar. Dan, ia juga merasakan  hangatnya cairan yang menetes dari punggungnya.

Biru tak menangis. Ia hanya sedih. Ia hanya menyesal. Ia hanya merasa dirinya bodoh. Tolol.

Bidadari cantik itu memejamkan matanya dengan perlahan. Menyerap kesakitan yang menyerang punggungnya. Ia sebenarnya belum rela mati, tapi ia sudah berjanji kepada Sang Pencipta Semesta untuk tak membantah syarat yang diajukan-Nya saat ia meminta kembali ke kahyangan. Jadi, baiknya ia rela sebelum semuanya terlambat.

Biru tahu semuanya sudah terlambat. Terlebih untuk menyesali kebodohan.

*** 

Tunggu, jangan anggap cerita  ini selesai terlebih dahulu. Ini jauh dari selesai. Karena kau pasti tak tahu, kan, jika Biru memanjatkan permohonan sebelum tarikan napas terakhirnya?

Ia memohon satu hal terakhir kepada Sang Pencipta Semesta. Ia ingin menjadi manusia. Ia masa bodoh dengan tampang buruk manusia. Ia hanya ingin hidup dengan sederhana tanpa sayap. Ia ingin tak memiliki hati untuk sekadar merasakan kesakitan orang lain. Ia ingin kejam membalas perlakuan kedua orang tuanya yang menyuruh Deza memotong sayapnya sebagai hukuman telah lari dari kahyangan.

Dan, ia ingin membunuh pasangan dan anak Deza supaya Biru bisa bersama Deza selamanya. Namun, jika Deza tak mau menerima tampang Biru apa adanya, maka Biru juga tak segan membunuh Deza.

Aku tak segan membunuh siapa pun yang menolakku.

Kaget? Jika iya, kau tolol! (****)




Ditulis untuk memenuhi tantangan #NulisBarengAlumni #KampusFiksi dengan tema #Sakit dari Mbak Fhea :3 

ttd.
@Nisa_MS_ #KampusFiksi8


Komentar

  1. endingnya kereeeeen
    bener2 nggak nyangka dibuat ending seperti itu
    jleb banget
    salam kenal dari Bening KF13

    BalasHapus
    Balasan
    1. Haloooo, Mbak Bening ^^
      Salam kenal juga ^^
      Wah, makasih yah udah bacaaaa ^^ Mbak Bening kemarin nggak ikut nulis bareng alumni ya?

      Hapus

Posting Komentar

Postingan Populer