Why Some People Kill Their Self?

Jika salah satu karib saya terkabarkan meninggal dengan sebab bunuh diri (tolong, jangan sampai!), satu pertanyaan yang saya ajukan kepada diri saya: "Apakah saya memiliki andil atas tindakan yang dilakukannya tersebut?"

Memutuskan untuk memberi label pada diri sendiri sebagai seorang "teman", "sahabat", "keluarga", adalah hal berat. Sungguh. Saya dulu mengagumi bagaimana ramahnya orang Indonesia yang dengan cepatnya dekat dengan satu sama lain bahkan sejak pertama bertemu lalu saling menobatkan sebagai "teman", "sahabat", bahkan "keluarga". Terlebih ketika saya menonton film-film luar negeri dengan kondisi sosial yang--sebut saja--kejam. Mereka bahkan untuk menganggap orang lain teman mereka begitu susah. Dalam representasi kehidupan luar negeri di sebuah film, seseorang hanya memiliki 1 atau 2 teman di kehidupan mereka. Namun, tidak di Indonesia. Mereka kerap memiliki banyak teman bahkan saudara tak sedarah di mana-mana. Akan tetapi, apakah label-label yang menggambarkan kedekatan itu benar-benar dekat dan peduli satu sama lain?

Entah dulu, tetapi sekarang orang-orang mudah menilai orang lain dengan begitu mudah. Mereka saling bertukar kebusukan sosok-sosok yang mereka kira berada di bawah derajat mereka. Meneriaki seseorang aneh karena tak sama persis seperti diri mereka. Menerka bagaimana kehidupan orang lain karena dinilai begitu tak normal--dengan ukuran normalnya adalah diri mereka sendiri.

Sabtu, 19 Juli yang lalu seseorang bernama Oka Mahendra meninggal. Saya tidak begitu kenal dia, tetapi dia begitu terkenal karena dia pemilik Takis Manajemen (tolong koreksi jika salah) di mana Awkarin, seleb instagram, ternaungi (saya tidak paham mengenai hal-hal demikian, instinya ini menyangkut Awkarin). Bukan mengenai Oka yang saya akan singgung, tetapi mengenai Awkarin. Ketika dia mengunggah foto dengan ucapan duka di instagramnya, berbondong-bondong akun menyerbu untuk menorehkan komentar. Sebagian berkata baik, mengatakan bahwa mereka ikut berduka, menguatkan si pengunggah, mendoakan keluarga Oka supaya tabah, dan hanya sekadar berujar "innalillah". Namun, bagian yang lain merasa diri mereka sempurna dengan memanjat pengharapan supaya si pengunggah ucapan bela sungkawa untuk karibnya itu supaya cepat menyusul. Mereka sehat? Yes, for their thought, they act normally. But, they didnt know how hard to be Awkarin. How hard to be a person who's lost the close one. People just can judge because of their hatred.

Untuk merundung seseorang memang rasanya enak, ya. Membicarakan seseorang yang tidak kita sukai dengan sesuka hati kita dan rasanya bebaaas. Merasa lega, ya? Namun, setelah itu, apakah sempat kalian berpikir apa yang terjadi setelahnya? Tidak, bukan untuk orang yang digunjingkan itu. Namun, untuk diri kalian sendiri. Pernahkah setelah membicarakan seseorang kalian berpikir: "Bagaimana jika saya yang di posisi orang tersebut?"
Ah, mungkin sebagian dari kalian akan menjawab, "Aku enggak peduli dengan omongan orang lain tentang hidupku. Sebab, ini hidupku bukan hidup mereka."
But, it's not just about that. Ini tentang kesehatan mental seseorang. Menggunjing seseorang di belakang mereka yang kemudian suatu hari mereka tahu bahwa kita melakukan itu, saya yakin mereka merasa sakit. Terlebih jika ternyata kalian saling kenal. Bukan mengenai keburukan yang mereka miliki rasa sakit tersebut timbul, tetapi mengenai keeksisan diri mereka terhadap kalian. Kalian mungkin tidak tahu bagaimana orang yang kamu omongi di belakang menganggap kalian. Mungkin mereka menghormati kalian secara diam-diam, berpikir bahwa kalian begitu baik, berekspektasi bahwa kalian itu teman yang baik untuknya. But, reality talks to them. Kalian enggak sebaik itu, kalian memperlakukan mereka begitu buruk, dan kalian tidak menganggap mereka. Yes, yes, yes, sometimes, expectation is the cruel bastard! Lalu menyalahkan ekspektasi seseorang terhadap diri kita? Oke, serah apa kata lo. Namun, coba berpikir sebaliknya. Tempatkan diri kalian di posisi mereka. Tempatkan diri kalianlah yang merasa kecewa. Tempatkan diri kalian yang hari ini kehilangan kepercayaan diri karena ternyata banyak yang mengatai kalian aneh dan tidak layak untuk temani. Pikirkan diri kalian yang diteriaki secara diam-diam dan secara tersirat untuk, "Kill yourself little bitch! You dont deserve a place in this world!"

Then, why some people kill their self?
The answer is: maybe you ask them--not directly.
Lalu pertanyaannya jika orang tersebut adalah karibmu adalah:
1. Apa yang telah kamu lakukan ke dia?
2. Kamu pernah tidak sengaja berkata atau memperlakukan dia dengan tidak baik?
3. Apa kamu tahu selama ini dia memiliki masalah?
4. Pernah kamu mengulurkan tanganmu ke dia?
5. How much the word "why?" when they tell you a sad story?
6. Apakah kamu pernah mempertanyakan ke mana dia jika dia tidak terlihat di lingkaranmu?

People who got into depression no need the word "why". They just need the understanding from their close ones. If they suddenly disappear from the circle, look for them. Talk to them as usual until they feel enjoy and tell you what happend. Namun, jika mereka tidak bercerita, jangan dipaksa. Jika benar-benar khawatir, bertanyalah dengan baik. Jika akhirnya dia bercerita, dont act like you a teacher, parent, or even the God.

Saya berkata seperti ini sebagai orang yang pernah menarik diri dari lingkungan (istilah depresi terlalu berat dan mengerikan). Sialnya, saya jenis orang yang cepat sekali menobatkan diri sebagai "teman" dan "sahabat". Setelah masa itu, saya sadar bahwa saya tidak benar-benar memiliki sosok-sosok yang dekat itu. Yang saya miliki bisa dihitung jari. Mereka kebanyakan adalah sosok basa-basi sebagai manusia--sebagai makhluk sosial yang ingin menampakkan diri atau memiliki keingintahuan besar akan kondiri payah orang lain. Mereka tak lantas mengulurkan tangan. Mereka hanya datang, menonton, bertanya, lalu pergi.
Setelah kejadian itu pula, saya sadar bahwa predikat "teman" dan "sahabat" apalagi "saudara" adalah predikat yang begitu berat untuk diemban. Sebab, saya harus benar-benar bersikap dekat bukan "dekat". Setelah masa itu pula saya sadar bahwa setiap orang terlahir sebagai sosok oportunis, tetapi setiap orang juga memiliki dedikasi yang tinggi akan berbuat baik dan saling menolong.

Tulisan ini sendiri hadir setelah mendapat kabar bahwa Chester Bennington, vokalis Linkin Park, meninggal karena bunuh diri. Status-status di media sosial bertebaran berucap bela sungkawa, sedangkan saya di sini justru berpikir: lagu Linkin Park apalagi yang saya tahu selain Numb?
Hidup sebagai pribadi dengan penggemar yang memuji jauh lebih melelahkan. Sebab, mereka kerap kali menuntut, mengatur gerak-gerik, atau bahkan lari menjauh jika kesalahan lakuan mereka temukan di diri sosok yang sebelumnya mereka puji. Padahal itu baru penggemar, belum lagi pembenci yang selalu mencari celah kelemahan.
Well, I send my huge condolences for him.

Komentar

Postingan Populer