Perjuangan Anak Mamak #3 (Review novel Pukat by Tere Liye)
Judul : Pukat
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Republika
Tebal : 347 halaman
Cetakan : I, Maret 2010
ISBN : 978979110273-5
“Kalian tahu kenapa
‘binatang’ ini disebut ‘kereta api’?” (hal. 1)
“Pukat tahu kenapa
‘binatang ini disebut ‘kereta api’. Karena waktu itu lokomotifnya masih
menggunakan uap. Ada tungku batubara untuk memanaskan ketel air besar. Makanya
disebut ‘kereta api’, karena lokomotif keretanya seperti tungku masak di rumah,
berapi, mengeluarkan asap hitam tebal.” (hal. 4)
Pukat adalah anak kelas
5 SD yang kepintarannya di atas rata-rata anak lainnya. Dia dikenal sebagai
anak jenius yang mampu menjawab setiap pertanyaan yang diajukan kepada dirinya.
Dia murid kesayangan Pak Bin.
Namun, kecerdasan Pukat
tidak semata-mata memberikan keberuntuntungan baginya. Suatu hari, saat Pak Bin
membahas tentang kalender China, saat hanya Pukat satu-satunya anak yang pernah
melihat kalender China, maka Pak Bin semakin bangga terhadap Pukat. Ternyata,
hal tersebut menimbulkan keirian pada Rahu—sahabat Pukat sejak lama. Esok
harinya, Raju mengolok-olok Pukat dengan menyebutnya seekor kambing (kambing
adalah shio Pukat) jelek. Tidak terima, Pukat balas mengejek Raju dengan
menyebutnya seekor ayam (ayam adalah shio Raju). Mereka berkelahi kemudian
tidak saling sapa hingga lebih dari 2 bulan.
“…lebih dari 3 hari
kamu tidak saling tegur dengan saudara sendiri, maka bukan hanya kau akan
semakin keras kepala, semakin sulit untuk menerima pendapat orang lain, lebih
dari itu Bapak khawatir, jangan-jangan malaikat yang menjagamu sudah pergi
meninggalkan…” (hal. 99)
Hingga akhirnya, saat
perayaan pernikahan anak Wak Lihan, Pukat dan Raju tak sengaja mengantre untuk
meminta gulai bersama, secara tak sengaja pula mereka berbaikan. Akan tetapi,
takdir memaksa mereka untuk berpisah di kemudia harinya. Hujan lebat yang
mengguyur kampung membuat sungai meluap dan mengakibatkan banjir bandang. Raju
yang saat itu sedang menjaga kebun jagung Wak Lihan yang terdapat di hulu
sungai, hanyut oleh bandang tersebut. “Takdir, semua seperti terlambat datang.”
(hal. 110) Kejadian menyedihkan itu datang di saat kabar bahwa kedua orang tua
Raju yang sudah lama bercerai akan rujuk kembali.
***
Tak terelakkan jika
Pukat adalah anak yang pintar. Om Tere Liye menggambarkannya dengan apik.
Setiap ucapak pukat, pemikiran Pukat, dan gerak-gerik Pukat, menyiratkan jika
anak itu kelak akan menjadi orang yang sukses. Bukan karena ini merupakan
cerita fiksi yang akan dengan semena-mena takdir tokohnya akan diubah menjadi
bahagia oleh penulis, tapi karena penalaran saya (selaku pembaca) mengatakan
begitu.
Saya “melahap” novel
ini selama 3 hari. Dua hari di antara kumpulan teman saya yang sedang bergurau
sehingga memaksa saya untuk menutup novel ini ketimbang melanjutkan membaca
tapi kehilangan esensi utama novel. Dan, sehari penuh—hingga lupa keluar kamar
dari pagi hingga sore—di hari Sabut, 19 September lalu. Hingga saya selesai
menuntaskan novel ini di sore harinya, jujur saya membanting novel ini. Kenapa?
Karena saya gemas dengan ending-nya.
Mati-matian saya mengelak jika saya tidak “terbodohi” oleh kisah Pukat ini.
Sungguh! *kemudian saya berdosa karena berbohong*.
Jujur (lagi), Pukat
adalah novel Om Tere Liye pertama yang say abaca. Sebelumnya, saya telah
menonton film “Hafalan Shalat Delisa” dan “Bidadari-Bidadari Surga” tanpa
terlebih dahulu membaca novelnya. Dan, setelah membaca Pukat ini, saya dengan
senang hati mendedikasikan diri untuk
menjadi penggemar Om Tere Liye.
Di bab awal, yaitu
Misteri Terowogan Kereta, saya sama sekali tidak tertarik dengan karakter Pukat
meskipun dia menjadi tokoh “aku”. Justru Burlian—adik Pukat—dan keluguannyalah
yang membuat saya penasaran. “Kenapa kau hanya berkancut di tengah gerbong,
Nak? Kau gerah?” (hal. 8) Nah, bayangkan betapa polosnya Burlian yang sampai
melepas baju dan celananya karena takut diturunkan dari kereta karena karcisnya
hilang. Dan, ternyata Burlian adalah seri kedua dari Serial Anak-Anak Mamak
ini.
Pukat yang pandai,
jujur, dan serba tahu juga manusia. Tidak sempurna sama sekali. Memangah, di
bab Kaleng Kejujuran 1-4 si Pukat benar-benar mempesona karena ide cemerlangnya
membantu Ibu Ahmad kembali berjualan tanpa perlu meninggalkan Nayla yang sedang
sakit. Namun, di bab Seberapa Besar Cinta Mamak #3, Pukat benar-benar menyebalkan.
Secara cepat dia berubah menjadi tokoh yang patut dibenci. Bayangkan, dia tega
pergi meninggalkan membantu Mamaknya hanya demi menonton film kartun. Namun,
kemudian saya teringat jika Pukat hanya seorang anak kecil yang juga butuh bersenang-senang.
Di bab ini, saya hampir menangis. Teringat bahwa saya juga sering bertingkat
menyebalkan ke ibu saya seperti Pukat.
“…kau tahu, kenapa
setiap anak harus mendengarkan nasihat, larangan, atau apa saja dari Mamaknya?
Sungguh bukan karena Mamak pernah jadi anak kecil sedangkan kau belum pernah
jadi orang dewasa. Bukan karena ukuran usia dan kedewasaan… Tetai karenajika
kautahu sedikit saja apa yang telah ia lakukan demi kau, maka yang kau tahu itu
sejatinya bahkan belum sepersepuluh dari pengorbanan, rasa cinta, serta rasa
sayangnya pada kalian.” (hal. 195)
Saya sangat terpesona
dengan sosok Bapak. Lelaki yang sangat bijak. Tidak anya pada sosok Bapak, saya
juga terpesona pada bab 21-23. Petani Adalah Kehidupan. Kisah yang secara otomatis
menegur saya supaya bisa lebih baik lagi menghargai nasi karena perjuangan
memperolehnya—walau sebutir—sangat berat.
Saya tidak akan
membicarakan ending. Bukan karena
saya tidak ingin membocorkan akhir cerita ini lalu membuat kalian tidak
penasaran lagi dengan novel ini. Tapi, karena ada luka di bab terakhir. Karena
saya ingin kalian membaca sendiri bagaimana akhir novel ini dituis dengan
menyebalkan oleh Om Tere Liye. Saya sungguh tidak terima jika hanya saya yang
terbodohi oleh Pukat. Kalian juga harus!
Tolong, jangan macam
Burlian yang hanya sibuk bertanya, bertanya, dan bertanya. (hal. 343)
Oh iya, terima kasih
buat Editor yang benar-benar bekerja keras karena saya tidak menemukan typo di sini. Ya paling saya menemukan
napas tapi tetap nafas. Namun, itu ditulis dengan konsisten. Dari awal hingga
akhir tetap nafas. (****)
Komentar
Posting Komentar