Ilana Tan, Sastra Populer, dan Respons Publik terhadap Bahasa Baku
Suksesnya
novel Karmila karya Marga T. dan Cintaku di Kampus Biru karya Ashadi
Siregar membuat istilah “sastra populer” naik ke permukaan pada tahun 70-an.
Namun, ternyata Jacob Sumardjo mengatakan bahwa kesusastraan populer telah
muncul sejak tahun 30-an seiring Balai Pustaka populer sebagai penerbit besutan
kolonial.
doc. istimewa |
Hadirnya
istilah sastra populer tentu sebagai perbandingan dengan istilah sastra serius.
Seperti namanya, sastra populer belakangan ini begitu populer di toko buku
bahkan menjadi bahan bacaan yang marah di kalangan remaja. Namun, hadirnya
sastra populer tidak menjadikan dunia literasi di Indonesia kemudian membaik
atau setidaknya dipandang baik. Pasalnya, banyak pemerhati sastra menganggap
bahwa sastra populer tidak memiliki bobot untuk dijadikan bahan bacaan,
terlebih bahasa yang disajikan di dalamnya seringkali melenceng dari bahasa
Indonesia yang baik dan benar.
Bahasa
Indonesia dengan ejaan yang disempurnakan tentu selalu menjadi rujukan untuk
memperbaiki kualitas berbahasa Indonesia. Pantas saja memang jika kemudian
banyak novel dari sastra populer yang menggunaan bahasa gaul tanpa
memperhatikan keseriusan dalam bahasanya membuat banyak pemerhati sastra bahkan
kritikus meraung dan mengecam sastra populer.Ya, hal tersebut memang satu dari
berbagai hal (seperti isi yang disajikan, nilai kehidupan yang terkandung di
dalamnya, dll.) yang membuat sastra populer dikecam bahkan dianggap sebagai
racun dunia sastra Indonesia.
Namun,
perihal tidak diterimanya kehadiran sastra populer di kalangan kritikus sastra,
tidak menjadikan sastra populer kemudian tenggelam dan menghilang sama sekali.
Sekarang ini, kehadiran sastra populer justru menjadi ladang bagi berbagai
penerbit untuk meraup keuntungan karena sastra populer justru menjadi novel
yang paling digemari dan selalu menempati rak-rak best seller. Penerbit komersial tentu memandang ini sebagai anugrah
sehingga sastra populer semakin hidup karena publikasinya yang tinggi.
Penerbit
DAR! Mizan, Bentang Bustaka yang kemudian memiliki lini Bentang Belia, Media
Pressindo, Gagasmedia, Diva Press, bahkan penerbit besar seperti Gramedia juga
berlomba menambah novel populer ke dalam rak-rak toko buku. Lalu banyak
bermunculan nama-nama penulis yang kemudian populer karena rajin menerbitkan
novel sastra populernya. Alia Zalea, Windry Ramadhina, Winna Efendi, Ika
Natassa, Asma Nadia, Dwitasari, Orizuka, Ilana Tan, dll.
Dari
nama-nama tersebut, yang saya soroti adalah Ilana Tan. Apa pasal? Meskipun
kemudian dari sekian banyak nama penulis novel populer hanya nama pena, tetapi
berbeda hal dengan Ilana Tan. Selain namanya memang bukan nama asli, tetapi dia
sama sekali tidak memberikan data diri di setiap novel yang ia keluarkan.
Sosoknya dipertanyakan sejak tetralogi musimnya kemudian dinobatkan oleh
Gramedia sebagai novel dengan penjualan mega
best seller.
Cover baru novel Winter In Tokyo karya Ilana Tan | doc. istimewa |
Ilana
Tan pertama kali mengeluarkan novel pada tahun 2006, yaitu Summer In Seoul. Uniknya, naskah awal novel tersebut adalah naskah
yang ia kirim untuk lomba tetapi ditolak lalu ia revisi dan dikirimkan ke
Gramedia dan justru menjadi begitu populer sehingga menjadi novel tetralogi: Autumn In Paris, Winter In Tokyo, dan Spring In London dengan tokoh yang
saling berkaitan tetapi berbeda isi cerita. Hingga sekarang, ia telah
menelurkan 6 novel solo dan 1 kumpulan cerpen bersama. Seperti halnya sastra
populer pada umumnya, novel-novel karya Ilana Tan hanya membicarakan kehidupan
cinta. Namun, yang berbeda adalah penggunaan bahasa baku pada setiap tulisannya
tersebut. Bahkan, pada satu novelnya yaitu Winter
In Tokyo yang diadaptasi ke dalam film, tetap mempertahankan bahasa baku.
Lantas,
bagaimana respons pembaca dan penontonnya?
Seperti
yang sudah distrereotipkan, sastra populer merupakan sastra remeh yang tidak
menyajikan isi yang berbobot bagi pembacanya karena hanya berisi perihal cinta.
Pada Ilana Tan pun demikian. Banyak yang tidak menyoroti akan kebakuan bahasa
yang digunakan pada novel Ilana Tan. Beberapa ada yang mempertanyakan apakah
mungkin novel-novel Ilana Tan disadur dari novel asing yang diterjemahkan.
Prasangka demikian dikarenakan misteriusnya sosok Ilana Tan dan bahasa yang
dipakai Ilana Tan. Tidak ada yang memandang pemakaian bahasa baku dalam novel-novelnya
merupakan hal yang bagus untuk dunia sastra populer yang sering diremehkan itu.
Official poster film Winter In Tokyo adaptasi novel karya Ilana Tan | doc. istimewa |
Hingga
kemudian, film Winter
In Tokyo disoroti karena penggunaan dialog bakunya. Ada beberapa yang
menyayangkan karena tokoh-tokoh di dalam film terasa kaku dengan bahasanya.
Tetapi banyak pula yang setuju dan mendukung bahwa perlu perubahan dalam
penataan bahasa Indonesia dalam perfilman untuk mengajarkan kepada penikmat
film bahwa bahasa baku Indonesia perlu “dilestarikan”. Titien Wattimena selaku
penulis skenario dan Fajar Bustomi selaku sutradara film mengatakan penggunaan
bahasa baku memang sudah dipertimbangkan dengan baik. Pertimbangan tersebut
adalah karena seluruh tokoh di novel Winter
In Tokyo merupakan orang asing sehingga tidak akan cocok jika bahasanya
bukan bahasa Indonesia baku. Bahkan, Hetih Rusli, editor Gramedia, mengatakan
bahwa bahasa baku bukanlah bahasa kaku melainkan tolok ukur yang berlaku untuk kuantitas atau kualitas yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan dan kualitas yang sesuai standar dalam bahasa Indonesia.
Sumpah Pemuda alenia ketiga. | doc. istimemewa |
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Yovantra. 2014.
“Kritik Sastra dan Sastra Populer”. Diakses dari http://indoprogress.com/2014/06/kritik-sastra-dan-sastra-populer/
pada 22 November 2016.
Natassa, Ika dkk. 2013.
Autumn Once More. Jakarta: Gramedia.
Kusmarwanti. 2005. “Teenlit dan
Budaya Menulis di
Kalangan Remaja dalam Menuju
Budaya Menulis Suatu
Bunga Rampai”. (Pangesti
Wiedarti, Ed.). Tiara Wacana.
Meodia, Arindra. 2016. “Winter In Tokyo, Sebuah Film Romantis”.
Diakses dari http://www.antaranews.com/berita/576331/winter-in-tokyo-sebuah-film-romantis
pada 22 November 2016.
Ridwan, Iwan. 2016.
“Sastra Populer Bukan Sastra Pinggiran Indonesia”. Diakses dari http://balaibahasajabar.kemdikbud.go.id/?p=1250
pada 22 November 2016.
Rusli, Hetih. 2016.
“Kenapa Harus Takut Berbahasa Indonesia?”. Diakses dari https://www.facebook.com/notes/hetih-rusli/kenapa-harus-takut-berbahasa-indonesia/10154422654881018
pada 22 November 2016.
Sumardjo, Jacob. 1982.
“Sastera Populer dan Pengajaran Sastera” dalam Basis edisi XXXI no. 5 Mei.
.“Ini Alasan Kenapa
Film Winter In Tokyo Gunakan Bahasa
Baku. Diakses dari http://sumsel.tribunnews.com/2016/08/03/ini-alasan-mengapa-film-winter-in-tokyo-gunakan-bahasa-indonesia-baku
pada 22 November 2016.
Baru tahu lo aku kalau novel itu nggak lolos lomba. Nyesel tuh pasti yang pernah nggak ngelolosin, secara mega bestseller. Hihi
BalasHapusWkwkwk I think so, Mas :D Megabestseller kan ya hahahaha
Hapus