Nadiem dan Pengertian Guru yang Masih Saja Disalahpahami
Beberapa
hari belakangan menjelang peringatan hari guru, yaitu hari ini, nama Nadiem
melejit di peringkat pertama trending
topic Twitter. Mendikbud periode
terbaru tersebut seakan menepuk pundak setiap orang melalui isi pidato mengenai
hari guru miliknya. Ia seakan ingin mendobrak keformalan isi pidato pihak
kementerian, yang biasanya bernada monoton dengan bahasa yang membuat
mengantuk.
Saya
mengangguk untuk sebagian isi pidatonya, terutama mengenai pernyataannya bahwa
guru adalah tugas termulia sekaligus terseulit. Terutama ketika Indonesia,
bahkan dunia, masih mementingkan kuantitas dibanding kualitas. Masih belum
paham tentang tugas masing-masing sosok. Masih belum mengerti mengenai ujaran, “ikan
bisa berenang dan cecak merayap di dinding”.
KBBI,
buku pedoman kebahasaan milik Indonesia, bahkan mengamini hal tersebut. Coba
saja Anda mengetik kata “ajar” di sana, Anda akan menemukan arti “petunjuk yang
diberikan kepada orang supaya diketahui (dituruti)”. Di bawahnya akan terdapat
beberapa kata turunannya, seperti “pengajar” dan “mengajar”. Kata “pengajar”
akan diartikan sebagai “orang yang mengajar” yang kemudian terujuk pada sosok
guru dan pelatih.
Ia
hanya diberi tugas untuk melatih hingga (seseorang) bisa.
Terserah
Anda mau merujuk pronomina “ia” sebagai pengajar atau guru; yang pasti keduanya
sama-sama kata benda.
Sebagai
bahan pertimbangan, saya mengajak Anda semua untuk menilik kata “didik”. Sebuah
kata yang menurut saya sangat berat untuk dilakukan sebagai kata kerja tersebut
membuat saya paham bagaimana kesabaran dimulai. Ketik kata “didik” di KBBI,
maka ia akan terartikan sebagai “pelihara dan latih”.
Tidak
sampai di situ, mari kita klik salah satu kata turunannya, yaitu “mendidik”
sebab “pendidik” hanya diartikan sebagai sosok yang mendidik sehingga kita
harus tahu kata kunci tersebut. “Mendidik” adalah verba, tentu saja. Sebuah
lakuan untuk “memelihara dan memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan)
mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran”. Dengan demikian, “pendidik” adalah
sosok yang memelihara dan memberi latihan dalam melalui ajaran, tuntunan, dan
pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran. Mendidik sekaligus ajar,
tetapi tidak sebaliknya.
Sebentar,
sepertinya saya belum mengajak Anda untuk mencari tahu arti kata “mengajar”. Di
sana, Anda akan dihadapkan pada tiga jenis pengertian:
(1)
v memberi
pelajaran;
(2)
v melatih; dan
(3)
v memarahi
(memukuli, menghukum, dan sebagainya) supaya jera.
Entah bagaimana,
pengertian ketiga merujuk pada kata “hajar” sehingga saya mengira “hajar” bukan
kata baku seperti halnya hembus dan hadang. “Hajar” tetap memukuli supaya
jera dan “ajar” terujuk untuk demikian.
Jika
demikian, sosok guru otomatis diberi label sebagai pengajar. Sosok yang hanya
melatih, memberi pelajaran, hingga memberi teguran (istilah ini muncul karena
sudah melalui lembaga sensor) jika sang objek melakukan kesalahan supaya jera.
Entah
para ahli bahasa tidak menyadari hal ini atau mereka memang sengaja, hal ini
terasa sangat ironis. Seperti halnya Nadiem yang justru bertumpu pada guru
supaya mereka melakukan perubahan padahal ia tahu birokrasi akan membabat habis
siapa-siapa yang tidak menurut pada kebiasaan.
...
......
Sebentar,
apakah sebenarnya sebagian sosok di kemendikbud menyadari hal ini (?) sehingga pendidikan
karakter muncul sebagai solusi?
Angkat topi yang setinggi-tingginya untuk para guru di Indonesia. Dari hati saya yang paling tulus dan damai, saya mengucapkan selamat memperingati kemuliaanmu. Kalian memang tumpuan, tetapi tidak ada larangan untuk merajuk sesekali sebab kalian tetap manusia yang memiliki berbagai emosi.
Komentar
Posting Komentar